TFR

View Original

Pelecehan seksual di industri kreatif - Bagian 1

Read in English

Sejak pendiri Nipplets (@nipplets_official) Ida Swasti meluncurkan Gthingsst (@gthingsst), laman yang didedikasikan untuk kesejahteraan seksual, dia terus-menerus mendapat kiriman gambar alat kelamin tanpa diminta dari para pria tak dikenal. Ida tidak sendiri. Catherine, yang menangani pemasaran Nipplets, juga menjadi sasaran praktik eksibisionis.

Seolah masih tidak cukup, pengikut Instagram Gthingsst juga sering menerima gambar-gambar serupa dari para pria tidak dikenal. Entah bagaimana itu kemudian berubah menjadi rantai pesan yang menghantui pengikut Gthingsst. Para pelaku menggunakan akun burner, yang membuatnya sulit dilacak.

Bulan lalu, TFR mengadakan survei berjudul ‘Pelecehan Seksual dalam Industri Kreatif.’ Survei tersebut mendapatkan 204 respon. Meskipun berjudul pelecehan, beberapa responden menceritakan secara detail kejadian tidak menyenangkan yang berbentuk serangan seksual.

Apa perbedaan antara pelecehan seksual dan serangan seksual? Keduanya merupakan bagian dari kekerasan seksual. Keduanya memiliki definisi yang tumpang tindih dan telah digunakan secara bergantian dalam percakapan, tapi ada perbedaan di antara kedua istilah tersebut.

Pelecehan seksual adalah rayuan seksual yang tidak diinginkan yang terdiri dari perhatian, komentar yang eksplisit secara seksual, dan bantuan dengan imbalan seks. Godaan verbal di jalanan, siulan, dan tatapan adalah perhatian bernuansa seksual yang tidak diinginkan. Komentar seperti “Payudaranya bagus,” “Ingin, deh, tidur sama kamu,” dan “Saya berfantasi tentang kamu,” adalah komentar yang tidak pantas dan eksplisit secara seksual.

Seorang responden menulis, “Pernah saya sedang jalan ke kelas dan ada sekelompok pria (mungkin sesama mahasiswa juga) berteriak, ‘Hei, cewek cantik kenapa buru-buru, temen gue mau ngobrol,’ lalu [mereka] tertawa.”

Dia melanjutkan, “Pernah juga suatu hari, dosen seni saya menjelaskan patung perempuan dari era Yunani Kuno. Dia bilang di depan kelas bahwa saya memiliki tubuh yang bagus, dengan bentuk seperti patung perempuan itu, yang dianggap seksi di era tersebut. Hal itu membuat saya tidak nyaman karena saya tidak pernah minta komentar dia dan tidak pernah memberikan dia izin untuk menggunakan tubuh saya sebagai contoh untuk seluruh kelas.”

Di ranah daring, menyebarkan gambar alat kelamin tanpa persetujuan dari penerimanya bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual. Meninggalkan komentar tidak pantas dengan nada seksual, baik dimaksudkan sebagai pujian atau tidak, juga bersifat mengganggu. Menyebarkan rekaman seks tanpa izin orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah eksploitasi seksual. Eksploitasi seksual termasuk serangan seksual.

Serangan seksual adalah aksi yang tidak diinginkan yang terdiri dari ancaman, rabaan, ciuman atau oral seks secara paksa, dan pemerkosaan. Definisi ancaman dalam konteks ini bisa tumpang tindih antara pelecehan dan kekerasan. Contohnya, ketika pelaku meminta bayaran berupa seks sebagai ganti promosi karir atau ketika bayaran seks tersebut berubah menjadi pemerasan.

Seorang responden mengatakan, “Ada klien yang mengatakan dengan cara halus bahwa kami akan mendapatkan pekerjaan tersebut asalkan duduk di sebelahnya, atau ditambah aksi-aksi lain, ketika kami menghibur mereka saat makan malam atau minum-minum.”

Pelecehan dan serangan seksual diatur dalam KUHP, UU Pornografi, dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Perbedaan kedua delik tersebut tertuang dalam RUU Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Ciri umum dari pelecehan seksual dan serangan seksual adalah kata tidak diinginkan. Keduanya adalah sikap yang bersifat mengganggu yang bisa menyakiti dan membuat trauma korbannya. Berdasarkan respon kami terima, banyak pelaku pelecehan adalah orang yang dikenal oleh para korban. Banyak kasus terjadi di tempat kerja atau sekolah.

Seorang responden yang bekerja di industri film menceritakan pengalaman tidak menyenangkan yang ia alami di set film. “Saya adalah salah seorang pemeran utama di sebuah sinetron. Menjelang akhir proyek, ada asisten sutradara baru. Yang dia lakukan: membuat komentar yang tidak diinginkan tentang tubuh saya sambil menatap, beberapa kali mencoba masuk ke ruang ganti ketika saya sedang ganti pakaian, dan menyentuh dan meremas paha, betis, tangan, dan kadang bokong saya, dengan cara yang tidak pantas.”

