TFR

View Original

Polemik OnlyFans dan “konten dewasa” di Indonesia

Ditulis oleh Eben Haezar, Fany, Haykal Arsya, Puspita Wulandari | Read in English

Maraknya industri porno berbasis daring bukanlah hal baru di dunia. Industri ini berkembang mengikuti teknologi. Awalnya, industri ini dilakukan menggunakan perangkat lunak berbasis jaringan atau daring sebagai media pemasarannya. Setidaknya dalam 10 tahun terakhir banyak bermunculan situs-situs yang menjual konten dewasa dan bisa dilakukan oleh siapa saja.

Riley Reynolds, pemilik agensi film dewasa dalam dokumenter “Hot Girls Wanted” yang dirilis pada 2015 lalu, menceritakan pengalamannya dalam merekrut perempuan di Amerika Serikat. Setidaknya ada ratusan perempuan muda yang menginjak usia 18 tahun, dan setidaknya satu dari mereka akan mendaftarkan diri untuk menjadi artis porno amatir.

Saat ini, industri porno tidak lagi sekadar membuat film tentang seseorang atau kelompok yang melakukan hubungan seks, tetapi juga telah menciptakan sebuah model bisnis yang mewadahi baik laki-laki maupun perempuan untuk tampil melalui webcam. Namun, dengan ketatnya peraturan di Indonesia, hampir tidak ada yang terjun ke industri ini. 

Indonesia memiliki peraturan terkait konten porno, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pornografi. Menurut Kepala Sub-Bagian Pemberitaan Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika Taufiq Hidayat, pornografi juga berkaitan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait definisi kesusilaan.

“Dia (UU ITE) mengacu kepada Undang-Undang Pornografi juga yang mendefinisikan soal gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, gambar bergerak, animasi, dan sebagainya,” ujar Taufiq dalam wawancara pada bulan Mei lalu.

Pada 2016, Timothy Stokely mendirikan OnlyFans. Secara harfiah, OnlyFans memiliki arti sama seperti namanya: “khusus penggemar”. Dengan kata lain, OnlyFans merupakan layanan konten berbayar yang memungkinkan pembuat konten menerima dana langsung dari penggemar mereka melalui pemberian tip dan bayar per tayang (PPV).

Layanan ini populer dan umumnya dikaitkan dengan pekerja seks, tetapi juga menampung berbagai konten di luar pornografi. Karena mengizinkan pornografi, situs web ini terutama digunakan oleh para model pornografi, baik amatir maupun profesional.

Namun, OnlyFans juga memiliki pasar di antara koki, penggiat kebugaran, dan musisi. Pengguna harus berusia minimal 18 tahun untuk dapat mengakses OnlyFans.

Sebagian memilih untuk terjun ke industri ini semata-mata hanya untuk membuktikan diri ke orang tuanya bahwa mereka bisa hidup mandiri dan memiliki penghasilan sendiri. Fenomena ini pun menjadi sebuah model bisnis yang menjanjikan. 

Sejak pertama kali rilis, OnlyFans langsung ramai digunakan oleh jutaan pengguna dari berbagai belahan dunia. Hal ini tidak menutup kemungkinan hadirnya kreator-kreator asal Indonesia yang terjun ke dunia OnlyFans. Sebut saja Alisa dan Cyrene yang sudah beberapa waktu terakhir aktif mengunggah konten di OnlyFans. Selain OnlyFans, keduanya juga aktif di Twitter untuk mempromosikan konten-konten OnlyFans yang dibuat. 

Menjalani Dua Kehidupan: OnlyFans dan Kehidupan Nyata

Seorang perempuan berambut pendek sebahu muncul di layar laptop. Ia menyapa dan memperkenalkan diri dengan suara lembut sambil tersenyum ramah. Alisa (bukan nama sebenarnya) adalah seorang pembuat konten dewasa asal Indonesia. Sejalan dengan yang disampaikan Reynolds, Alisa membuat konten dewasa sejak ia remaja.

