TFR

View Original

Budaya meniru - Bagian 3. Dampak kesejahteraan terhadap kreativitas

Read in English

Dalam artikel yang terbagi ke dalam empat bagian, TFR mengobservasi dan melakukan analisis penyebab budaya meniru di Indonesia. Tujuan seri ini adalah untuk edukasi, informasi, serta memberikan masukan.

Foto: Unsplash

Kesejahteraan di rumah
“Kenapa ada kelas yoga untuk anak umur dua tahun? Bukannya mereka seharusnya berlarian dan bersenang-senang?” ucap Sarah Ginting, arsitek dan pemenang kompetisi Sustainable Urban Development yang diadakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia.

Baik kita sadari atau tidak, ada korelasi antara masa kecil dan perkembangan kreatif. Lingkungan terdekat, yaitu keluarga, merupakan faktor penyumbang terbesar terhadap proses berpikir seseorang. Hal ini dapat ditelusuri dari tahap pertama perkembangan anak: pemrosesan sensorik.

Menurut ahli terapi bermain dan pengajar Fibrina Bian (Bian), jika orangtua membatasi kegiatan anak, perkembangan pemrosesan sensorik mereka akan tertunda. Pemrosesan sensorik adalah kemampuan otak untuk menerima dan menanggapi sensasi dari berbagai indera, seperti suara, rasa, sentuhan, bau, dan cahaya.

Tertundanya pemrosesan sensorik akan berdampak pada perkembangan emosional, yang berujung pada tertundanya perkembangan korteks prefrontal, tempat dibentuknya perilaku kognitif, ekspresi, pengambilan keputusan, dan perilaku sosial.

“Kalau kebutuhan jasmani anak terpenuhi, kreativitas akan secara otomatis tumbuh karena mereka terbiasa dengan sensasinya,” ucap Bian.

Itulah mengapa anak butuh ruang untuk menjelajah. Pendiri The Spring School di Bali, Veronika Nariswari, melatih sensor, aspek emosional dan sosial, serta kreativitas melalui bahan-bahan daur ulang yang disumbangkan oleh orangtua siswa.

“Kegiatan itu melatih anak untuk melihat nilai yang terkandung dalam kardus, karena mereka bisa mengubahnya menjadi karya seni. Mereka bebas menggunakan cara mereka sendiri dan belajar untuk menghargai prosesnya. Di saat yang bersamaan, kami mengajari mereka untuk menghargai dan terhubung dengan lingkungan. Para siswa menanam benih tomat di halaman belakang, mengamati proses pertumbuhannya, lalu memanen buahnya. Saat proyek memasak, mereka bisa memakan tomat sembari belajar manfaat tomat bagi tubuh mereka. Ini adalah pengalaman belajar yang menyeluruh,” ucap Veronika.

Setelah melihat kurangnya tempat bermain untuk anak-anak di daerah perkotaan yang padat, Sarah merancang sebuah ruang bermain di gang sempit di Gang Bukit Mulia, Cisatu, Bandung. Menempati area seluas 5x3 meter, ruang bermain itu dimuati satu set ayunan, rumah-rumahan, jungkat-jungkit, dan sejumlah tangga panjat.

Di daerah itu, di mana ruang terbuka untuk bermain dan berkeliaran merupakan hal mewah, para siswa dari taman kanak-kanak setempat segera menempati ruang bermain tersebut. Sejak saat itu, gang tersebut dikenal sebagai Gang Sesama, yang menyoroti tujuannya untuk menjadi tempat bagi anak-anak untuk bermain bersama dan bersosialisasi.

Sarah percaya bahwa desain adalah bahasa yang bisa digunakan untuk mengekspresikan sebuah pendirian, termasuk menanggapi masalah dan kerumitan yang dihadapi oleh masyarakat perkotaan. Melalui wawancara telepon, Sarah menyatakan bahwa setiap ruang berperan sebagai sarana bagi penghuninya untuk mengaktualisasikan diri mereka melalui berbagai kegiatan dan kesempatan.