Menurut sang responden, kejadian tersebut terjadi di depan anggota kru lainnya. “Tidak ada yang peduli. Itu adalah sinetron pertama saya, jadi saya pikir semua orang mengalami hal ini.”

Fakta bahwa masyarakat cenderung menormalkan dan meremehkan efek komentar dan rayuan seksual yang tidak pantas adalah sesuatu yang mengkhawatirkan. Tanggapan-tanggapan seperti “Mungkin kamu terlalu sensitif,” atau “Kamu seharusnya nggak tersinggung dengan semua hal,” dilemparkan dengan acuh tak acuh.

77% dari 204 responden mengatakan bahwa mereka tidak pernah melaporkan kasus mereka pada siapa pun. Seorang responden menulis, “Pelaporan tidak akan menyelesaikan masalah ini.” Responden lainnya menulis, “Saya tidak pernah melaporkan, karena dari apa yang sudah saya lihat, ketika perempuan melaporkan kasusnya, mereka tidak akan dianggap serius atau bahkan menyalahkan sang perempuan mengenai cara mereka berpakaian dan lain-lain.”

Beberapa responden yang melaporkan kasusnya menerima jawaban yang mengabaikan pengalaman tidak menyenangkan mereka. “Kamu harus lebih hati-hati, ada banyak orang mesum di luar sana,” “Tentu saja mereka melecehkan kamu, kamu cantik,” “Kenapa juga kamu ada di aplikasi berkencan, Tinder itu penuh dengan f*ck boys.”

Meskipun mungkin terdengar bagus, kalimat 'kalian harus lebih berhati-hati, ada banyak orang mesum di luar sana' bisa juga merujuk bahwa korban adalah orang-orang yang menyebabkan pelecehan karena mereka tidak cukup berhati-hati atau sadar akan lingkungannya. Kalimat itu biasanya berarti pakaian yang digunakan korban tidak cukup santun atau mereka keluar di malam hari.

Pada bulan Januari 2018, sebuah pameran di Brussel berjudul ‘What Were You Wearing?’ menampilkan pakaian yang dikenakan oleh korban kekerasan seksual ketika kejadian tersebut terjadi. The Independent menulis, “Menampilkan pakaian seperti piyama, baju olahraga, bahkan kemeja My Little Pony untuk anak-anak, pameran tersebut menunjukkan pakaian yang sama polosnya dengan para korban itu sendiri.”

Berbagai media massa di Indonesia juga telah melakukan penelitian serupa. Sebuah penelitian yang dilakukan Detik pada tahun 2019 menunjukkan bahwa pilihan pakaian tidak mencegah siapa pun dari kekerasan seksual. 4.601 korban mengenakan seragam sekolah.

Korban pria mendapat respon yang sama. Satu responden menulis bahwa dia mendapat komentar seksual yang tidak pantas dari perempuan. “Wow… badannya bagus, yang bawah pasti gede.” Dia merasa malu, tetapi reaksi teman-temannya bahkan lebih mengerikan. “Mereka tertawa. Mereka pikir itu lelucon.”

Laki-laki diharapkan untuk melawan, karena masyarakat cenderung menganggap maskulinitas sebagai kemampuan untuk melawan dan menghadapi tantangan. Hal ini terlihat pada kasus ‘Gilang jarik.’

Meski ada banyak klaim bahwa korban-korban Gilang dibius dan diperkosa, ada beberapa komentar yang menanyakan mengapa para pria tidak dapat melawan. Banyak yang percaya bahwa jika korban tidak meminta bantuan, itu berarti mereka menikmati aktivitas seksual non-konsensual.

Reaksi terhadap pelecehan seksual bisa berbeda-beda. Beberapa korban bisa berteriak atau melawan, tapi banyak yang juga yang mendapati diri mereka terguncang, tidak mampu menenangkan diri atau mengucapkan sepatah kata pun, terlepas dari jenis kelamin mereka. Pria bisa membeku, perempuan bisa melawan, dan sebaliknya

“Ketika saya pertama kali mendapatkan foto penis dari orang tidak dikenal, saya syok dan jijik. Ketika hal itu kemudian menjadi sering, saya mengumpulkan keberanian untuk melawan dan menghadapi mereka,” tutur Ida. Menurutnya, meski ada yang menganggap menerima gambar alat kelamin itu lebih terasa menjijikkan daripada berbahaya, pengalaman itu bisa menjadi pengalaman traumatis bagi orang lain.

Dalam industri di mana ide-ide segar dan orisinal menjadi kekuatan utamanya, dampak psikologis dari pelecehan seksual dapat sangat memengaruhi kinerja di tempat kerja. Meskipun data menunjukkan bahwa perempuan lebih sering dilecehkan secara seksual daripada pria, perempuan dan pria sama-sama rentan. Siapapun, tidak peduli seberapa hati-hati mereka, bisa menjadi korban pelecehan seksual.


Artikel terkait

See this gallery in the original post