“Awalnya karena cosplay sejak 2012. Lalu sempat break setahun dan mulai lagi tahun 2019. Pas itu aku lagi masuk di fase senang sama cowok dan pengen pakai baju yang stylish sedikit. Nah, mulailah foto buat bikin pede dan menemukan ‘oh, iya gue bagus, nih, foto kayak gini dan ternyata badan gue bagus juga, ya.’ Lama-lama aku mempelajari kalau beberapa orang menjadikan itu sebagai konten berbayar. Nah, dari situ aku mikir ‘bisa nih foto-foto kayak gini dijadiin cuan’ dan akhirnya (lanjut) sampai sekarang,” kata Alisa saat wawancara via Zoom pada 17 April. 

Alisa mulai menjual konten dewasanya melalui media sosial, mulai dari Facebook, Twitter, hingga OnlyFans. Ia menggunakan Facebook untuk membangun komunitas atau basis penggemar yang nantinya berguna untuk menaikkan engagement dan impression. Ia menggunakan Twitter untuk pusat promosi karena menurutnya jangkauan Twitter lebih luas. Di Twitter, Alisa memiliki sekitar 29.400 pengikut. Peraturan Twitter pun tidak begitu ketat dan ia juga bisa saling mendukung dengan pembuat konten dewasa lainnya melalui shout out. Alisa baru sekitar 2 bulan bergabung di OnlyFans. 

“Aku juga menggunakan platform Trakteer untuk lokal dan Gumroad untuk internasional. Di sini aku pakai itu untuk jual photo sets aku. Kenapa nggak direct order? Keeping track-nya susah. Kalau di OnlyFans, semua terdata konten buat siapa saja. Selain itu, alasan aku bikin OnlyFans karena Facebook, Instagram, dan soon Twitter akan strict sama postingan begini, dan karena kebanyakan supporter dari luar,” kata Alisa. “Sebenarnya ada saja sih platform lain yang tawarin aku untuk pakai jasa mereka, tapi aku belum bisa manage konten. OnlyFans sendiri aku gunakan untuk post daily selfie dan teasers upcoming photo sets. Daripada sayang selfie-nya hanya disimpan di galeri HP, jadi aku taruh sana jadi uang,” lanjutnya. 

Saat ini OnlyFans memang identik dengan konten pornografi. Namun, Alisa tidak membuat konten yang mengandung kegiatan seksual, seperti sextape. Ia membuat konten yang bersifat implied nudity, yaitu foto yang memperlihatkan seseorang dalam keadaan setengah telanjang atau tidak ada bagian intim yang diperlihatkan. 

Seorang pembuat konten dewasa asal Indonesia lainnya, Cyrene, mulai membuat konten dewasa karena gemar nude photography. Awalnya, ia hanya menjual konten dewasa melalui Twitter, kemudian ia memutuskan untuk menggunakan OnlyFans. 

“Alasan masuk ke OnlyFans itu iseng karena memang aktif di (akun) alter Twitter dan memang punya hobi untuk take some ‘naughty’ pictures,” kata Cyrene dalam wawancara via Twitter pada 30 April.

Akun alter adalah identitas lain yang dimiliki seseorang di mana ia membentuk persona baru di luar identitas aslinya dan hal itu sudah diketahui oleh banyak orang. Twitter adalah salah satu platform yang memiliki banyak akun alter dan membentuk sebuah dunia yang dipenuhi oleh akun anonim tersebut untuk menunjukkan sisi lain diri mereka. Baik Alisa maupun Cyrene termasuk dalam akun alter

Alisa membentuk personanya sebagai seseorang yang ceria dan selalu memerhatikan penampilan, seperti harus merias wajahnya dan menentukan apa yang harus ia pakai. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, Alisa memiliki karakter yang pendiam dan introvert

“Padahal yang tadinya aku mau keluar bisa santai aja, yang make-up pun nggak, sekarang kayak harus merhatiin ‘oh iya, bajunya yang bagus kayak gimana ya,’ biar aku bisa mengupload, aku bisa foto. Jadi kayak ada sebuah keharusan,” kata Alisa. “Kadang orang lebih kenal Alisa ini orangnya bubbly dan aku harus merespons in a good way. Padahal mereka nggak tau kalau hari itu aku lagi capek banget atau ada hal yang aku nggak suka, tapi aku perlu ngerem,” tuturnya. 

