TFR

View Original

Segurat kisah dari Pantura: Lukisan truk dari masa ke masa

Read in English

Dalam jurnalnya yang dirilis pada tahun 1966, filsuf asal Amerika Serikat, Susanne K. Langer, mengemukakan bahwa semua budaya pasti akan membentuk sebuah seni, sama halnya seperti semua budaya akan membentuk suatu bahasa. Langer juga menolak pendapat kuno yang menyatakan bahwa seni merupakan produk tersier atau mewah dari suatu peradaban. Dirinya percaya bahwa seni adalah sebuah lambang dari kehidupan manusia dan catatan paling akurat akan pengetahuan dan perasaan manusia.

Singkat kata, seni dari sebuah kelompok masyarakat mencerminkan budaya dan kehidupan masyarakat tersebut. Dalam artikel ini, TFR ingin berbagi cerita tentang sebuah seni urban yang tanpa sadar sering kita temui: lukisan truk.

Lukisan truk kerap digoreskan pada bagian belakang atau bak truk, walau banyak pula lukisan yang meliputi seluruh badan kendaraan. Lukisan truk selalu menjadi hiburan tersendiri tatkala kita melintasi jalan tol, terutama tol Pantura. Tulisannya yang kadang nyeleneh hingga ilustrasinya yang penuh warna membuat seni lukisan truk selalu diingat oleh masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan. Bahkan, banyaknya truk dengan lukisan-lukisan menarik yang berseliweran sudah menjadi bagian dari pengalaman melintasi jalan tol Pantura itu sendiri.

Lukisan truk dapat dikategorikan sebagai sebuah seni urban, yaitu karya seni yang galerinya ditampilkan pada ruang publik yang tidak terjamah, mengkritik keadaan masyarakat sekaligus sebagai ajang komunikasi antar-masyarakat. Karenanya, ekspresi yang ditampilkan adalah ekspresi yang mencoba memotret permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi di dalam dan mendominasi masyarakat urban, seperti masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Mengutip Nicholas Wila Adi dalam tulisannya untuk Jurnal Seni Nasional CIKINI, lukisan truk menyampaikan “sebuah potret kehidupan yang keras dan didominasi oleh kaum laki-laki, rendah pendidikan, terhimpit beban ekonomi, menganggap kaum perempuan sebagai objek seks, dan lain-lain”.

Dalam jurnal yang sama, dijabarkan tema-tema yang banyak menginspirasi lukisan-lukisan truk dalam satu dekade terakhir. Pada periode 2009-2015, tema-tema yang populer adalah perempuan dan seks, keperkasaan dan laki-laki, hewan sebagai perlambangan, dan pesan moral sebagai nasihat. Namun, pada periode 2015-2019, preferensi tema-tema lukisan truk mulai bergeser. Sejak 2015, pesan moral sebagai nasihat, sindiran, doa, tokoh kartun/manga/superhero, dan nama identitas tempat atau komunitas truk menjadi lebih diminati.

Tentunya, tema-tema yang banyak dipilih untuk diterapkan pada lukisan truk tidak lepas dari pengaruh para seniman di balik karya-karya tersebut.

Salah satu seniman truk yang TFR wawancarai, Topik (@airbrush33), sudah menggeluti profesi ini sejak 20 tahun yang lalu. Awalnya, Topik adalah seorang seniman tato, namun setelah mendalami agama dan mengaji, ia memutuskan untuk menjadi pelukis mobil dan truk menggunakan teknik airbrush dan lukis tangan.

Sayangnya, akhir-akhir ini pendapatannya dari melukis truk terkena dampak yang cukup signifikan akibat pandemi COVID-19: “Biasanya setiap bulan pasti ada permintaan, tetapi sekarang nggak ada sama sekali.”

Menurutnya, dalam pemesanan karya lukisan truk, masuknya permintaan tergantung salesperson yang dihubungi oleh calon pelanggan, “Di sini tiap jasa lukis ada salesperson-nya sendiri, sehingga pendapatan tergantung kepada siapa pelanggan datang.”

Menanggapi stigma nyeleneh yang lengket dengan lukisan truk, Topik berkomentar bahwa biasanya karya-karya yang tidak lumrah itu dibuat karena permintaan supir-supir truk sendiri. “Mungkin disesuaikan dengan cerita mereka yang seperti itu. Kalau saya hanya kebagian gambarnya saja, sih. Teman saya yang menulis. Biasanya di kap mobil atau di pintu, dan paling banyak diminta adalah ‘pulang malu, nggak pulang rindu’,” tutur seniman yang berdomisili di Surabaya ini.

Agustian (@agustian_airbrush), seorang pelukis truk yang kini menetap di Tasikmalaya, bercerita bahwa walau kebanyakan karyanya memang mengikuti permintaan pelanggan, sebagian merupakan ekspresinya sendiri. Kendati begitu, Agustian mengaku kurang menyukai permintaan yang mengharuskannya melukis dari nol, “Nggak suka karena repot. Lebih senang kalau pelanggan datang sudah bawa referensi atau contoh.”

