TFR

View Original

Menari melewati pandemi

Read in English

Menurut laporan Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), pada tahun 2017, seni pertunjukan tercatat sebagai satu dari tiga sub-sektor industri kreatif dengan laju pertumbuhan tertinggi. Sub-sektor yang meliputi pertunjukan wayang, tari, dan teater ini disebutkan menyerap tenaga kerja sebanyak 170.994 individu pada tahun 2017.

Tiga tahun berselang, tentunya jumlah pekerja di sub-sektor ini telah bertambah dengan pesat. Sayangnya, profesi-profesi di dunia seni pertunjukan termasuk yang paling banyak terdampak oleh pandemi COVID-19. Dalam artikel ini, kami ingin mengangkat cerita dari sebuah kelompok di dalam industri kreatif yang jarang terdengar, namun kerap dilihat dan dikagumi: para penggiat tari.

Beberapa bulan belakangan terbilang cukup berat bagi para penggiat tari dan institusi yang bergerak di dunia seni tari. Kelas menari dihentikan atau dibatasi, pertunjukan tari pun banyak dibatalkan. Bahkan, pekerjaan menari di berbagai acara pernikahan tidak lagi memungkinkan, karena protokol baru yang membatasi jumlah orang yang dapat hadir dalam sebuah acara memaksa penyelenggara acara untuk memprioritaskan tamu dibanding pengisi acara seperti penari.

Aya Thayeb, seorang penari, koreografer, dan pengajar tari tradisional dan hip hop yang juga merupakan anggota tetap dari Kinarya GSP – sebuah studio tari garapan Guruh Soekarno Putra – mengatakan bahwa dampak pandemi COVID-19 terhadap pendapatannya sangat besar.

“Kami bisa dibilang adalah pekerja honorer, sehingga dulu saat menerima beberapa proyek sempat memperkirakan akan punya ‘pegangan’ untuk beberapa bulan. Tentunya, karena pandemi tidak demikian,” tutur Aya.

“Hal paling signifikan bagi kami adalah jumlah murid yang berkurang 80% dari situasi normal,” kata perwakilan dari Steps Dance Academy yang berlokasi di Jakarta. Sementara itu, Jessy Nirmala Sari (@jessynirmalaa), penari dan koreografer yang juga berbasis di Jakarta, menyatakan bahwa seni tari di Indonesia kurang diapresiasi, sehingga tarian menjadi salah satu hal yang pertama kali dieliminasi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Banyak acara yang dibatalkan, dan kalaupun tidak dibatalkan, penari menjadi tidak dibutuhkan. Yang penting adalah artisnya masih ada,” tambahnya.



Komunitas tari sedang mengalami masa sulit, dan untuk meringankan beban mereka, Dinas Kesenian Jakata dan Indonesia Dance Network berkolaborasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mewujudkan ‘Saweran Online.’ Program yang diluncurkan pada Hari Tari Internasional 2020 ini merupakan wadah untuk mempertunjukkan ekspresi dan bakat para penggiat tari sembari menyediakan kanal bagi masyarakat untuk mendukung komunitas tari.

Kata ‘saweran’ diambil dari kebiasaan masyarakat yang kerap dilakukan saat sebuah pertunjukan seni berlangsung, di mana seniman yang tampil berkeliling di antara penonton agar mereka yang ingin mengapresiasi pertunjukan dengan memberikan uang dapat melakukannya.

Konten program tersebut dapat ditemukan di kanal YouTube Indonesia Dance Network. Para penggiat tari dapat mengirimkan video mereka untuk ditampilkan di kanal ini, dan tautan untuk melakukan ‘saweran’ akan disediakan di tiap video yang diunggah. Para penonton juga tidak diharuskan membayar untuk menikmati konten.

Para penggiat tari dan institusi yang bergerak di dunia seni tari harus beradaptasi untuk bertahan. Saat ini, beradaptasi berarti menjamah ranah virtual. Namarina dan Marlupi Dance Academy sekarang sudah mengadakan kelas balet virtual. Sementara itu, Gigi Art of Dance menawarkan pilihan kelas untuk tarian balet, jazz, hip hop, dan bahkan K-Pop. Studio tersebut juga sudah mulai menawarkan kelas offline untuk dewasa dengan menerapkan protokol kesehatan khusus. Protokol khusus ini termasuk menetapkan batasan ‘kotak’ untuk tiap individu selama di kelas dan mengatur ‘istirahat masker’ ketika kelas berlangsung.

Walau kelas daring tidak dapat sepenuhnya menggantikan kelas fisik, para penggiat tari tetap menggunakan keadaan saat ini untuk mengeksplorasi kesempatan-kesempatan baru. Christine Laifa, yang sudah mempelajari balet sejak usia dua tahun, mengaku dirinya kerap berlatih barre di rumah selama pandemi, karena hampir semua institusi balet di dunia mengunggah konten secara virtual.

Sementara itu, Jessy mengatakan bahwa wadah-wadah daring telah membuka kesempatan baru baginya yang sebelumnya tidak mungkin terlaksana karena keterbatasan waktu dan jarak. “Sekarang saya bisa bekerja sama mengajar dengan teman di Bandung, dan mengajar di studio-studio yang lain dari tempat saya biasa mengajar.”

