TFR

View Original

PHK melambung, penjualan merosot. Apa solusinya? Ini penjelasan analis ekonomi makro

Sumber foto: Shutterstock

Sejak awal Maret, investor asing telah menarik dana lebih dari Rp100 triliun (>$6,187 miliar) keluar dari Indonesia. Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), angka tersebut adalah penarikan tertinggi dalam sejarah.

“Kita sedang menghadapi pandemi global. Pertama, pemerintah belum siap menghadapi wabah korona. Kedua, fasilitas kesehatan di Indonesia belum memadai. Saat investor mengetahui kondisi ini, mereka beranggapan Indonesia tidak siap menghadapi wabah. Oleh sebab itu, mereka menarik dananya,” tutur Haekal Affandi, Junior Analis di Departemen Pengawasan OJK.

Meski ini bukan pertama kalinya dunia dilanda wabah, dampak ekonomi saat ini tidak bisa dibandingkan dengan masa wabah SARS pada tahun 2003 ataupun wabah MERS di tahun 2009.

“Hong Kong adalah sebuah pusat keuangan, dan hanya menyumbang 1.3% PDB global. China adalah pusat rantai pasokan dunia. Ketika China menutup akses masuk, semua negara kena imbasnya. China menyumbang 17% PDB dunia.” 

Kebanyakan bisnis di Indonesia bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan mereka. Manufaktur berpusat di China, bahkan untuk perusahaan-perusahaan besar seperti Apple.

PDB = Produk Domestik Bruto

Selain COVID-19 dan fasilitas kesehatan yang tidak mumpuni, melemahnya daya beli dan fundamental dalam dua tahun belakangan memicu perlambatan ekonomi Indonesia. “Perlambatan ekonomi tidak terjadi dalam satu hari,” kata Haekal.

Menurutnya, solusi dari masalah ini tergantung seberapa cepat pemerintah bisa mengatasi wabah COVID-19.

“Ekonomi China jatuh di kuartal pertama (Januari-Maret) 2020 dan pulih di kuartal kedua (April–Juni). Apabila kita menggunakan proyeksi yang sama untuk Indonesia, ekonomi kita bisa pulih di kuartal ketiga (Juli–September) karena kita mengalami gelomba COVID-19 kedua di kuartal kedua.”

Akan tetapi, pemulihan di kuartal tiga bisa terjadi jika pemerintah bisa mengatasi COVID-19. “Investor akan menilai cara pemerintah menangani pandemi ini. Semakin bagus pemerintah menangani wabah, semakin cepat ekonomi kita pulih.”

Di sisi lain, Haekal juga paham bahwa pemerintah sedang menghadapi dilema. 60% pelaku bisnis di Indonesia adalah UMKM, sedangkan 70% pekerja adalah pekerja informal yang mengadalkan upah harian. Kalau pemerintah mengunci negara ini, UMKM dan pekerja informal bisa jatuh ke jurang kemiskinan. Ditambah lagi, pusat penyebaran wabah adalah pulau Jawa yang menyumbang 70% ke perekonomian nasional.

“Ada yang memprediksi bahwa puncak COVID-19 di Indonesia akan terjadi sekitar masa Lebaran. Tetapi, kalau masyarakat masih pergi ke kantor, naik angkutan umum, kita akan perlu waktu lebih lama untuk pulih. Kita tidak yakin kita bisa seperti China yang bisa mengatasi pandemi ini dalam delapan minggu.”

Ketika mengunci negara tidak bisa dijadikan pilihan, ada cara lain untuk menjaga ekonomi: stimulus keuangan dan fiskal.

Stimulus keuangan atau moneter adalah langkah yang dilakukan bank sentral (dalam hal ini Bank Indonesia) atau otoritas keuangan (OJK) yang memiliki dampak langsung pada industri perbankan.

Misalnya, Presiden Joko Widodo pada 24 Maret mengumumkan bahwa Kementerian Keuangan akan memperpanjang tenggat hutang bagi UMKM dan pekerja informal selama satu tahun. OJK juga memberikan kelonggaran bagi UMKM yang memiliki kredit di bank.

Pelonggaran pembayaran hutang adalah bentuk stimulus keuangan atau moneter. Artinya, UMKM dan pekerja informal diberi tambahan waktu untuk melunasi hutang. Contoh lain adalah bantuan uang tunai senilai hingga Rp1.000.000 per bulan bagi karyawan yang di-PHK.

Stimulus fiskal adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah tanpa melibatkan bank sentral atau otoritas keuangan. Contohnya, mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk mengatasi wabah COVID-19.

Baik stimulus fiskal dan keuangan bertujuan untuk mendorong ekonomi, namun karena kita menghadapi pandemi, Haekal menjelaskan bahwa stimulus keuangan tidak akan berdampak banyak pada ekonomi karena akan membutuhkan waktu lama.

"Stimulus keuangan tidak memiliki dampak langsung ke bidang kesehatan karena kebijakan tersebut hanya memberikan kelonggaran pembayaran hutang, bukan memperlambat penyebaran wabah,” jelasnya.

Haekal menyatakan bahwa pemerintah harus mengatasi penyebab utama dari masalah ini. “Stimulus fiskal yang berkontribusi langsung ke sistem kesehatan akan lebih efektif. Misalnya, tes COVID-19 gratis untuk masyarakat. Apabila pandemi berakhir, bisnis akan berjalan seperti biasanya, masyarakat masuk kerja dan konsumsi naik, otomatis saham dan pasar uang akan naik.”