TFR

View Original

Bagaimana model androgini Indonesia bertahan di industri

Read in English

Foto (kiri ke kanan): Darell Ferhostan, Anast Lie and Ichsan Rindengan

Sepanjang sejarah seni, androgini selalu dianggap sebagai ekspresi keindahan. Namun, seringkali seniman menyalahartikan karakteristik kemenduaan pada androgini sebagai dualitas jenis kelamin. Kebingungan ini kemungkinan diwariskan hingga saat ini dalam cara memahami konsep androgini. Industri fesyen, yang turut serta memajukan sejarah seni, menjadi suatu lingkungan yang menerima semua ekspresi jenis kelamin dan kelenturannya atas nama seni.

Bahkan di Indonesia yang sangat tradisional, kita bisa melihat model androgini memamerkan koleksi milik merek-merek kelas atas. Jika dilihat dari kondisi saat ini, kita mungkin lupa bahwa sepuluh tahun yang lalu, model androgini tidak populer di industri fesyen Indonesia. Satu dekade lalu, model androgini yang kita kenal saat ini harus membuka jalan mereka sendiri di dalam industri fesyen lokal.

Foto: Darell Ferhostan

Ketika Darell Ferhostan (28) memulai karirnya sebagai model, tidak ada model androgini di industry fesyen Indonesia. Pada tahun 2010, Darell menghadiri test shoot pertamanya, dan sejak saat itu, perjalanannya sebagai model androgini dimulai. Karena Darell tidak masuk ke dalam berbagai kategori model yang ada saat itu, “Saya harus membuat kotak saya sendiri di dalam industri. Sulit, tapi tidak mustahil.”

Ketika itu, model-model fesyen di Indonesia dikelompokkan secara ketat berdasarkan jenis kelamin mereka. Mereka juga harus memenuhi kriteria tertentu. Contohnya, mereka harus memiliki tinggi badan tertentu, bentuk tubuh tertentu, dan sebagainya. Di awal karirnya, bahkan Darell pun tidak sepenuhnya yakin. “Model pria biasanya berotot, jadi ketika itu saya juga ragu.” Namun, pada akhirnya, Darell mampu membuat kotaknya sendiri.

Darell tidak hanya membuka peluang bagi model-model lain yang memiliki karakteristik serupa dengannya, tapi juga menginspirasi mereka. Ichsan Rindengan (27), contohnya, mendapati bahwa ia menapaki jalan yang sama dengan model-model androgini lainnya. Ketika ia memulai karirnya sebagai model, penata busana dan fotografer di test shoot yang dihadirinya mengatakan bahwa penampilannya cocok dengan penampilan androgini.

“(Mereka bilang) profil wajah saya tidak sepenuhnya maskulin. Gaya feminin juga cocok dengan saya,” katanya saat mengenang salah satu pengalaman test shoot-nya. “Ada nilai seni tersendiri dalam penampilan yang ambigu.”

Ichsan juga menjelaskan bahwa menjadi androgini bukan berarti ia terlihat seperti wanita. Menjadi androgini lebih pada kenyataan bahwa ia mampu mewujudkan kualitas feminin dan maskulin pada saat yang bersamaan. Memiliki kualitas ini sebagai model memiliki keuntungannya sendiri di industry fesyen. Kualitas ini tentu saja merupakan nilai jual yang unik dalam bisnis yang sangat bertumpu pada pemasaran diri. Namun, Darell memiliki pandangan yang menarik mengenai hal ini.

Foto: Ichsan Rindengan

“Saya rasa kemenduaan sangat terkait dengan fisik dan seksual. Androgini menurut saya adalah bagaimana Anda mempresentasikan diri Anda dan bagaimana Anda bersikap.” Menurutnya, kemenduaan merupakan kualitas yang tidak bisa diciptakan begitu saja. Kualitas ini datang secara alami dan tidak ada yang bisa menciptakannya atau mengarahkan seseorang untuk mewujudkan kualitas kemenduaan yang sebenarnya. “Kemenduaan adalah sesuatu yang dimiliki sejak lahir.”

Anast Lie (29) mungkin merasakan hal yang sama. Pada awal karirnya, dia didorong untuk terjun ke dunia model oleh keluarganya supaya dia bisa lebih terhubung dengan sisi kewanitaannya. Dia memang berhasil memanjangkan rambutnya dan ikut serta dalam berbagai pertunjukan, hingga pada suatu ketika dia mendapat beberapa pekerjaan mengharuskannya memotong pendek rambutnya. Sejak itu, dia ternyata mendapatkan lebih banyak pekerjaan yang mengharuskannya untuk menampilkan kualitas maskulinnya. “Saya tidak pernah diarahkan, semuanya terjadi begitu saja.”

Foto: Anast Lie

Bagi mereka, androgini merupakan bagian dari karakter alami mereka. Ada rasa tidak nyaman jika tidak menjadi diri sendiri dan ketidaknyamanan itulah yang tidak bisa dimengerti oleh para model ini. Mereka hanya menjadi diri mereka sendiri dan kebetulan saja lingkungan pekerjaan mereka mendukung karakter dan keunikan mereka. Dukungan ini membawa mereka sampai ke posisi mereka saat ini.

Namun, bukan berarti semua selalu berjalan mulus. Ekspresi androgini seringkali dihubungkan dengan topik kontroversial seperti LBGTQ. Anast beranggapan bahwa pandangan umum mengenai androgini ini membatasi. Pandangan ini membatasi bagaimana perancang busana atau merek mengambil keputusan mengenai sumber inspirasi mereka dan dalam memilih ekspresi gender pada produk mereka. “Industri fesyen Indonesia cukup kaku mengenai apa yang mereka anggap pria dan wanita, jadi produk fesyen yang mengekspresikan hal-hal yang ada di tengah keduanya sangat sedikit karena adanya gatekeeping,” Anist menyimpulkan.

Kekakuan itu bisa jadi datang dari berbagai hal; dari adat, budaya, atau lainnya, namun typecasting menghalangi banyak orang untuk menjadikan modeling sebagai pekerjaan. “Ketika saya berbicara mengenai inklusivitas, saya tidak berbicara hanya mengenai model androgini; saya juga berbicara mengenai model dengan tinggi badan tertentu, kulit yang lebih gelap, bentuk tubuh tertentu, dan sebagainya.” Darell menjelaskan pandangannya, “Ada keindahan dalam perbedaan.” Ia menyadari bagaimana typecasting dan pengkotak-kotakkan yang ada dalam industri fesyen membatasi individu dan pada akhirnya menciptakan kepatuhan dalam industri yang seharusnya kreatif.

Tetapi, harapan masih tetap ada. “Dalam tiga tahun terakhir, industri fesyen lokal sudah mulai lebih sadar,” kata Ichsan. Nampaknya ketakutan akan ekspresi yang tidak biasa yang ditampilkan oleh model-model androgini telah dikalahkan oleh visi artistik dan para sumber inspirasi. Nama-nama besar tidak lagi menahan diri dari bekerja dengan model androgini sebagai sumber inspirasi mereka. Panggung dan pemotretan mulai dibuka bagi beragam ekspresi dan standar.

Kita mungkin belum mencapai tujuan akhir, tapi tampaknya industri fesyen Indonesia sedang melangkah ke suatu tempat, dan semoga tempat itu adalah tempat yang lebih terbuka dan inklusif.