Menurut Agustian, nyeleneh atau tidaknya suatu lukisan truk tergantung orangnya. Dalam pandangannya, inspirasi lukisan truk tidak melulu yang berbau kritikan sosial atau pornografi. “Kemarin ada yang menginginkan gambar anaknya sendiri, nggak tahu kenapa ingin foto keluarganya,” tuturnya. Awalnya, pelanggan tersebut menginginkan gambar Nyi Roro Kidul, namun mengurungkan niatnya karena takut. “Banyak yang berkata bahwa kalau menggambar yang mistis sering terasa berbeda, merinding. Berbeda dengan saat menggambar ulama, itu saya suka,” lanjut Agustian.

Yang menarik, ketika bercerita kepada The Finery Report, Agustian menyebutkan bahwa saat ini para seniman lukisan truk sudah memiliki sebuah komunitas sendiri. Sesungguhnya, budaya komunitas di antara para seniman pelukis truk ini terbilang baru dan menjadi penanda babak baru dalam dunia seni lukis truk di Indonesia.

Pada periode 2015-2019, seni lukis truk berkembang, baik dalam segi visualisai bentuk maupun cakupan media lukisan serta tahapan pembuatan dan teknik pengerjaan. Perkembangan ini tidak lepas dari kehadiran komunitas-komunitas truk di beberapa daerah di pulau Jawa yang dimulai pada tahun 2015. Menurut data tahun 2019, setidaknya ada 12 komunitas truk besar di jalur Pantura dan jalur selatan pulau Jawa.

Komunitas-komunitas truk ini berperan penting dalam menentukan bentuk visual akhir dari lukisan truk. Dalam komunitas-komunitas truk ini, segala macam modifikasi truk dilakukan, sehingga lukisan pada truk tidak lagi terfokus hanya pada bagian baknya saja, tetapi juga pada seluruh bagian truk. Tren modifikasi ini kemudian melahirkan festival-festival truk di beberapa daerah di Indonesia, yang menjadi wadah untuk menampilkan kreasi dan modifikasi truk, misalnya Jogjakarta Truck Festival (@jogjatruckfest).

Pesatnya perkembangan teknologi juga menentukan perkembangan visualisasi lukisan truk saat ini. Para supir truk kini sudah familiar dengan dunia maya. Selain mempermudah terbentuknya komunitas, perkembangan teknologi komunikasi memungkinkan mereka untuk dengan mudah melihat, mengakses, dan mengunduh gambar yang mereka sukai atau mendesain sendiri visual yang mereka mau.

Hasilnya, para seniman lukis pun harus beradaptasi dengan teknologi, seperti Agustian yang mengaku sudah terbiasa membuat draft desain awal di ponselnya, kecuali desain yang sepenuhnya realis dan butuh disketsa secara manual. Para seniman ini pun mulai mengunggah foto-foto karya mereka di media sosial, di mana calon pelanggan dapat mengakses karya-karya dan menghubungi mereka dengan mudah via daring.

Namun, jika tidak tahu batas, perkembangan teknologi yang pesat ini dapat mengancam hajat hidup para seniman pelukis truk di Indonesia. Kemajuan dalam percetakan digital, misalnya, dapat menghasilkan gambar yang diminta pelanggan dalam waktu yang lebih singkat dan biaya yang lebih murah. Karena itu, percetakan digital pun semakin diminati oleh komunitas truk di pulau Jawa. Belum lagi, metode ini memungkinkan seluruh bagian truk untuk didesain, tidak hanya baknya saja.

Dengan munculnya teknologi baru yang penetrasi pasarnya semakin meluas ini, kehadiran seniman lukis truk seolah tidak lagi sepenting dulu. Hal ini dapat menyebabkan banyak seniman lukis truk gulung tikar.

Hal ini sungguh disayangkan, karena lukisan truk merupakan bagian dari ekspresi budaya yang sarat dengan nilai-nilai budaya urban yang patut dibanggakan. Peminatnya masih banyak, baik dari kalangan kelas bawah maupun atas, tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan. Terbukti dari banyaknya akun-akun media sosial yang khusus mengapresiasi karya-karya lukisan truk yang ditemukan melintas di jalan raya.

Yang pasti, lukisan-lukisan truk yang gambar dan tulisannya menggelitik ini sudah menjadi bagian dari pengalaman hidup kita sebagai orang Indonesia, terutama yang berdomisili di pulau Jawa. Seniman-seniman ini akan dapat terus hidup selama masyarakat masih mengapresiasi karya dan keberadaan mereka. Bagaimanapun juga, perkembangan teknologi tidak akan mampu mengisi kebutuhan kita akan karya seni yang sarat dengan pengalaman, emosi, dan keresahan manusia.


Artikel terkait

See this gallery in the original post