TFR

View Original

Sisi ganda cancel culture

Image: The Lennon Wall in Prague from Shutterstock

“Kami sekarang lebih populer dari Yesus,” begitu tutur John Lennon dari grup musik The Beatles dalam sebuah wawancara dengan London Evening Standard pada bulan Maret 1966. Tidak ada masalah yang terjadi ketika artikel tersebut pertama dipublikasikan di Inggris. Namun, ketika artikel yang sama dirilis ulang di Amerika Serikat pada bulan Juli 1966, berbagai permasalahan mulai muncul.

Komentar tersebut disambut negatif oleh warga Amerika Serikat yang terkenal lebih relijius. Sejumlah individu dan komunitas Kristen di sana menyampaikan keberatan mereka dengan menggelar protes, membakar album-album The Beatles, dan memboikot musik grup tersebut di beberapa stasiun radio.

Apalagi, waktunya bersinggungan dengan jadwal tur The Beatles di Amerika Serikat pada tahun 1966. Beberapa konferensi pers pun terpaksa dibatalkan, karena sejumlah konser sempat didatangi oleh grup radikal Ku Klux Klan yang menentang kehadiran The Beatles di Amerika. The Beatles were getting cancelled.

Dalam hal ini, konteks menjadi sangat penting. Jurnalis yang melakukan wawancara untuk artikel tersebut, Maureen Cleave, merupakan teman John Lennon, yang membuatnya lebih santai dan terbuka selama wawancara.

Komentar lengkap John Lennon adalah sebagai berikut: “Agama Kristen akan pergi. Hilang dan lenyap. Saya tidak perlu memperdebatkan ini, saya benar dan akan terbukti benar. Kami sekarang lebih populer dari Yesus; Saya tidak tahu mana yang akan hilang terlebih dahulu, rock ‘n roll atau agama Kristen.”

Bila dibaca secara utuh, cukup jelas bahwa John Lennon tengah mengomentari paham sekularisme yang semakin populer di kalangan masyarakat, bukan berkomentar sombong dengan membandingkan grup musiknya dengan Yesus. Namun, seperti lumrahnya kasus cancel culture lain, masyarakat cenderung lebih cepat menghakimi daripada mendengarkan.

Kasus John Lennon membuktikan bahwa cancel culture bukan merupakan fenomena baru. Budaya ini bukan sesuatu yang dimulai di era media sosial, walaupun media sosial tentu memperparah dampaknya.

Cancel culture dapat diartikan sebagai praktek menarik dukungan kepada figur publik atau perusahaan setelah mereka melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap tidak menyenangkan atau menghina.

Hal ini juga berlaku pada kesalahan masa lalu, yang prakteknya sering dikritik dikarenakan manusia terus berkembang dan memperbaiki diri. Cancel culture sering digambarkan secara negatif, namun TFR ingin berargumen bahwa cancel culture juga dapat membawa berbagai dampak positif.

Image: Harvey Weinstein from Shutterstock

Pertama, cancel culture merupakan alat kontrol sosial yang kuat. Utamanya, budaya inimerupakan alat untuk meminta pertanggungjawaban individu atas perbuatan mereka.

Gerakan Me Too dan dihukumnya Harvey Weinstein beberapa waktu lalu merupakan salahsatu contoh cancel culture yang paling tersohor. Walaupun gerakan dan kasus tersebut takdapat menghentikan pelecehan seksual sepenuhnya, keduanya telah berhasil mengkomunikasikan efek jera.

Contoh ini membuktikan bahwa orang-orang paling berkuasa, terkenal, dan berpengaruh sekalipun dapat dijatuhi sanksi. Para penyintas pelecehan seksual pun merasa lebih berdaya dalam bersuara, dengan dukungan komunitas global di belakang mereka.

Hal ini mengisyaratkan bahwa pelecehan seksual tidak boleh dibiarkan, dan pelakunya akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan mereka.

Kedua, cancel culture dapat memberikan pembelajaran bagi semua pihak yang terlibat. Contoh yang baru-baru ini terjadi di Indonesia adalah kasus YouTuber Indira Kalistha yang membuat pernyataan yang oleh publik dianggap tidak pantas dan tidak bertanggung jawab terkait pandemi COVID-19.

Dalam sebuah wawancara di kanal YouTuber lain – Gritte Agatha –, Indira menyatakan bahwa dirinya merasa tidak perlu menggunakan masker kala bepergian maupun mencuci tangan sebelum makan, walau sebelumnya ia baru bepergian atau menyentuh berbagai barang. Komentar ini menimbulkan kemarahan masyarakat, yang menganggapnya sangat tidak sensitif terhadap wabah yang sedang terjadi saat ini.

