TFR

View Original

Meme, budaya Internet kontemporer nan politis

Ditulis oleh Haiza Putti | Read in English

Siapa yang tidak mengenal dengan baik berbagai bentuk meme?

Dibalut dengan guyonan, ucapan lucu nan khas, bahkan kontroversial, meme adalah reproduksi dari suatu hal yang telah ada sebelumnya. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang apa itu meme, kamu bisa membacanya di sini. 

Melansir The Conversation, meme yang merupakan bagian dari budaya internet kontemporer telah menjadi bagian dari politik dunia. Meme bukan lagi sekadar media guyon sepele yang menghasilkan tawa sesaat, namun telah menjadi salah satu medium informasi yang paling ramah untuk dicerna publik luas. 

Meme sudah berkembang menjadi media nan politis yang dapat merangkum kritik untuk mengutarakan aspirasi, serta sebagai bagian dari usaha untuk bertahan dalam situasi tragis dan traumatis, seperti perang, bahkan sebagai perangkat propaganda oleh pemerintah. 

Humor satir dalam kritik politik telah lama menjamur. Dengan digitalisasi yang berjalan beberapa dekade terakhir, pesan humor politik hadir dalam bentuk meme. Konsep meme dalam era digital menjadi praktik yang sangat terlihat dan istilah meme menjadi tak terpisahkan dari “bahasa rakyat”. (Rosa Redia Pusanti, 2015)

Meme sebagai wadah kritik dan aspirasi keresahan publik

Kecenderungan untuk menggunakan karya visual yang disandingkan dengan teks sebagai medium aspirasi politik sebenarnya bukanlah hal baru. Di Indonesia, kita dapat melihatnya dalam berbagai bentuk, seperti poster. 
Salah satu poster penting yang mewarnai perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah karya Affandi berjudul “Boeng, Ajo Boeng”(1945). Melansir Desain Grafis Indonesia, poster ini merupakan permintaan Ir. Soekarno. Model dalam poster ini adalah pelukis Dullah, sementara kalimat “Boeng, Ajo Boeng” merupakan kutipan dari Chairil Anwar. 

Foto: Boeng, Ajo Boeng oleh Affandi

Meme kini menjadi begitu mudah menyebar karena kehadiran sosial media yang memungkinkan pertukaran informasi dengan begitu cepat dan masif.

Melalui akun Nurhadi-Aldo, kampanye calon presiden fiktif yang sempat menuai kontroversi pada 2019 silam, kita dapat melihat bentuk kritik masyarakat dalam balutan meme. Nurhadi-Aldo menjadi bentuk perlawanan atas suasana pemilihan presiden yang tegang kala itu. Balutan ucapan yang lucu dan khas dalam unggahannya mencerminkan kegerahan rakyat atas situasi pemilihn presiden yang panas.

Foto: Kampenye Nurhadi-Aldo

Kita juga dapat melihat bentuk meme berisi kritik tajam dalam unggahan Studio Pancaroba, sebuah akun yang akhir-akhir ini menarik perhatian publik. Salah satu unggahan terbarunya menyasar perseteruan antara Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dengan aktivis HAM Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti.

Tak hanya akun personal maupun akun meme musiman, kita juga dapat menemukan akun-akun yang memberikan update meme politik secara harian, salah satunya adalah akun Instagram @politicaljokesid.

Meme sebagai alat untuk menghadapi tragedi dan trauma berskala besar

Serangan Rusia terhadap Ukraina yang dimulai pada awal 2022 mengajarkan kita tentang kemampuan meme untuk menjadi media informasi dengan cara katarsis ini. Ketika ketegangan meningkat antara Rusia dan Ukraina pada paruh kedua tahun 2021, akun Twitter resmi pemerintah Ukraina mulai men-tweet agresi tersebut.

Akun resmi pemerintah Ukraina menggunakan meme sebagai media untuk mengkomunikasikan serangan Rusia, dengan balutan guyon dan reproduksi visual meme yang telah beredar di Internet.

Meme dalam akun Twitter resmi tersebut seakan bertindak sebagai reportase langsung dari situasi yang sedang berjalan serta sebagai cara untuk memproses dalam waktu singkat malapetaka yang sedang terjadi. 

Meme tersebut juga berlaku sebagai ajakan bagi publik untuk memulai percakapan tentang serangan tersebut.

Dalam tulisan yang sama dalam The Conversation, disebut bahwa cara yang dipilih akun resmi pemerintah Ukraina ini menyatakan ajakan kepada seluruh belahan dunia untuk berdiri bersamanya dan menunjukkan solidaritas dan empati akan apa yang menimpa Ukraina. 

“Jika medium adalah pesannya, maka praktik budaya Internet telah terjalin dengan konflik geopolitik dan militer. Memang perang dan konflik tidak selalu konyol – itu bisa menjadi ajakan untuk berkomunikasi, bersaksi, berproses bersama, dan berbagi,” The Conversation.

Meme sebagai perangkat propaganda pemerintah

Pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016 silam diwarnai berbagai kontroversi, termasuk serangan digital Rusia. Presiden Rusia Vladimir Putin tampaknya memahami cara memanipulasi praktik budaya dan taktik Internet. 

Merangkum investigasi yang dilakukan WIRED, Putin tahu bagaimana menggunakan meme. Menjelang pemilihan presiden AS 2016, Badan Riset Internet (Internet Research Agency-IRA) Rusia menanam meme dan tweet yang mempolarisasi pandangan publik. 

Serangan tersebut berbalut isu tentang kebrutalan polisi, Black Lives Matter, dan isu LGBTQ di Facebook, Twitter, dan Instagram. Halaman paling populer di Rusia menargetkan sayap kanan dan komunitas kulit hitam. 

Renee DiResta mencatat bahwa meme konyol pun bisa mengubah dan membentuk pandangan publik. Sementara masih banyak orang menganggap meme sebagai gambar kucing dengan teks guyonan, Departemen Pertahanan dan DARPA telah mempelajarinya selama bertahun-tahun sebagai alat pengaruh budaya yang kuat, yang mampu memperkuat atau bahkan mengubah nilai dan perilaku.

Para peneliti tidak dapat menyatakan bahwa propaganda ini benar-benar memengaruhi pemilihan. Akan tetapi, kenyataan ini mendemonstrasikan bahwa selama lima tahun terakhir (sebelum 2016), disinformasi telah berkembang dari sekedar gangguan menjadi perang informasi berisiko tinggi.

Apakah guyonan dapat menggulingkan kekuasaan?

Meme terbukti dapat membuat para pengguna media sosial turut berpartisipasi dalam membesarkan gelombang opini politik publik. Akan tetapi, apakah meme benar-benar dapat membawa perubahan? 

Mungkin saat ini kita masih terlalu dekat dengan masa di mana kekuatan meme mulai terlihat. Terlalu dini rasanya untuk memberi penilaian akan hal tersebut. Satu hal yang pasti, meme telah menunjukkan salah satu kekuatannya dalam membentuk pandangan publik.

Untuk mengakhiri tulisan ini, penggalan pertanyaan dalam tulisan Can Jokes Bring Down Government (2012) rasanya tepat untuk dipikirkan kembali. Can jokes scale? Can they supersize? Can we laugh so loudly at those in power that they fall? Can jokes, in fact, bring down governments? 


Artikel terkait

See this gallery in the original post

Berita

See this gallery in the original post