TFR

View Original

Kekuatan pakaian dalam politik

Read in English

Ditulis oleh Kezia Pribadi and Trixie Bianca Jasmine

Saat mendengar kata ‘fesyen,’ kebanyakan dari kita akan berpikir mengenai model dan panggung peragaan busana; namun, fesyen berhubungan dengan banyak aspek kehidupan, termasuk politik. Menurut Aris (2007), kekuasaan dibentuk, diwakili, diartikulasikan, diperebutkan, dan direpresentasikan melalui pakaian — berbagai jenis pakaian berfungsi sebagai bahasa politik yang menarik. 

Di Afrika, pakaian menggambarkan arena bagi pemberlakuan dan perlawanan terhadap hubungan kolonial serta sebagai mode ekspresi budaya. Pilihan pakaian menunjukkan dimensi transformasi politik dan sosial. Negara-negara yang berbeda memiliki cara berpakaian dan fesyen yang berbeda, tergantung pada kebudayaan mereka. 

Terlepas dari berbagai keadaan yang berkontribusi kepada fesyen di sebuah negara, fesyen asli dan asing mencerminkan sebuah kebudayaan. Fesyen membangun nasionalisme, tergantung pada bagaimana cara berpakaian menjajah pikiran dan hati masyarakat.

Setiap bangsa dan masyarakat mengembangkan sistem kebijakan yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat, dan kebijakan tersebut berhubungan dengan mode berpakaian mereka. Kekuatan untuk mengatasi kebutuhan dan masalah di dalam masyarakat diinvestasikan pada spesialis dalam layanan kontrol sosial. Harapan terhadap pakaian, penampilan, dan mode bergantung pada perilaku sosial yang dikendalikan oleh organisasi sosial.

Bagaimana fesyen mulai menjadi pernyataan politik

Seperti banyak aspek kebudayaan populer lainnya, fesyen telah menjadi alat untuk menyampaikan suara publik mengenai keadaan sosial dan politik. Sebagai contoh, selama masa penjajahan Belanda, kolonial Belanda mengatur cara masyarakat Indonesia berpakaian. Menurut sebuah makalah yang ditulis oleh Luthfi Adam yang berjudul ‘Transformation of Dress and National Subject Formation of the Indonesian Commoners in the Colonial Period,’ terdapat regulasi berpakaian bagi rakyat jelata.

Rakyat jelata Indonesia dilarang mengenakan pakaian bergaya kebarat-baratan dan harus mengenakan pakaian etnis mereka. Tujuan aturan ini adalah untuk membedakan rakyat jelata dari kolonial sehingga tidak akan ada tumpang tindih kekuasaan. Namun, para rakyat jelata mulai memasukkan elemen Barat ke dalam pakaian etnis mereka untuk menegaskan kekuasaan.

Kejadian serupa terjadi pada kebangkitan Gerakan Hak Pilih Perempuan di awal tahun 1900-an. Banyak perempuan berpartisipasi dalam pawai untuk memperjuangkan hak mereka untuk memilih. Mereka mengenakan pakaian yang mereka kenakan saat melakukan pekerjaan rumah tangga untuk menunjukkan bahwa perempuan tetap bisa berpartisipasi dalam urusan pemerintahan sambil mengurus keluarga mereka. 

Bahkan penggunaan seragam adalah sebuah bentuk penyaluran aspirasi politik melalui fesyen. Fungsi seragam adalah untuk menyetarakan pemakainya, untuk menyamakan kedudukan orang-orang yang harus mengenakanya. Beberapa mungkin menyebutnya sebagai feodalisme, sebuah sistem politik yang membentuk kepemilikan dalam ekosistem atas-ke-bawah. 

Di era modern, biner ideologi politik dapat diidentifikasi melalui bagaimana cara orang-orang yang terlibat di dalamnya berpakaian. Kaum konservatif seringkali berpakaian dalam gaya yang lebih konvensional, tidak seperti oposisinya yang berani berpakaian lebih provokatif.

Fesyen dalam acara politik

Pada tahun 2019, Ibu Negara Iriana Joko Widodo menghadiri KTT G20 di Jepang dengan Presiden Joko Widodo mengenakan kain batik buketan yang menawan dipadukan dengan baju kurung. Iriana tampil berbeda dari para ibu negara lainnya yang mengenakan gaun musim panas selutut.

Pilihan pakaian memang bisa menjadi bagian dari taktik diplomasi. Dengan busana tersebut, Iriana menampilkan dirinya sebagai ibu negara yang lembut dan anggun. Desainer batik Iwet Ramadhan, yang menaruh perhatian pada pakaian nasional, memuji pilihan berpakaian ini.