Sedikit berbeda dengan Alisa, Cyrene membentuk persona di akun alternya serupa dengan persona di kehidupan sehari-hari. Menurutnya, ia bisa lebih bebas dan terbuka melalui akun alter-nya. 

Meskipun Alisa dan Cyrene gemar membuat konten dewasa sebagai hobi, tetap ada keputusan besar yang perlu mereka ambil. Ini karena mereka sudah memasuki ranah publik di mana baik konten maupun aktivitas mereka dikonsumsi oleh publik. 

“Jadi, kita lebih membuang sisi kita yang harusnya bisa senang-senang, seperti upload apa aja untuk diri sendiri dan nggak terlalu mikirin pendapat publik. Sekarang kita harus mikir foto harus bagus dan nggak boleh menunjukkan sisi jelek. Aku harus terlihat (seperti) i’m living my best life dan kadang cape, sih,” kata Alisa. 

Dengan membuat akun alter, dapat dikatakan baik Alisa maupun Cyrene menjalani dua kehidupan. Ini dapat menimbulkan dampak negatif ke kehidupan sehari-hari. Berbeda jika menjalaninya dapat memberikan rasa senang. 

“Aku menjalani dua kehidupan, ada kehidupan personal dan ada kehidupan sosok Alisa ini. Dua-duanya memberikan dampak ke kehidupan itu. Jadi, dampaknya memang bisa berkepanjangan. Yang satu lagi bisa menyalurkan kesenangan aku. Segala macam dan yang namanya kehidupan itu harus seimbang, entah yang harus dibawa serius sama yang harus dibawa main harus seimbang,” kata Alisa. 

Senada, Cyrene menyatakan bahwa dalam menjalani hidup, mereka harus mencintai setiap prosesnya. Jangan hanya fokus pada tujuan akhir, karena tanpa proses tidak akan ada hasil. 

Pada proses pembuatan konten dewasa, Alisa dan Cyrene dapat melanggar undang-undang yang berkaitan dengan pornografi ataupun peraturan serupa di setiap platform. Meski demikian, keduanya belum pernah berurusan dengan pemerintah dan mendapat sanksi karena melanggar undang-undang tersebut. Namun, Alisa pernah dilaporkan atas penyebaran konten pornografi melalui akun Trakteer, sehingga akunnya dibekukan selama kurang lebih satu bulan. 

OnlyFans dan hukum di Indonesia 

Maraknya aktivitas OnlyFans di Indonesia ternyata sudah mendapat perhatian dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Namun, Taufiq berpendapat bahwa OnlyFans yang merupakan platform digital memiliki sifat yang sama seperti teknologi, yaitu sesuatu yang dianggap netral. Bukan platformnya yang harus diperhatikan, melainkan penggunaannya. Oleh sebab itu, Taufiq menyampaikan bahwa fokus Kominfo bukanlah memantau platformnya, tetapi memantau konten-konten yang melanggar aturan. 

“Jadi, wilayah Kominfo di situ. Fokusnya Kominfo bukan di platformnya, melainkan kontennya. Konten yang melanggar muatan tadi. Muatan kesusilaan, muatan SARA, mungkin yang lain dan sebagainya,” tutur Taufiq saat menjelaskan tindakan yang diambil Kominfo terhadap kegiatan di OnlyFans. 

Dari sudut pandang hukum positif di Indonesia, OnlyFans tidak begitu dipermasalahkan jika melibatkan pembuat konten. Masalah akan muncul ketika konten yang dibuat melanggar peraturan yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, Taufiq menjelaskan bahwa jika OnlyFans ingin beraktivitas di Indonesia, maka ia harus mengikuti peraturan setempat yang berlaku. Begitu juga dengan platform lainnya; mereka harus mengikuti peraturan setiap negara yang `didatangi`. Jika tidak menyanggupinya, platform yang bersangkutan akan mendapat konsekuensi, seperti blokir. 

