TFR

View Original

Potensi dan masalah NFT

Read in English

Ketika seniman digital Kevin McCoy dan teknologis Anil Dash membuat konsep karya seni digital yang bisa diverifikasi-kini dikenal sebagai NFT-pada sebuah acara hackathon pada tahun 2014, mereka harus menyederhanakan konsepnya karena keterbatasan waktu. 

“Kalian tidak bisa menyimpan karya seni digital yang sesungguhnya dalam blockchain; karena keterbatasan teknis, rekaman data di kebanyakan blockchain terlalu kecil untuk menyimpan gambar secara keseluruhan,” ucap Dash di The Atlantic

Menurut Dash, konsep tersebut masih digunakan dalam NFT saat ini. Isu ini baru-baru ini diangkat di Twitter. Kebanyakan NFT populer mengacu pada IPFS hash atau file tertentu. Metadata file itu tertaut ke gerbang jaringan URL atau alamat situs web. Hal ini bisa menimbulkan dua masalah terkait orisinalitas karya seni:

  1. Bagaimana kita bisa tahu apakah sebuah tautan benar milik seniman aslinya?

  2. Jika operator sebuah perusahaan atau situs web bangkrut, filenya juga akan hilang. 

Hal yang membuat NFT berharga adalah keeksklusifan dan kelangkaannya, yaitu hanya ada satu di dunia. NFT seringkali dianggap sebagai solusi terhadap plagiarisme. Tetapi, kasus dugaan plagiarisme baru-baru ini yang melibatkan Twisted Vacancy menunjukkan bahwa sistem tersebut tidak sepenuhnya tanpa cela. Ilustrator Indonesia Kendra Ahimsa mengklaim bahwa karya seni Twisted Vacancy yang dikirimkan ke platform NFT adalah salinan langsung dari identitas visualnya. Nifty Gateway dan SuperRare telah membatalkan drop dari Twisted Vacancy.

Namun, penting untuk dicatat bahwa isu plagiarisme akan selalu ada karena karya seni yang diunggah dan dipertunjukkan kepada publik adalah karya seni yang sudah selesai dan siap dijual. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di balik proses menciptakan sebuah karya seni.

Di sisi lain, kita tidak bisa mengabaikan keuntungan yang ditawarkan oleh NFT bagi seniman. Seperti yang sudah disebutkan dalam artikel sebelumnya, seniman asli menerima komisi untuk setiap penjualan ulang. Banyak seniman yang telah mendapatkan keuntungan dari hal ini, terutama selama pandemi. Pendiri Mal Associates Maryadi Laksono berkata, “Artis jalanan di New York, Amerika Serikat, bahkan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari padahal sebelumnya ia tinggal di jalanan. Oleh karena itu, NFT ini banyak sekali memberikan manfaat terutama bagi para pekerja seni.”

Komunitas gaming juga telah mendapatkan keuntungan dari NFT. “Game NFT ini banyak menarik pasar anak muda, karena selain mengeluarkan biaya untuk membeli NFT, mereka juga diberikan motivasi dengan sistem reward. Jadi, mereka tidak hanya menamatkan game saja seperti zaman game konsol dulu, namun mendapatkan penghasilan juga,” tutur pendiri PO1 Network Wendy Marvin.

NFT sedang dalam tahap awal pengembangan. CryptoKitties pada tahun 2017 memicu kegilaan awal NFT. Potensi NFT untuk digunakan dalam industri perbankan dan layanan tiket sangat besar. NFT dapat menyederhanakan proses otentikasi dan verifikasi pinjaman. Dalam layanan tiket, NFT bisa menghilangkan calo dan mendistribusikan komisi penjualan kembali tiket ke perusahaan. Sektor perumahan pada bulan Maret membukukan penjualan rumah virtual yang mencengangkan.

Kekhawatiran lain yang perlu dinavigasi oleh NFT untuk mendorong adopsinya antara lain kesadaran publik, peraturan, dan masalah lingkungan.

“Banyak orang yang berinvestasi di aset kripto belum mengetahui apa itu private key dan public key, lalu menyebarkannya dan kemudian semua asetnya dibobol orang. Sistem pasti bagus, tapi yang tidak bisa kita kendalikan adalah human error-nya,” ucap Wendy.

