TFR

View Original

Cara menjaga warisan budaya melalui rancangan

Read in English


Apa yang kalian anggap sebagai pusaka? Beberapa orang mungkin akan menyebutkan makanan tertentu, beberapa mungkin akan langsung memikirkan lagu atau tarian, yang lain mungkin akan menyebutkan sebuah situs.

Sebenarnya tidak ada jawaban yang salah, karena pusaka adalah apa yang kita anggap sebagai bagian dari identitas budaya kita, dan setiap orang akan memberikan jawaban yang berbeda. Pusaka bisa berupa apa pun-benda maupun tak benda-yang kita anggap memiliki kaitan secara budaya dengan diri kita.

Jadi, apa yang akan kalian rasakan bila pusaka kalian hancur? Hilang?

Ini adalah pertanyaan yang dilemparkan oleh sebuah video singkat mengenai pusaka yang dibuat oleh UNESCO pada tahun 2016. Video itu memperlihatkan reaksi para narasumber terhadap pertanyaan tersebut; betapa tidak sukanya mereka memikirkan kemungkinan itu.

Mereka bahkan menyatakan bahwa kalau sesuatu terjadi kepada pusaka mereka, mereka akan menganggapnya sebagai serangan terhadap diri mereka. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang bagus untuk diajukan, terutama kepada kita, bangsa yang memiliki kekayaan budaya yang melimpah ruah.

Nikkie Wester, desainer tekstil lepasan dan calon spesialis pusaka, memperlihatkan video tersebut pada bagian pertama serial webinar ‘Pusaka dalam Desain: Bagaimana Desain Menjaga Pusaka Tetap Hidup’ yang diselenggarakan oleh Center for Culture & Development - The Netherlands (CCD-NL).

“Singkatnya, secara resmi, pusaka budaya adalah nama kolektif untuk monumen dan koleksi dengan makna budaya-sejarah yang sangat kental, baik dengan elemen benda maupun tak benda, yang membentuk identitas sebuah kota, negara, atau sekelompok orang,” simpulnya.

Namun, Wester kemudian melemparkan pertanyaan lain yang sama sulitnya untuk dijawab: “Bagaimana jika suatu bangunan atau kerajinan tangan atau seni dianggap tidak lagi memiliki makna penting? Apakah lantas mereka bukan lagi pusaka budaya?”

Bayangkan suatu hari kita terbangun dan mendapati orang-orang meninggalkan rendang sebagai salah satu makanan pokok masyarakat Indonesia, atau orang-orang setuju untuk menghancurkan candi Borobudur begitu saja untuk membangun yang baru.

Ketika kita membayangkan skenario ini, kita mungkin akan tersinggung secara pribadi dan merasa bahwa hampir tidak mungkin rendang dan candi Borobudur akan disingkirkan dengan cara seperti itu. Kebanggaan diri kita terlalu tinggi untuk melakukan hal tersebut, pikir beberapa orang (mungkin). Akan tetapi, selama ini kita selalu bersikap abai dan tak acuh terhadap pusaka budaya kita.

Foto: Lorentz National Park di Papua, Indonesia oleh Raiyani Muharramah/Shutterstock

Taman Nasional Lorentz di Papua selalu terancam oleh penebangan liar dan perburuan liar. Pada 2018 saja kita kehilangan sekitar 11 bahasa daerah, dan kita hanya memedulikan rendang ketika ada yang mencoba untuk mengklaimnya atau saat ada yang menyorotinya. Hal-hal seperti ini terjadi di sekeliling kita setiap saat, tapi apa kita benar-benar peduli? Apakah ketidakpedulian lantas menanggalkan elemen-elemen tersebut dari pusaka budaya kita?

Menurut Wester, kebudayaan dan kebiasaan kita saat ini tidak akan ada kalau bukan karena budaya dan kebiasaan pendahulu kita. Merekalah yang menciptakan apa yang membentuk kita saat ini, dan apa yang mereka tinggalkan adalah bagian penting dari evolusi budaya kita.