Memaksa anak untuk mengikuti les privat dan mengatur setiap jam kegiatan mereka akan menahan kreativitas mereka. Seringkali, hal tersebut terjadi karena helicopter parents memiliki harapan tinggi terhadap anak agar mereka mampu bersaing di tengah masyarakat modern yang sangat kompetitif.

Tekanan untuk bisa menyesuaikan diri ke dalam masyarakat ada harganya, yaitu mandeknya hobi anak. Artis webtoon dengan nama pena Tupaikidal berkata, “Orangtua saya mau saya menjadi guru karena kebanyakan keluarga saya adalah guru atau aparatur negara. Mereka membatasi kegiatan menggambar saya, yang menghambat saya untuk mengeksplorasi. Belakangan ini, saya menyadari bahwa pembatasan itu memengaruhi proses menggambar saya.”

“Biarkan anak memulai. Mengatakan hal-hal seperti ‘kok kamu mewarnai bunganya hitam’ atau ‘kok kamu menggambar gajah seperti itu’ menanamkan rasa takut di dalam pikiran anak. Anak akan merasa takut untuk menjadi berbeda. Hal itu sendiri telah membunuh kreativitas anak,” ucap Bian.

Memberi anak kesempatan untuk mengambil keputusan akan menumbuhkan rasa percaya mereka. Hasilnya, anak tidak perlu khawatir mengenai penerimaan karena mereka bisa menerima diri mereka sendiri, dan dengan demikian membangun rasa percaya diri mereka. Plagiarisme sering terjadi karena seseorang merasa tidak percaya diri dengan kemampuan mereka.

Penerimaan juga berarti memvalidasi perasaan anak. Faktanya, validasi merupakan bentuk empati yang paling sederhana. Saat anak mendapatkan validasi, mereka tidak akan takut untuk melakukan atau mencoba sesuatu. “Saat anak membuat ulah, kita bisa bertanya ‘kenapa kamu marah? apa kamu mau ngobrol?’ daripada memarahi atau mendiamkan mereka.”

Empati memiliki peran yang jauh lebih besar dari yang kita sadari dalam budaya meniru. “Kalau kita memperlakukan anak-anak dengan rasa hormat, mereka akan memperlakukan orang lain dengan rasa hormat. Mereka akan mengerti proses seseorang menciptakan sesuatu karena mereka menempatkan diri mereka pada posisi orang lain. Memahami diri sendiri adalah hal yang penting. Jika anak merasa puas dengan diri mereka sendiri, mereka akan menghargai orang lain karena mereka memiliki empati,” jelas Bian.

Paparan terhadap situasi dan kondisi di luar rasa nyaman, contohnya, dapat menumbuhkan empati. “Anak perlu melihat berbagai sisi realita, melihat apa yang ada di luar sana. [Orangtua] bisa mulai dengan memberikan mereka kepercayaan, otonomi, dan penghargaan.”

Image: Unsplash

Kesejahteraan di tempat kerja
Menurut teori hirarki kebutuhan Maslow, setiap orang memiliki kebutuhan dasar, kebutuhan psikologis, dan kebutuhan pemenuhan diri. Kebutuhan-kebutuhan ini termasuk kebutuhan atas keamanan, keuangan -baik dari pekerjaan maupun proyek-proyek lepasan-, penghargaan, dan aktualisasi diri. Sebelum mencapai aktualisasi diri, ada kebutuhan pengembangan diri, estetika, dan kognitif. Hanya ketika kebutuhan dasar kita sudah terpenuhilah kita bisa memikirkan mengenai belajar atau kreativitas.

Kesejahteraan pada dasarnya adalah semua aspek yang berhubungan dengan manusia. Dalam hal pekerjaan dan kreativitas, kesejahteraan berhubungan erat dengan inspirasi, lingkungan, dan ruang kerja.

Desain ruang kerja, termasuk pencahayaan, meja, dan kursi, harus dipertimbangkan. Menurut Yunike Balsa (Balsa), psikolog dan dosen di Universitas Bhayangkara, desain ruang terbuka bagus untuk ekstrovert karena mereka bisa mendiskusikan pekerjaan mereka dengan terbuka. Namun, hal ini mungkin tidak berlaku bagi introvert. Sebaliknya, partisi bisa membuat ekstrovert merasa tidak bisa bernapas karena sulit berbicara dengan orang lain.

