TFR

View Original

Apa yang hilang dari konser virtual?

Read in English

Image: Unsplash

Era normal baru sudah dimulai di Indonesia, namun banyak yang masih skeptis terhadap fungsi berbagai hal ke depannya. Bagi penggemar musik, bahkan musisi di seluruh negeri, hal ini termasuk mempertanyakan masa depan konser dan acara musik berskala besar. Untuk menjawabnya, pemerintah mengeluarkan sekumpulan peraturan baru, termasuk protokol konser langsung atau normal baru.

Para penyelenggara harus:

  • Membatasi jumlah tamu/peserta yang dapat menghadiri langsung pertemuan/event sesuai kapasitas venue.

  • Menetapkan layout atau seating plan yang memenuhi aturan jarak fisik minimal 1 meter, karena acara dengan model dimana penonton berdiri tidak dianjurkan.

  • Mempertimbangkan penggunaan inovasi digital dan teknologi untuk mengintegrasikan pengalaman virtual sebagai bagian dari acara/event

Para peserta harus:

  • Melakukan pendaftaran dan mengisi form self-assessment risiko COVID-19 secara online (form 1) terlebih dahulu.

  • Disarankan membawa alat makan sendiri (sendok, garpu, sumpit).

  • Menjaga jarak minimal 1 meter dengan peserta lain selama event.

Meski ada protokol ini, pemerintah provinsi DKI Jakarta masih melarang kegiatan yang berhubungan dengan pariwisata, terutama konser. Hal ini karena fakta bahwa jaga jarak masih tergantung pada tiap individu, dan tidak ada jaminan bahwa persiapan tersebut bisa diandalkan.

Akibatnya, kita kembali pada satu-satunya pilihan untuk mengonsumsi konser virtual, yang, singkatnya, tidak akan pernah bisa menciptakan perasaan yang dihasilkan oleh konser langsung.

Sensasi konser tidak hanya berasal dari apa yang ditampilkan di atas panggung. Ada kegembiraan saat bersiap-siap bersama teman-teman, memilih pakaian untuk foto Instagram, bahkan bersenang-senang saat mengantre - semua kualitas ini hilang dalam konser virtual.

Layar telepon genggam tidak akan bisa memuat antisipasi dan semangat saat melihat musisi rekaman kesayangan kita tampil langsung. Gubahan untuk pertunjukan langsung terkesan lebih spesial, karena tidak ada yang benar-benar sama di setiap pertunjukan. Kita bisa merasakan sesuatu yang tidak ada dalam rekaman, seperti solo gitar spontan di tengah lagu. Ada juga fenomena langka saat artis mengajak penggemar naik ke panggung untuk berduet, atau melemparkan handuk yang basah oleh keringat mereka sebagai kenang-kenangan setelah pertunjukan.

Konser virtual tidak menawarkan pengalaman emosional yang nyata seperti itu. Kita mungkin saja bisa meneteskan air mata ketika mendengarkan sesi pertunjukan langsung yang telah direkam sebelumnya, namun hadir bersama sang artis secara fisik terasa seperti lagu balada itu dinyanyikan hanya untuk kita dan/atau teman-teman kita. Ada momen yang bisa kita bawa pulang, momen yang secara tidak sadar kita ulang hingga akhirnya menghilang dari ingatan.

Perlu kita ingat bahwa kebanyakan konser atau festival virtual tidak gratis, kecuali dinyatakan sebaliknya. Secara realistis, ini hampir seperti membayar video YouTube berkualitas buruk. Tidak peduli seberapa bagusnya penggabungan audio ke dalam siaran langsung, kita mendengarkannya melalui pengeras suara telepon genggam, yang sangat menurunkan kualitasnya.

Tingkat kegelisahan paling tinggi yang dihadapi oleh konser virtual berakar dari kesulitan teknis seperti ini. Bandwidth jaringan, contohnya, tergantung pada daerah tempat kita menyaksikannya, jadi bagi kebanyakan orang, buffering dan gambar yang pixelated dan lama muncul tidak bisa dihindari.