Yang terjadi kemudian adalah upaya mitigasi krisis hubungan masyarakat dengan menerapkan sebuah formula klasik. Indira Kalistha menjadi bintang tamu di kanal YouTube Deddy Corbuzier untuk mengklarifikasi dan memohon maaf atas pernyataannya tersebut.

Indira menjadi contoh bagi figur publik lainnya agar lebih bertanggung jawab dalam mengelola pengaruh yang mereka miliki, termasuk dalam menjaga agar tidak mengeluarkan komentar yang tidak teredukasi dan dapat menyesatkan pengikut mereka.

Hal ini juga menjadi pembelajaran bagi para pembuat konten lain seperti Gritte Agatha agar bersikap kritis saat melakukan wawancara, menyunting, ataupun menyampaikan konten dan tidak menyampaikan informasi yang tak bertanggung jawab. Masyarakat pun diuntungkan, karena kontroversi ini telah meningkatkan kesadaran tentang pentingnya atribut dan kebiasaan perlindungan diri dalam menghadapi pandemi COVID-19.

Tentunya, dampak-dampak positif di atas tidak bermaksud untuk mengklaim bahwa stigma negatif yang menempel pada cancel culture selama ini tidak beralasan.

Cancel culture merupakan ladang subur untuk menumbuhkan mentalitas kelompok yang mendorong individu untuk berpihak pada suara mayoritas dalam menghadapi isu-isu kontroversial, terlepas dari apa yang sebetulnya mereka rasakan atau yakini.

Cancel culture dapat membungkam individu-individu yang memiliki opini berbeda karena mereka takut akan dikucilkan atau diserang karena opini yang mereka miliki. Terlepas dari apakah pendapat-pendapat yang berbeda ini valid, hal ini terbilang problematis.

Pertama, kita akan dirampas kesempatannya untuk mendengarkan berbagai perspektif yang dapat memperkaya pemahaman kita akan dunia. Kedua, kalaupun opini yang berbeda itu jelas-jelas salah – misalnya opini rasis –, dengan membungkam opini-opini tersebut maka kita telah membiarkan kelompok-kelompok penganutnya tidak terekspos sehingga kehilangan kesempatan untuk mengedukasi mereka.

Sebagai efek samping dari cancel culture, akhir-akhir ini terlihat semakin marak masyarakat yang ikut-ikutan bersuara dalam berbagai perkara, bahkan dalam perkara yang tidak sepenuhnya mereka pahami atau pedulikan. Hal ini dilakukan untuk membangun citra sebagai pribadi yang ‘woke’, meningkatkan nilai sosial dengan mengomentari isu-isu populer – biasa disebut performative activism –, atau untuk mendorong agenda pribadi. Inilah alasan mengapa semakin banyak pejuang keadilan sosial bersuara di ranah online ketika muncul topik yang hangat, sembari mengatasnamakan aksi mereka sebagai aktivisme.

Begitu signifikannya fenomena ini sampai mantan presiden Amerika Serikat Barrack Obama membahas cancel culture pada tahun 2019 silam, “Saya kadang merasa bahwa sekarang ini, di antara sejumlah anak muda, dan ini diakselerasi oleh media sosial, ada pandangan bahwa ‘cara saya melakukan perubahan adalah dengan menghakimi orang lain, dan itu cukup.’” Obama melanjutkan, “Hal itu bukanlah aktivisme dan tidak membawa perubahan. Jika yang kamu lakukan hanya melempar batu, maka kamu mungkin tidak akan membawa perubahan signifikan.”

Pada intinya, cancel culture diatur oleh nilai-nilai yang kita anut pada masa tertentu. Nilai-nilai ini berubah dan berevolusi seiring dengan berjalannya waktu; tidak pernah konstan. Inilah yang menyebabkan sebagain orang dapat ‘pulih’ setelah di-cancel. Kontroversi John Lennon di atas, misalnya, tentu tidak akan menyebabkan kekacauan separah itu bila terjadi di tahun 2020. Reaksi negatif mungkin tetap ada, namun grup musik yang begitu populer dan berpengaruh seperti The Beatles tidak akan di-cancel berdasarkan pandangan mereka tentang sekularisme di tahun 2020.

Pada akhirnya, cancel culture akan terus ada di masyarakat. Saat ini kita sedang menyaksikan contoh yang sangat nyata dari cancel culture dengan berlangsungnya gerakan Black Lives Matter yang telah mengakibatkan cancellation atas sejumlah figur publik dan institusi. Metodenya mungkin berubah, begitu pula namanya, namun sudah merupakan sifat alami kita untuk menolak (cancelling) apa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut.

Dampak positifnya banyak, begitu juga dampak negatifnya. Dengan media sosial, kita memiliki kekuatan lebih dalam menerapkan kontrol sosial, tetapi artinya kesalahan yang kita perbuat dapat mendatangkan dampak yang lebih besar juga. Ayo tetap berhati-hati dan bertanggung jawab dengan kata-kata yang kita pakai!