TFR

View Original

Instagram Reels dan menjiplak PR saingan untuk tetap di atas

Read in English

Sejak Trump menyatakan bahwa TikTok merupakan ancaman bagi keamanan nasional Amerika Serikat, aplikasi tersebut menghadapi pilihan yang sangat sulit: menyerahkan sebagian sahamnya untuk dikelola oleh perusahaan Amerika atau dilarang keberadaannya di negara itu. Waktu terus berjalan bagi TikTok untuk mengambil keputusan sebelum 20 September 2020.

Di tengah kekacauan ini, Instagram melancarkan serangan dengan meluncurkan Instagram Reels pada awal Agustus. Fitur ini memungkinkan pengguna untuk mengunggah video sepanjang 15 detik dengan format layar penuh yang sudah tidak asing lagi.

Video tersebut kemudian akan muncul dalam tab Explore yang baru-baru ini didekorasi ulang, yang mengingatkan kita pada feed kompetitornya. Jelas bahwa Facebook mencoba menggunakan kesempatan ini untuk memikat pengguna TikTok dengan secara terang-terangan menjiplak sang kompetitor.

Namun, Reels menuai berbagai macam kritik dari para ahli digital. Tidak seperti TikTok yang fokus pada fitur yang bertujuan untuk memfasilitasi pembuatan konten dan menyediakan konten, Instagram sendiri sudah menawarkan banyak fungsi.

Memiliki pilihan sebanyak itu dalam satu aplikasi mungkin terkesan bagus, tapi juga bisa jadi membingungkan atau malah tidak disadari oleh pengguna. Hasilnya, Reels menjadi agak berlebihan. Kritik lain diarahkan pada kecenderungan Facebook untuk menjiplak fitur milik platform yang ingin mereka akuisisi.

Sekilas, hal ini terlihat seperti persaingan biasa antara dua platform, tapi kenyataan bahwa Facebook secara terang-terangan menjiplak TikTok mengirimkan pesan lain. Ini bukan kali pertama Facebook melakukan praktik ini dengan menggunakan Instagram.

Di tahun 2016, platform yang baru saja diakuisisi Facebook itu muncul dengan Instagram Story, sebuah fitur dengan format yang sama persis dengan Snapchat Story. Keduanya memungkinkan pengguna untuk mengunggah foto atau video pendek yang akan bertahan selama 24 jam. Saat itu, kebetulan Mark Zuckerberg, pria di balik raksasa sosial media tersebut, sedang mengincar Snapchat.

Facebook, Amazon, dan Google dituduh menghancurkan saingan mereka untuk berkembang. Pola operasi mereka adalah mengakuisisi perusahaan target (seperti apa yang Facebook lakukan terhadap Instagram dan WhatsApp) atau menjiplak fungsi tertentu dari saingan mereka.

Ketika ditanya mengenai hal ini dalam sidang persaingan usaha yang juga menghadirkan perwakilan dari raksasa teknologi lainnya pada akhir Juli, Zuckerberg hanya mengakui bahwa Facebook telah “mengadopsi fitur” milik kompetitornya. Kebiasaan ini dianggap sebagai hal yang mengkhawatirkan bagi Dewan Perwakilan Rakyat AS.

Pramila Jayapal, anggota Kongres Demokrat dari Washington, bahkan mempertanyakan apakah perusahaan milik Zuckerberg itu pernah mengancam untuk menduplikasi kompetitor yang akan mereka akuisisi. Jayapal merujuk pada perbincangan antara Zuckerberg dan Kevin Systrom di tahun 2012.

Saat itu, Zuckerberg mengatakan bahwa Facebook sedang mengembangkan strategi fotonya sendiri, dan bagaimana engagement mereka pada saat itu akan “menentukan apakah kita adalah mitra atau kompetitor pada akhirnya.” Menurut Jayapal, Systrom menganggap pernyataan tersebut sebagai ancaman. Namun, Zuckerberg membantah tuduhan itu.

Bahkan di pasar terbuka sebesar di Amerika Serikat, setiap kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuatan pasar dianggap sebagai ancaman. Masalahnya, raksasa teknologi seperti Facebook tidak akan menerima hukuman yang cukup berat yang bisa membuat mereka jera. Sistem dalam industri ini bahkan seperti membiarkan perusahaan seperti Facebook terus berada di atas dan mendominasi pasar.

Sistem yang menjamin kesempatan yang adil bagi semua orang untuk bersaing ternyata tidak memungkinkan mereka untuk mengakses kebebasan ini dengan melahirkan nama-nama besar yang kita kenal saat ini. Mungkin, semuanya memang adil dalam cinta dan persaingan pasar.