Selain itu, Maryadi menunjukkan bahwa teknologi smart contract dalam blockchain masih dalam tahap awal pengembangan. Smart contract memvalidasi keaslian sebuah aset digital sebelum diubah menjadi token; layaknya syarat dan ketentuan untuk menentukan apakah aset digital tersebut asli atau tidak. “Mengapa NFT/DeFi staking risikonya sangat besar? Karena smart contract yang mendukung kriptografi blockchain berbasis ethereum yang sedang dikembangkan masih rentan terhadap risiko peretasan,” ucap Maryadi.

Dalam waktu dekat, pemerintah mungkin harus merevisi peraturan yang ada untuk memasukkan NFT ke dalam UU Hak Cipta. NFT dianggap asli ketika menjadi yang pertama ditokenisasi dan dicatat di blockchain. Dalam UU Hak Cipta, sebuah kreasi secara otomatis dilindungi pada saat dipublikasikan; karya tersebut tidak perlu terdaftar.

“Jika suatu karya hasil plagiat ditokenisasi duluan sebelum aslinya, yang dianggap sebagai versi aslinya adalah yang duluan didaftarkan sebagai NFT. Hal ini banyak dimanfaatkan oleh para plagiat karya seni demi mendapatkan keuntungan,” ucap Maryadi. Mungkin, NFT dapat mendukung seni fisik sebagai sertifikat kepemilikan dalam jangka panjang. Transaksinya mungkin dilakukan secara offline, tapi NFT dari hasil karya itu dicatat dalam blockchain.

Bagi Marvin dan Wendy, dukungan dari pemerintah adalah hal yang penting dalam perkembangan NFT. “Di Indonesia sendiri, teknologinya juga masih belum cukup untuk mengimbangi teknologi blockchain itu sendiri. Dari segi dunia perbankan saja, di tahun 2021 masih ada bank yang belum menggunakan sistem digital dalam pencatatan transaksinya. Pemerintah Indonesia sendiri belum berinisiatif dalam hal ini,” ujar Marvin.

Sebagai perbandingan, pemerintah Singapura meluncurkan sandbox tempat para pakar teknologi muda berkumpul dan mendapat fasilitas untuk mengembangkan teknologi apa pun yang ingin mereka kembangkan, termasuk blockchain. “Kalau di sini, dari level regulasi saja sudah tidak familiar dengan istilah-istilah ini. Dari segi pebisnis saja belum banyak yang melihat bahwa investasi aset kripto berbasis blockchain bisa membawa keuntungan untuk bisnis mereka,” imbuh Marvin.

Pemerintah Surabaya meluncurkan program serupa bernama Start Surabaya pada tahun 2015. “Banyak startup yang terbentuk dari program ini. Program ini mengundang beberapa ahli teknologi dari Silicon Valley juga untuk mengajari peserta program,” jelas Wendy. Tidak jelas apakah program tersebut masih berjalan atau tidak karena post terakhir dari media sosialnya dibuat pada tahun 2017.

Lalu ada kekhawatiran masalah lingkungan yang menghantui teknologi blockchain. Cambridge Centre for Alternative Finances memperkirakan bahwa konsumsi listrik tahunan untuk menambang bitcoin dapat mengoperasikan semua teko listrik di Inggris selama 31 tahun. Emisi karbon dari penambangan dan ‘pencetakan’ mata uang kripto sudah menjadi sebuah bencana. Semakin banyak komputer yang terhubung pada blockchain, semakin banyak energi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah transaksi karena setiap komputer harus memverifikasi transaksinya.

Listrik memainkan peran yang menentukan dalam penambangan. Kota atau negara-Texas, Iran, dan Mongolia-dengan tarif listrik yang rendah menjadi tempat ideal untuk menambang mata uang kripto. Poin tambahan jika sebuah kota memiliki cuaca dingin dan koneksi Internet yang cepat. Cuaca dingin bisa mengurangi biaya pendingin ruangan yang dibutuhkan untuk mencegah perangkat keras penambangan menjadi terlalu panas.

Meski masih ada kekurangan, minat terhadap NFT tampaknya akan terus berkembang. “Tren ini tidak bisa dibendung oleh pemerintah. Artis-artis di Bali yang sedang kesusahan menjual karya seninya jika sudah mengenal NFT mungkin hidupnya akan lebih mudah. Tidak ada turis yang datang untuk membeli karya seni mereka, sedangkan orang luar negeri sangat tertarik untuk membeli karya seni digital,” ucap Maryadi.


Artikel terkait

See this gallery in the original post

Berita

See this gallery in the original post