Foto: Iriana Widodo (kedua dari kiri) menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G20 di tahun 2019 dari dokumentasi Sekretariat Presiden

“Yang dilakukan Ibu Iriana adalah bentuk diplomasi. Ia memakai kain batik dan baju kurung pendek, bukan kebaya Jawa. Ditambah lagi sanggulnya juga bergaya modern. Yang dia tunjukkan Indonesia, bukan hanya Jawa,” kata Iwet dalam wawancara dengan Kompas.

Saat ini, banyak politisi yang sudah menyadari betapa pentingnya bermain dengan pikiran pemilih dengan mengirimkan sinyal melalui fesyen mereka. Contohnya, Menteri Pariwisata Sandiaga Uno. Selama kampanye pemilihan presiden, dia seringkali mengasosiasikan dirinya dengan warna biru milenial dengan mengenakannya setiap saat. Banyak yang menganggap hal ini sebagai strategi untuk memenangkan suara anak muda.

Di sisi lain, pasangannya, Prabowo, mencoba berpakaian lebih formal untuk mempertegas otoritasnya dan posisi kekuasaannya yang lebih tinggi dibandingkan Sandiaga.

Taktik ini banyak digunakan di seluruh dunia. Sebagai perempuan berkulit hitam pertama yang mencapai posisi paling tinggi di Amerika Serikat, Wakil Presiden Kamala Harris merepresentasikan sejauh apa dunia sudah berkembang dalam hal politik dan fesyen. Harris mengenakan mantel berwarna ungu dan gaun yang serasi untuk pelantikannya. Foto-fotonya ramai dibahas di media sosial. Orang-orang berkomentar tentang betapa cantiknya dia dan makna dari penampilannya.

Mereka mengerti bahwa warna pakaian Harris menandakan persatuan, gabungan dari warna merah partai Republik dan warna biru partai Demokrat. Warna ungu juga merupakan tanda penghormatan terhadap gerakan hak pilih perempuan Amerika Serikat. Desain pakaiannya mencerminkan prestasinya. Semua yang melihat juga memuji pilihannya yang jatuh pada dua desainer kulit hitam, Christopher John Rogers dan Sergio Hudson, yang memberi panggung pada talenta fesyen muda AS.

Selama kampanye, Harris tampil dalam berbagai gaya sepatu kets untuk menunjukkan aksesibilitasnya serta setelan celana putih, yang dia kenakan saat dia dan Joe Biden merayakan kemenangan mereka. Harris menciptakan warisan visual yang dibagikan dan dirayakan oleh banyak orang.

Kandidat politik seringkali berpakaian seperti masyarakat di daerah pemilihan mereka untuk mendapatkan simpati atau setidaknya membangun citra sebagai bagian dari masyarakat tersebut. Dengan strategi ini, pemilih akan lebih mungkin memberikan suara bagi mereka, karena memercayai orang-orang yang serupa dengan kita adalah sifat manusia.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Laura Baker, PhD, seorang psikolog yang mempelajari landasan genetik dan lingkungan dari perilaku di Universitas Southern California, pilihan politik kita seringkali jatuh pada mereka yang kita lihat serupa dengan kita, secara genetik dan budaya.

Meski penampilan dianggap menipu dan tidak merefleksikan apa pun mengenai kualifikasi seseorang, bias bawah sadar berperan dalam kampanye pemilihan. Kekuatan berpakaian adalah salah satu keuntungan bagi politisi. Fesyen dapat digunakan sebagai alat untuk membentuk visi dan mengalihkan perhatian pemilih untuk menganalisa pakaian, bukan pesan politiknya. Fesyen bisa menyampaikan kabar baik atau buruk bagi bangsa.

Fesyen didasarkan atas ironi dan kesenangan, sedangkan dialog politik bersifat serius. Politisi adalah pencipta realita mereka, yang ditunjukkan dalam pakaian yang mereka pilih. Ada banyak permintaan atas penampilan politik, yang didominasi media sosial. 

Saat ini, fokus pada penampilan lebih penting. Desain dan warna sebuah pakaian mengirimkan informasi tertentu kepada orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sebagai contoh, Hillary Clinton pada debat pemilihan presiden tahun 2016 mengenakan setelan berwarna merah, putih, dan biru. Ia bekerja sama dengan perancang busana Ralph Lauren untuk menciptakan sebuah pernyataan melalui pilihan pakaiannya yang bisa dideskripsikan sebagai patriotik - bahwa dia siap melayani rakyat Amerika Serikat.

Pesan tanpa penjelasan visual kehilangan kekuatannya. Nilai dari pidato seorang politisi berkurang jika tidak dilengkapi dengan penampilan yang sesuai.


Artikel terkait

See this gallery in the original post

Berita

See this gallery in the original post