“Karyawan datang dan pergi, tapi ruang kerja akan terus ada. Manajemen bisa menerapkan desain yang fleksibel, seperti partisi yang bisa dibongkar-pasang,” kata Balsa. Detail terkecil yang kita rasakan dalam kehidupan sehari-harilah yang memiliki dampak terbesar terhadap kesejahteraan kita.

Anggraito Danangjoyo (Ito), CEO perusahaan di balik Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini/One Day We’ll Talk About Today (NKCTHI), berkata, “Kami memasang layar datar di setiap lantai. Karyawan bisa bermain game, menonton film, dan bekerja di depan TV asal mereka memenuhi tenggat waktu. Ada bean bags, karpet di mana mereka bisa duduk dan bekerja.”

Pojok atau ruang untuk time-out di kantor adalah aspek desain yang penting untuk kesejahteraan. “Dengan adanya media sosial dan berbgai aplikasi obrolan, kita dituntut untuk selalu hadir. Pengalaman kita berbeda dibandingkan orangtua kita yang memasuki dunia kerja sebelum WhatsApp diciptakan. Saat itu, mereka pulang pukul lima dan selesai sudah. Sekarang, kolega kita hanya berjarak satu klik saja,” ucap Balsa.

Kantor harus menerapkan batasan yang jelas, seperti membatasi waktu kerja, menyediakan ruang pribadi, serta menjaga batasan fisik dan emosional. “Batasan-batasan ini bisa berupa hal-hal sederhana, seperti menetapkan waktu aktif di WhatsApp beberapa jam dalam sehari. Telepon genggam memengaruhi kualitas tidur dan istirahat. Kurang tidur dan istirahat bisa berujung pada masalah psikologis,” ujar Balsa.

Interaksi antar-manusia di tempat kerja adalah tantangan lainnya. Kantor merupakan titik temu karyawan dari berbagai generasi. Di sinilah empati bisa berguna. Melalui empati, anak-anak diajarkan untuk toleran terhadap orang lain dan melihat segala hal dari kedua sisi.

“Setiap generasi punya permasalahannya sendiri. Ditambah lagi, ada latar belakang dan budaya yang beragam. Hal ini menjadi tantangan di tempat kerja. Toleransi itu penting,” kata Balsa.

Dari empat kebutuhan dasar, stabilitas keuangan saat ini menjadi ancaman bagi industri kreatif. Magang tanpa bayaran, contohnya, tidak memungkinkan bagi banyak orang.

Siswa dari latar belakang sosio-ekonomi yang lebih rendah mungkin tidak akan bisa magang tanpa bayaran karena mereka harus mendapatkan penghasilan untuk menyokong diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Seringkali, mereka adalah tulang punggung keluarga.

Torik Danumaya, fotografer fesyen, mengatakan, “Latar belakang orang-orang di industri fesyen tidak terlalu beragam karena kebanyakan dari mereka mendapatkan dukungan dari keluarga mereka, Mereka bisa mulai dari bawah dengan posisi tanpa bayaran. Ada memang cerita sukses dari nol, tapi hanya sedikit.”

Hal ini akan berujung pada kesenjangan dan menciptakan masyarakat yang homogen karena hanya mereka yang mampu bekerja tanpa bayaran yang akan maju dan berkembang di industri. Masalah ini disebutkan pada bagian kedua seri ini.

Sarah memiliki pandangan lain. “Tidak ada yang ideal mengenai negara berkembang seperti Indonesia. Inilah kenapa roh penting. Roh terdiri atas keadaan pikiran, pola pikir, tradisi, kebiasaan, gaya hidup, kepercayaan, dan semua hal yang abstrak.”

Menurut Bian, satu cara untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan mengajarkan daya tahan. “Contohnya, menabung berbulan-bulan sebelum magang. Ini bukan lagi tentang anak yang lahir dengan atau tanpa hak istimewa. Mereka memiliki hak yang sama. Kita bisa mendorong mereka selama mereka memiliki motivasi.”

Baca bagian 1 dan bagian 2