To be fair, konser fisik juga rentan terhadap berbagai kekurangan, seperti kesalahan dalam set pengeras suara, pencahayaan yang tidak konsisten, atau layar yang mati. Namun, pengalaman emosional dengan mudah menutupi ketidaksempurnaan itu.

Mungkin, dengan adanya layar hijau dan teknologi masa kini, konser virtual bisa mencoba untuk mereka ulang pengalaman langsung melalui kekuatan visual, ruang obrol interaktif, atau bahkan layanan antar makanan dan minuman khusus yang sampai di depan pintu tepat ketika konser dimulai - sesuatu yang dilakukan oleh Zodiac Jakarta dalam acara virtual mereka, Neverwhere.

Contoh pengalaman virtual lainnya termasuk ‘Astronomical’ oleh Travis Scott - acara virtual yang diadakan dalam video game Fortnite pada akhir April. Perusahaan video game Epic Games mampu menciptakan pengalaman konser yang bisa dibilang cukup imersif selama dua hari.

Konser tersebut ditampilkan dengan gaya fluorescent. Dengan sosok animasi raksasa, Travis Scott menjelajahi seluruh peta standar Fortnite. Ada juga efek khusus untuk beberapa lagunya. Di Highest in the Room, contohnya, dia membuat para pemain berenang di lautan yang tak berujung untuk menciptakan kembali suasana asli dan jernih dari lagu aslinya.

Namun untuk seseorang seperti Travis Scott, yang penikmatnya terbiasa dengan suasana yang lebih interaktif, gaduh, dan tentu saja jasmaniah, sulit dikatakan bahwa pengalaman realitas maya ini memuaskan.

Percobaan bagus lainnya adalah tur Menari Dengan Bayangan oleh Hindia, yang memiliki tiket berbeda untuk berbagai waktu yang ditentukan, mulai dari siang sampai sore hari, dan bundel merchandise yang bisa dibeli. Tiap pertunjukan berbeda secara tematis satu sama lain.

Namun, pertunjukan eksklusif ini adalah tayangan ulang dari pertunjukan sebelumnya, jadi secara teknis tidak masuk ke dalam kategori konser virtual. Pertunjukan tersebut lebih seperti potongan dokumenter tur. Ini adalah langkah ke arah yang tepat, karena penggemar diberi kesempatan untuk merasakan kembali pengalaman sekali seumur hidup.

Jika COVID-19 terus bertahan, maka hal ini mungkin saja menjadi jalan bagi industri musik langsung ke depannya.

Industri musik langsung tidak hanya terdiri atas bintang utama. Industri ini juga meliputi orang-orang di balik panggung, seperti penata suara, teknisi audio, pengatur panggung, pesuruh, dan awak pencahayaan - yang kebanyakan hanya menerima upah harian. Ketiadaan mereka akan menghasilkan lebih banyak ruang untuk masalah teknis, dan menjadikan konser lebih sederhana tanpa efek pencahayaan, visual, atau audio yang spesial.

Dengan banyaknya acara yang ditunda, dan kemampuan untuk mengadakan konser virtual dengan jumlah orang yang lebih sedikit, mereka adalah segmen yang mendapat pukulan terberat dari fenomena konser virtual.

Jika konser virtual tidak bisa mereka ulang koneksi fisik, maka modifikasi harus dilakukan pada kontennya untuk memastikan konser tersebut masih memiliki sisi ‘mentah’ dan manusiawi, terutama jika hal tersebut merupakan pengalaman di mana orang harus membayar. Hal ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, karena keintiman sulit ditampilkan melalui layar televisi.

Konser virtual menyisakan jejak digital yang bisa selalu kita kunjungi kembali, namun kenangan fisik hanya ada untuk periode waktu tertentu sampai kita melupakannya. Ada beberapa hal yang tidak bisa direka ulang oleh algoritma, termasuk kerumitan emosi dan kehadiran. Sebagai penonton, kita tidak punya pilihan kecuali menerima kenyataan pahit yang kurang memuaskan ini. Akan tetapi untuk orang-orang di balik panggung, konser virtual adalah sumber penghasilan selama pandemi.