Sementara itu, terkait kebijakan terhadap pembuat konten, Kepala Sub-Divisi Digital At-Risks (DARK) SAFEnet Ellen Kusuma menyatakan bahwa Indonesia belum memiliki peraturan khusus terkait pembuat konten, termasuk peraturan yang melindungi pembuat konten dari kemungkinan tersebar luasnya konten bermuatan pornografi yang mereka buat. 

“Untuk itu, bisa dipastikan tidak ada perlindungan untuk kreator konten yang membuat konten-konten pornografi, yang ada justru potensi dikriminalisasi karena di Indonesia konten tersebut ilegal,” jelas Ellen dalam wawancara via surel pada 4 Juni. 

Di Indonesia, hampir dalam setiap kasus pelanggaran hukum terkait pornografi, yang dihukum hanya pelaku di dalam konten. Padahal, jika merujuk pada UU ITE, seharusnya yang mendapat sanksi bukan hanya pelaku saja, tetapi juga mereka yang membuat, menyimpan, dan menyebarluaskan konten tersebut. Oleh karena itu, kata Taufiq, dalam satu bulan, Kominfo memblokir ribuan konten yang berkaitan dengan pornografi. 

“Hampir semua konten pornografi yang kita identifikasi pasti akan kita ajukan ke platform untuk dia take down atau mungkin blokir (agar) tidak mudah diakses, itu kondisinya,” ucap Taufiq. 

Take down atau blokir yang disebut Taufiq merupakan salah satu dari dua pendekatan yang diambil Kominfo berkaitan dengan konten pornografi. Taufiq dalam obrolan singkat dengan tim redaksi menjelaskan bahwa Kominfo menangani kegiatan virtual, sementara kejadian yang berkaitan dengan hukum merupakan ranah kepolisian. 

Taufiq enggan menyebut kegiatan ini sebagai industri pornografi. Sebab, penyebutan sebuah industri harus didasarkan atas aturan perusahaan atau industri legal yang namanya tercantum dalam Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI). Maka dari itu, kegiatan pornografi di Indonesia secara legal tidak bisa disebut sebagai sebuah industri. 

“Sejauh ini tidak ada yang declare bahwa dia (OnlyFans) melakukan aktivitas industri pornografi, industri pornografi daring. Kalaupun dilakukannya karena dianggap dia tidak bisa dilakukan di sini, akhirnya dia melakukannya di bawah tanah. Jadi saya pikir bukan sebuah industri yang resmi,” tambah Taufiq. 

Meskipun kegiatan di OnlyFans menghasilkan pendapatan bagi para pembuat kontennya, Taufiq memandang bahwa pembuat konten di OnlyFans tidak berkewajiban untuk membayar pajak. Ini karena pemerintah tidak bisa menarik pajak dari pelaku “industri” ilegal, dalam hal ini adalah kegiatan pornografi secara daring. “Karena content creator ‘kan termasuk profesi yang baru dan mungkin juga belum semuanya itu memberikan catatan terhadap pajak,” jelas Taufiq. 

Menurut Ellen, saat ini pemerintah berpandangan bahwa pornografi adalah konten ilegal, sehingga menindak tegas para pembuat konten bermuatan pornografi merupakan respons natural yang diambil pemerintah. 

“Selama tidak ada perubahan pada UU Pornografi atau UU ITE terkait konten bermuatan melanggar kesusilaan, maka tindak pidana masih jadi upaya utama yang bisa diambil atas kreator tersebut,” tambah Ellen. 

Perjalanan peraturan perundang-undangan di Indonesia masih panjang. Seiring waktu, platform sejenis OnlyFans akan terus bermunculan dan semakin mudah diakses. Jumlah pembuat konten lokal pun akan terus meningkat. Pemerintah dan masyarakat harus sesegera mungkin memberi kejelasan atas praktik ini. Apakah industri porno adalah sebuah hal tabu atau justru sebaliknya? 


Artikel terkait

See this gallery in the original post

Berita

See this gallery in the original post