TFR

View Original

Peragaan busana harus berjalan, namun dengan presentasi yang lebih menarik

Read in English

Koleksi Toton dari Jakarta Fashion Week 2021/Dachri Megantara

Sulit bagi kita membayangkan era di mana peragaan busana tidak ditayangkan secara langsung melalui live stream. Metode ini pertama kali diterapkan pada tahun 2008, ketika Alexander McQueen mempertunjukkan ‘Plato’s Atlantis;’ hanya sekitar satu dekade lalu. Sebelumnya, peragaan busana diadakan secara luring dan, dalam sejarahnya, sangat elit.

Beberapa pertunjukan diadakan di salon mewah, trek balap, dan bahkan kastil. Penikmat fesyen, kecuali diundang ke acara tersebut, harus sabar menunggu sebelum bisa melihat hasil karya desainer di dalam majalah, buku mengenai tren, atau televisi. Fashion Week bahkan belum resmi hingga tahun 1943, ketika pertama kali diadakan di New York.

Satu abad kemudian, kita menganggap hal ini adalah sesuatu yang wajar. Ketika COVID-19 menyerang pada bulan Maret tahun ini, industri fesyen benar-benar mempertimbangkan apakah masih akan tetap ada peragaan busana seperti yang kita kenal selama ini. Tentu saja, pertanyaan yang sama juga diajukan mengenai Jakarta Fashion Week, yang merupakan panggung bagi Indonesia dalam 12 tahun terakhir. Sebagai salah satu acara fesyen terbesar di Asia Tenggara, Jakarta fashion Week tetap dijalankan secara virtual.

Kenyataan bahwa melanjutkan peragaan busana menjadi bahan perdebatan sangat tidak seperti industri keras kepala yang terkenal akan keterlambatannya dalam mengadopsi strategi digital. Celine, misalnya, belum memiliki platform e-commerce hingga 2017. Seharusnya tidak mengejutkan bahwa pada bulan September tahun ini, empat ibu kota fesyen (New York, London, Milan, dan Paris) sudah melanjutkan peragaan busana dengan penonton langsung. Jelas seberapa kecilnya pencapaian mereka dalam hal inovasi.

Chanel, Dior, dan Balmain menyelenggarakan pertunjukan kolosal seperti biasa, dengan penonton berjumlah besar yang duduk berjarak satu meter. Merek lainnya mencoba sesuatu yang berbeda: Miu Miu mengadakan peragaan busana virtual dengan set layaknya stadium dan menampilkan semua penontonnya di layar; Mugler membuat film fesyen yang relevan untuk Instagram; Moschino mengadakan pertunjukan boneka. Meskipun minoritas, merek-merek ini telah menetapkan cetak biru untuk model baru dalam mempertunjukkan pakaian.

Berkat jadwalnya yang ditetapkan sebagai penutup dari rangkaian fashion week, JFW bisa banyak belajar. Selain fashion week internasional, ada juga acara lokal lain yang bisa dipelajari-Nusantara Fashion Festival di bulan Agustus dan Indonesia Fashion Week dua minggu sebelumnya. JFW selalu menayangkan acaranya secara langsung. Ini berarti digitalisasi bukan hal baru, namun ini adalah kali pertama formatnya dirombak total: sebuah peragaan busana tanpa penonton ditayangkan di YouTube.

Ini adalah upaya adaptasi yang patut dipuji, dan pencapaian ini tidak boleh luput dari perhatian kita. JFW didukung oleh sponsor-sponsor yang solid; acara ini juga mempersembahkan inovasi ‘See Now, Buy Now’ bersama Lazada. Jelas masih ada ruang untuk perbaikan, tetapi hal ini berlaku untuk semua presentasi digital.

Kali ini, peragaan busana di JFW direkam sebelumnya oleh beberapa videografer fesyen, yang diberi kredit sebagai produser seni visual, yang terbukti menantang secara logistik. “Kami kekurangan beberapa peralatan yang diperlukan karena jelas ada kendala anggaran dan ruang,” kata seorang direktur, yang tidak ingin disebutkan namanya.

“Dalam beberapa kasus, saya disuruh mengambil semuanya dalam satu take, jadi jelas ada tekanan. Tetapi setiap acara membutuhkan metode produksi yang berbeda; ini bukan satu solusi untuk semua. Seluruh proses terasa sangat terburu-buru, rapat mungkin bisa lebih efisien, tetapi ini wajar untuk format eksperimental yang direalisasikan untuk pertama kalinya. Kami mencari jalan keluar dan belajar banyak sepanjang proses ini.”