Terkadang, untuk beradaptasi kita harus melakukan diversifikasi. Steps Dance Academy (@stepsdanceacademyid), misalnya, mulai menjual merchandise eksklusif untuk menambah pendapatan selama masa sulit ini, yang direspon positif tidak hanya oleh murid-muridnya, tetapi juga oleh masyarakat.

Dalam beberapa kasus, pandemi justru membuka kesempatan baru. Aya baru-baru ini mulai memberikan les privat tari tradisional; sebelumnya dirinya terbiasa mengajar kelompok. “Awalnya dari mulut ke mulut, dimulai dari tante saya yang anaknya sekarang selalu di rumah karena pandemi. Beliau bertanya apakah saya mau mengajari anaknya secara privat, dan saya mengiyakan,” tuturnya.

Tantenya kerap mengunggah video Aya yang sedang mengajar ke media sosial, yang kemudian mendorong ibu-ibu lain memintanya untuk mengajari anak-anak mereka juga. “Sebulan belakangan, saya sudah mengajar privat sebanyak lima kali setiap minggunya,” tambahnya.

Walaupun pandemi ini telah membuat keadaan menjadi lebih sulit, sangat naif bila kita mengatakan bahwa masalah-masalah yang dialami para penggiat tari ini merupakan hal baru. Individu-individu dalam komunitas tari di Indonesia sudah sejak lama harus berhadapan dengan ketidakpedulian yang bersifat sistemik, kultural, dan komersil serta kurangnya apresiasi masyarakat terhadap seni tari.

“Ada perusahaan-perusahaan yang meminta saya untuk mengajar tari ke karyawannya, biasanya untuk kompetisi,” tutur Aya. “Masih ada karyawan-karyawan kantoran yang bertanya, ‘Mbak nari doang, ya? Mbak nggak sekolah?’ Kenyataannya saya adalah lulusan universitas, dan hanya karena saya menggeluti seni tari bukan berarti saya tidak berpendidikan.”

Jessy juga mengakui bahwa profesi seni tari di Indonesia masih dipandang sebelah mata, “Menari dianggap hanya hobi, dan tidak menjanjikan untuk dijadikan sebuah profesi.”

Khususnya untuk tari balet, Christine merasa bahwa ada siklus yang sulit diputus: “Ambil kelas balet, ikuti ujian, belajar untuk menjadi guru balet, kemudian membangun sekolah balet untuk mereka yang ingin mengikuti kelas balet. Balet di Indonesia biasanya hanya sebatas les saja.”

Christine melanjutkan, “Saya berpikir bagaimana caranya agar profesi tari bisa menghasilkan di luar mengajar. Penari tidak pernah dilihat sebagai atlet, padahal mereka sangat kuat. Mereka juga seharusnya pantas untuk mendapat kontrak endorsement, tapi siapa yang mau jika tidak ada kesadarannya?”

Seorang penari mendapatkan kontrak endorsement merupakan hal yang lumrah di luar negeri, seperti penari balet asal Amerika Serikat Misty Copeland yang telah berkolaborasi dengan Under Armour selama bertahun-tahun.

Di sisi lain, kepopuleran seni tari semakin melonjak akhir-akhir ini berkat aplikasi yang sedang terkenal saat ini: TikTok. Para pengguna aplikasi ini kerap berbagi konten mereka yang sedang menari dengan berpartisipasi dalam TikTok challenges. Seketika, seni tari – atau sebuah ekspresi tari – ada di mana-mana, menawarkan sesuatu yang ringan di saat kita sedang melewati periode yang berat.

Secara konsep, sangat memungkinkan bahwa masyarakat akan menyenangi aplikasi yang mengajak mereka berekspresi lewat tari pada periode kelam seperti sekarang. Tari sudah dijadikan alat terapi psikologis untuk sebuah metode bernama Terapi Gerakan Tari. Efek dari terapi tersebut di antaranya adalah pengurangan stres dan pengelolaan suasana hati – dua hal yang sangat penting selama pandemi.

Kebanyakan penggiat tari merespon positif tren TikTok ini. Jessy percaya bahwa popularitas TikTok dan berbagai challenge-nya akan mengundang lebih banyak orang untuk menyukai tari dan ingin mempelajarinya.

“Hal ini bisa berdampak positif ke studio dan pengajar, jika orang-orang menjadi terdorong untuk belajar menari. Selain itu, promosi kelas akan lebih ramai jika memakai lagu-lagu yang sedang trending di TikTok,” tambahnya.

Pada akhirnya, seni tari adalah sebuah bentuk ekspresi diri yang memperkaya masyarakat. Saat ini, individu-individu yang menggantungkan hidup pada seni tari sedang membutuhkan dukungan kita. Dukungan finansial adalah yang terpenting untuk sekarang. Dukungan tersebut dapat diberikan dengan mengikuti kelas-kelas daring berbayar, memberikan kesempatan untuk mengajar privat, atau bahkan berdonasi melalui tautan seperti yang disediakan oleh Saweran Online.

Yang juga dapat dilakukan adalah membagikan informasi tentang kelas, proyek, atau tautan donasi yang berhubungan dengan seni tari di media sosial dan dalam kehidupan sehari-hari. Bersama, kita bisa menari melalui pandemi ini.