Pada titik ini, sudah menjadi tanggung jawab kita untuk melanjutkan dan mengembangkan pusaka-pusaka ini bahkan lebih jauh lagi. Mengutip video UNESCO: “Jika kita menghancurkan masa lalu, kita akan menghancurkan masa kini, dan tidak akan ada masa depan.”

Menyingkirkan pusaka sama saja dengan menghancurkan identitas budaya, baik dalam tataran etnis maupun nasional, dalam jangka panjang, karena identitas budaya kita adalah warisan dari para pendahulu kita. Dan, pada proses pewarisan budaya, menempatkan perspektif pribadi adalah suatu hal yang harus dapat diterima.

Wester mengambil contoh dari ‘The Five Suns: A Sacred History of Mexico (1997).’ Ia menunjukkan bagian di mana mereka menceritakan legenda dari sejarah agave di negara itu menggunakan animasi yang digambar dengan tangan yang terinspirasi dari gaya ikonografi Aztek. Film ini menunjukkan betapa inspiratifnya cerita rakyat dan desain tradisional bahkan pada masa kini.

Ketertarikan ini juga dapat ditemukan dalam karya-karya Fernando Laposse, desainer asal Meksiko yang berbasis di London. Laposse menjelajahi segala bentuk kerajinan tangan tradisional Meksiko, yang kebetulan juga berkelanjutan. Dalam karya-karyanya, Laposse mengambil inspirasi dari desain, bahan, dan metode tradisional yang kemudian ia implementasikan dalam gaya yang lebih kontemporer yang lebih relevan di masa kini.

Banyak juga desainer lain di seluruh dunia yang memasukkan pusaka budaya mereka ke dalam karya masing-masing, yang pada akhirnya sedikit banyak membantu melestarikan pusaka budaya mereka.



Perancang busana asal Kenya, Sunny Dolat, dan The Nest Collective mengumpulkan sekitar 55 perancang busana dari seluruh Afrika untuk mempersembahkan desain mereka di N’GOLÁ Biennial of Arts and Culture yang diselenggarakan di São Tomé pada tahun 2019. Melalui kolaborasi tersebut, mereka membuat pernyataan mengenai benua Afrika.

Mereka mengharapkan sebuah awal baru bagi benua itu dan untuk menunjukkan kekuatan dalam persatuan mereka. Dalam proyek ini, melalui desain modern mereka, mereka mampu menunjukkan berbagai warna dan desain yang ditawarkan Afrika.

Setelah pameran, para seniman juga berbicara tentang betapa pentingnya menjaga pusaka budaya dan bagaimana caranya. Mereka menekankan keterlibatan secara langsung dalam budaya dan memberdayakan masyarakat dalam prosesnya. Dengan cara ini, mereka mampu menunjukkan diri mereka kepada dunia dengan cara yang berbeda.

Pusaka budaya bukanlah sebuah hal yang diam, tak bergerak. Kalau diurus dengan baik, pusaka budaya bisa berkembang bahkan melampaui batasan-batasan budaya. Namun, saat pusaka budaya diterima begitu saja, ia akan susut dan bahkan hilang untuk selamanya. Inilah yang masih terjadi pada kita, masyarakat Indonesia, yang hanya sadar ketika sebuah pusaka sudah hilang atau runtuh.

Atau, saat ada yang memperkenalkannya kembali ke dunia, kita akan sibuk berdebat “Kenapa sih harus dia?” atau “Kenapa sih harus pusaka yang itu?” dan berbagai “kenapa” lainnya. Seringkali, kita hanya menunggu orang lain menemukan sesuatu lalu mengkritiknya dibandingkan mencoba menemukan sesuatu sendiri.

Tapi sekali lagi, mungkin ini juga bagian dari warisan budaya kita: menikmati warisan kita yang berlimpah ini begitu saja, diam saja karena mereka toh tidak akan ke mana-mana juga. Bagaimana kalau ada yang memutuskan untuk mengklaim budaya kita? Ya kita serang ramai-ramai di dunia maya.

Simak webinar di sini