TFR

View Original

Apakah kita harus mengatur influencer? - Bagian 3

Read in English

Baca bagian 1 - Kekuatan influencer dalam pemasaran digital, dari fesyen hingga politik

Baca bagian 2 - Keberlangsungan budaya influencer

Pada bulan Mei lalu, di tengah pandemi yang memaksa konsumen mencari hiburan di rumah dan melalui internet, RCTI mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Undang-Undang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi.

Melalui permohonan tersebut, RCTI ingin ada perlakuan setara antara lembaga penyiaran konvensional dan penyelenggara layanan digital (over-the-top). Jika dikabulkan, pengguna media sosial akan menghadapi bermacam rintangan untuk melakukan siaran langsung melalui platformnya masing-masing. Kasus ini tidak diberitakan oleh media sampai bulan Agustus, yang kemudian memancing reaksi negatif dari netizen Indonesia.

Seiring dengan pesatnya pertumbuhan jumlah pembuat konten independen di ranah daring dalam beberapa tahun terakhir, stasiun televisi semakin kehilangan pijakan. Konten-konten di media sosial ini lebih dekat di hati penikmatnya, mudah diakses, dan kebanyakan tidak dipungut biaya, sehingga lebih menarik bagi penonton.

Bagi pembuat konten, memiliki platform sendiri artinya memiliki kendali lebih besar atas konten yang ingin mereka tayangkan. Pada saat yang sama, para kreator di media sosial ini tidak diikat oleh peraturan penyiaran yang mengikat stasiun televisi seperti RCTI.

RCTI meminta agar setiap program yang disiarkan di internet juga tunduk kepada UU Penyiaran untuk menghindari konten yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Apabila permohonan ini dikabulkan, siaran langsung di Instagram, Facebook, YouTube, dan media sosial lain harus memiliki izin penyiaran seperti yang dimiliki lembaga penyiaran konvensional. Kalau tidak, platform media sosial tersebut bisa ditutup

Sejujurnya, kekhawatiran RCTI bisa dimengerti. Saat ini, influencer dan pembuat konten tidak tunduk pada regulasi apa pun dalam operasionalnya. Artinya, konten mereka memiliki potensi untuk menyebarkan informasi salah, menyesatkan, atau menyalahgunakan penonton karena tidak adanya regulasi. Kekhawatiran ini masuk akal, apalagi dalam hal endorsement.

Di beberapa negara, influencer diwajibkan memberitahu pengikutnya apabila konten mereka mengandung promosi berbayar. Menurut Federal Trade Commission Act (FTCA), pemasaran influencer diatur dalam peraturan periklanan. Salah satu peraturan tersebut menyebutkan bahwa influencer harus menjelaskan dengan terbuka apabila konten yang mereka buat mengandung kesepakatan berbayar, termasuk tautan afiliasi.

Facebook dan Instagram memiliki kebijakan konten bermereknya sendiri. Facebook menyatakan, “Kami menjelaskan konten bermerek sebagai konten milik kreator atau penerbit yang menampilkan atau dipengaruhi oleh partner bisnis untuk sebuah nilai tukar.”

Berdasarkan definisi tersebut, sponsor tidak hanya sebatas pertukaran uang, tapi juga mencakup pertukaran barang atau jasa. Konsumen berhak untuk mengetahui apakah suatu konten dibayar atau tidak karena dalam kesepakatan sponsor, influencer biasanya harus mempromosikan keunggulan produk.

Aturan FTCA juga tidak mengizinkan influencer untuk mempromosikan barang palsu dan skema piramida - sebuah area yang harus diatur di Indonesia.

Akan tetapi, longgarnya aturan mengenai kerja sama dan proses uji kelayakan bagi influencer dibandingkan dengan media arus utama juga berarti bahwa ada ruang lebih besar untuk penipuan.

Foto: Situs jual-beli tiket yang sedang diperiksa pihak berwajib

Pada awal tahun ini, beberapa influencer, termasuk Gisella Anastasia, diperiksa oleh pihak berwajib sehubungan dengan promosi berbayar dari sebuah situs jual-beli tiket yang ternyata hanya kedok untuk menutupi kegiatan kriminal mereka - pencurian data kartu kredit dan menyalahgunakan data tersebut untuk membeli tiket.