Apakah pakaian menjadi lebih terlihat atau tidak adalah satu hal — format ini memiliki potensi untuk mengomunikasikan narasi yang lebih bermakna. Hal ini jelas terlihat dalam acara Dewi Fashion Knights. Presentasi Sejauh Mata Memandang yang disutradarai oleh Davy Linggar dibagi menjadi dua segmen: 4 menit berlatar di pabrik dan 2 menit di panggung JFW. Bagian yang menunjukkan produksi pakaian dibuat dengan indah dan berhasil menceritakan kisah merek itu.

Hilarus Jason Pratana menangkap koleksi Toton dengan presentasinya yang memikat, dengan tambahan musik mistis oleh Svara Samsara. Lulu Lutfi Labibi yang terkenal dengan pendekatan artistiknya terhadap fesyen menghadirkan film pendek misterius karya Bramsky dengan puisi oleh Joko Pinurbo.

Koleksi Lulu Lutfi Labibi dari Jakarta Fashion Week 2021/Dachri Megantara

DFK berhasil mendemonstrasikan cara yang benar untuk membuat pertunjukan yang bagus: ide yang solid, arahan artistik yang kuat, pakaian berkualitas, desain panggung yang bagus, pengurutan yang tepat, penyuntingan video yang menarik, serta desain suara. Ketiga pertunjukan tersebut memicu rasa ingin tahu dan menunjukkan betapa banyak hal yang ditawarkan Indonesia.

“Dengan metode ini, pekerjaan menjadi berlipat ganda, dan bebannya lebih berat. Tahun ini adalah saat di mana kami harus mengerahkan semua yang kami punya,” tutur Svida Alisjahbana, CEO GCM Group dan ketua Jakarta Fashion Week, pada konferensi pers. “Persiapannya pasti lebih lama. Produksi virtual tetap berarti produksi penuh dan kemudian menunggu penyuntingan akhir untuk menghasilkan produk akhir yang prima. Kami memiliki beberapa tim yang harus bekerja sangat dekat satu sama lain, termasuk dalam konsep pertunjukan secara keseluruhan dan produksi lapangan.”

Dia ingat bahwa setelah menutup hari terakhir produksi, tepuk tangannya sangat pelan, "Karena kami masih harus membayangkan akan seperti apa semua pekerjaan ini." Meskipun lebih sulit untuk produksi, format ini lebih efisien untuk penonton — tetapi mungkin waktu tayang yang lebih singkat dapat membantu JFW menjadi lebih menarik, berhubung orang-orang memiliki rentang perhatian yang lebih pendek.

JFW 2021 adalah kesempatan untuk belajar. Memang akan sangat mahal, tetapi akan lebih mahal lagi kalau tidak mempelajari apapun sama sekali-sebuah hal yang akan terjadi jika pertunjukan itu tidak terjadi sama sekali. “Pandemi adalah alasan, tapi kreativitas tidak boleh berhenti,” lanjut Svida. “Peran peragaan busana adalah untuk menunjukkan bahwa perubahan gaya hidup akan membawa perubahan pada fesyen. Sejarah telah menulis bahwa pada saat pandemi, fesyen beradaptasi; depresi melahirkan fesyen yang bermakna.”

Image courtesy of Jakarta Fashion Week 2021/J. Fakar

Memang, di saat krisis, orang mencari inspirasi. “Kami harus optimis. Saat ini kami harus menunjukkan kreativitas yang dapat menyampaikan ide untuk mengubah sesuatu selama pandemi menjadi hiburan,” kata Deputi Bidang Produk dan Acara Pariwisata di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Rizki Handayani Mustafa.

Baik Svida maupun Rizki juga menyampaikan pentingnya mendukung semua orang dan talenta di bidang fesyen, khususnya para desainer. “Orang-orang kreatif tidak kehabisan ide, dan ada banyak pelajaran yang bisa didapat di sini. Kita harus mendukung mereka.”

Di dunia yang sangat ingin bergerak maju dengan cepat ini, penting untuk diingat bahwa proses perlu terjadi, dan itu membutuhkan waktu. Menyaksikan dan menjadi bagian dari sesuatu yang baru adalah hal yang menggerakkan dunia fesyen. Bayangkan jika JFW tidak terjadi. Bayangkan jika peragaan busana menjadi bagian dari masa lalu.

Pikirkan semua orang yang akan kehilangan tidak hanya pekerjaan mereka, tetapi juga semua hubungan antar-manusia yang diciptakan dalam acara seperti ini. Fesyen memang megah dan eksploitatif, tetapi juga didorong oleh keteguhan dan hasrat sejati — hal-hal positif yang harus kita berikan lebih banyak ruang. Kita tidak bisa kembali ke keadaan semula seperti sebelum pandemi. Pandemi coronavirus ini harus menjadi titik balik bagi industri fesyen, yang mengingatkan kita: tidak ada alasan untuk tidak mencoba menjadi lebih baik.


Artikel terkait

See this gallery in the original post