TFR

View Original

Titik temu antara dosen dan murid di zaman digital

Ditulis oleh Yohanna Belinda | Read in English

Berada di era di mana metaverse menjadi topik hangat, sistem edukasi desain pun harus mengikuti zaman. Para pengajar juga harus beradaptasi dengan sistem yang lebih modern agar para siswa bisa beradaptasi dengan lapangan kerja yang terus berkembang.

Menurut Head of Study Program Visual Communication Design (New Media) Sampoerna University Tombak Matahari, persiapan untuk mahasiswa seputar dunia masa depan sangat penting agar mereka bisa beradaptasi lebih cepat.

“Kalau dulu saya ambil sekolah desain komunikasi visual pada 1998 itu, kami belajar menggambar, bikin logo, poster, dan editing. Tapi sekarang sudah mengarah di dunia digital. Jadi sekarang di universitas yang saya ajar ada new media technology, di mana saya mengajarkan desain coding,” tuturnya.

Teknologi dengan fasilitas memadai

Teknologi memiliki peranan penting, terutama dalam menghadapi situasi yang lebih kompetitif. Kompetisi tidak hanya terjadi dalam skala nasional, namun juga global, menurut Sudarsri Lestari dalam bukunya “Peran Teknologi Dalam Pendidikan Di Era Globalisasi”.

Menurut Tombak, teknologi adalah hal yang membuat sekolah zaman dahulu dan sekarang sangat berbeda. “Untuk tahun ini, kami ada kelas untuk virtual dan augmented reality. Ada juga kelas experimental art and design, agar mahasiswa bisa mengejar teknologi yang ada,” lanjutnya. Ia juga menyarankan adanya kelas yang bisa membekali para siswa dengan augmented reality.

Fasilitas juga harus memadai. Tombak menjelaskan bahwa Sampoerna University telah menyediakan fasilitas green screen and motion capture studio yang dapat digunakan para mahasiswa untuk belajar mengenai digital photography, visual effect (VFX), dan proses perekaman gerakan untuk pembuatan video, animasi, atau game.

“Yang paling penting adalah mahasiswa mengerti apa yang harus mereka lakukan ketika mereka mendapatkan suatu proyek. Maka dari itu, fasilitas yang disediakan oleh sekolah sangat penting,” tutur Tombak.

Kolaborasi dengan industri

Selain itu, pengajar atau universitas harus mengikuti perkembangan di industri dan berkolaborasi dengan para pemainnya. “Saya selalu menggandeng industri. Misalnya, untuk mendesain mobile app saya menyediakan dosen tamu yang memang sudah berpengalaman mendesain aplikasi,” jelas Tombak.

Memahami perilaku dan pola pikir manusia

Para pengajar juga harus memahami pola pikir dan perilaku mahasiswa dan mahasiswi zaman sekarang karena mereka sudah jauh lebih kritis.

Ditambah lagi, mahasiswa dan mahasiswi lebih cepat beradaptasi dengan teknologi yang ada. Dosen sangat perlu memiliki pengalaman kerja yang dapat dibagikan kepada muridnya.

“Saya mulai berada di industri media 2004, dan baru part time 2011 dan full time pada 2018. Makin lama siswa semakin kritis. Dosen perlu pengalaman kerja karena ada beberapa hal yang tidak bisa diajarkan secara teori saja. Misalnya, seorang reporter dalam mewawancarai menteri dengan orang biasa kan berbeda. Perlu skill untuk mengejar narasumber dan lain-lain,” lanjutnya.

Selain teknologi, menurut Tombak, mengajarkan kepercayaan diri juga sangat penting di era di mana masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu luangnya di media sosial. Mengutip jurnal “Pengaruh Self Image dan Penerimaan Sosial terhadap Kepercayaan Diri Remaja yang Mengunggah Foto Selfie di Media Sosial Instagram” oleh Selviana Sari Yulinar yang diterbitkan pada 2022, penerimaan sosial memberikan kontribusi sebesar 62,3% terhadap kepercayaan diri remaja yang mengunggah swafoto di media sosial Instagram. Hasil ini diambil dari 108 sampel.

Namun, sebenarnya ada banyak faktor lain.

Salah satunya adalah unggahan mengenai hustle culture, suatu budaya kerja keras mendorong diri sendiri dan melewati batas kemampuan untuk mencapai tujuan kapitalis, seperti kekayaan, kemakmuran, dan kesuksesan secepat mungkin, seperti yang dikutip dari sampoernauniversity.ac.id. Semua kembali kepada diri masing-masing, mengingat banyak juga yang sudah memahami dampak media sosial terhadap kepribadian mereka.

“Pernah dan sering. Jujur, kadang merasa insecure karena orang-orang yang umurnya sama atau bahkan lebih muda dari aku bisa dapat pencapaian segitu banyaknya. Fear of missing out (FOMO) pasti iya, banget, dan menurutku itu wajar. Tapi kalau terbebani nggak, karena balik lagi bahwa kemampuan dan jalan hidup orang itu beda-beda,” tutur salah seorang mahasiswa Sampoerna University.

Meski begitu, sebagai seorang guru, Tombak berusaha untuk membuat kelas yang lebih memiliki interaksi antar-murid. Misalnya, bekerja dalam kelompok untuk belajar menyampaikan ide mereka untuk menghadapi klien-klien di masa depan.

“Karena anak baru biasanya minder atau tidak percaya diri, jadi kita asah juga untuk para mahasiswa untuk berani presentasi. Melalui proses itu, mahasiswa belajar untuk memberikan ide yang mereka miliki,” tutur Tombak.

Meski begitu, dalam wawancara dengan dua mahasiswa, mereka mengatakan bahwa mereka tidak harus membandingkan pencapaian mereka dengan orang lain.

“Pencapaian orang pasti berbeda-beda, maka dari itu, selama kita telah melakukan hal yang terbaik yang bisa kita lakukan, itu sudah cukup. Kalau ada seseorang yang seumuran dengan saya sudah mencapai berbagai macam prestasi, membanding-bandingkan saya dengan orang itu tidak akan ada ujungnya,” tutur salah seorang mahasiswa. Baginya, berusaha untuk membuat situasi ke depan jauh lebih baik lebih penting daripada melihat orang lain.

Tidak secara akademik saja, pelajaran yang berbasis pengalaman juga dapat meningkatkan kemampuan intrapersonal. Melalui pelajaran berbasis pengalaman, siswa dapat bertukar pikiran yang juga sangat penting dalam membangun rasa percaya diri mereka.

Untuk informasi selengkapnya mengenai Sampoerna University, kunjungi laman ini.


Related articles

See this gallery in the original post

Berita terkini

See this gallery in the original post