Pada akhirnya, yang rugi adalah pengikut influencer. Pertanyaannya adalah: apakah influencer harus diatur? Dan bagaimana caranya?

Walaupun belum ada aturan yang khusus mengikat konten di internet, UU Perlindungan Konsumen sudah mengatur beberapa isu mendasar. Pasal 4 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa salah satu hak konsumen adalah memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

Perlu dicatat bahwa sebagian konsumen tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi. Akibatnya, mereka tidak bisa menilai dan menyaring informasi. Ketidakmampuan ini rentan disalahgunakan.

Contohnya, akun Instagram @korbantukanggigi aktif mengedukasi masyarakat untuk menghindari praktik perawatan gigi ilegal yang menawarkan berbagai bentuk perawatan gigi dengan harga murah. Praktik semacam ini menimbulkan berbagai efek samping, mulai dari iritasi hingga kanker. Dalam menawarkan jasanya, praktik perawatan gigi ilegal kerap menyertakan embel-embel ‘lebih murah’ dan ‘aman.’ Kegiatan promosi seperti ini disebut sebagai fraudulent misrepresentation. Hal ini ditandai dengan penggunaan pernyataan yang jelas-jelas salah dan menyebutkan khasiat tertentu yang sebenarnya tidak ada.

Terkait dengan kontrak endorsement, tidak jarang influencer berada di posisi yang kurang menguntungkan. Ini rentan terjadi ketika perusahaan yang menggunakan jasa influencer memiliki posisi yang lebih tinggi dalam hal ekonomi.

Misalnya, perjanjian baku, yang memuat syarat dan ketentuan yang disiapkan pelaku usaha atau pihak yang menggunakan jasa influencer. Pihak-pihak ini dapat menyalahgunakan perjanjian baku, apalagi kalau influencer yang mereka kontrak kurang berpengalaman dan tidak sepenuhnya memahami konsekuensi hukum dari perjanjian tersebut. Dalam perjanjian baku, influencer tidak memiliki pilihan lain selain menerima atau menolak perjanjian tersebut.

Harga dan barter juga perlu disesuaikan. Harga yang terlalu tinggi kerap menjadi masalah bagi perusahaan. Misalnya, ketika influencer mikro mematok harga yang serupa dengan influencer makro. Di sisi lain, belum ada pedoman standar untuk menetapkan harga di bidang pemasaran influencer. Influencer dikategorikan sebagai pekerja lepas.

Ada juga pekerjaan yang tidak seimbang, di mana pelaku usaha memberikan produk gratis dan sebagai imbalannya influencer mempromosikan produk tersebut. Begitu pula sebaliknya, influencer meminta produk gratis dengan imbalan eksposur. Kadang, nilai pertukaran ini tidak sebanding dengan pekerjaan.

Salah satu kasus yang sempat ramai diperbincangkan di media sosial adalah kasus A-Team, manajemen Awkarin atau Karin Novilda. A-Team mengajak sebuah event organiser untuk bekerja sama membuat acara dengan iming-iming eksposur dari pihak A-Team. Karin dan A-Team sudah memberi klarifikasi atas kasus ini.

Dalam kasus tersebut, kedua belah pihak harus menghitung upaya yang dilakukan masing-masing pihak dan memberi bayaran yang setimpal.

Ke depannya, diharapkan ada aturan untuk mengawasi kegiatan influencer dan pembuat konten independen. Mereka telah diterima oleh berbagai perusahaan, baik besar maupun kecil, sebagai ‘alat’ pemasaran terbaru yang popularitasnya sedang menanjak. Pengaruh mereka akan semakin besar di masa depan.

Keberadaan aturan ini penting tidak hanya untuk melindungi konsumen, perusahaan, dan platform, tetapi juga influencer itu sendiri; sampai saat ini, transaksi yang melibatkan influencer sulit diprediksi dan masih berada di zona abu-abu.

Influencer dan pembuat konten digital sedang mengarah ke pembentukan sub-kategori baru di dalam industri hiburan. Jumlah, skala, dan jangkauan mereka terlalu besar untuk dibiarkan tanpa adanya peraturan tersendiri. Seperti di indisutri-industri lainnya, peraturan tersebut bisa menjadi pedoman bagi pelaku industri, baik baru maupun lama.


Artikel terkait

See this gallery in the original post