TFR

View Original

Mengubah citra warisan: Ada apa dengan pantun

Read in English

“Pagi-pagi telepon berdering. Ucapan hangat dari kekasih tercinta. Yuk terbang lagi bareng Citilink. Pesawatnya nyaman bikin traveling kamu bahagia.” Penggalan ini adalah salah satu contoh pantun yang kerap disampaikan oleh awak kabin maskapai Citilink dalam tiap penerbangannya. Kebiasaan menggunakan pantun untuk menyampaikan informasi penerbangan sudah menjadi ciri khas maskapai tersebut dan menawarkan pengalaman terbang yang unik bagi para penumpang. Prosedur yang disebut ‘Salam Pantun’ ini sudah diterapkan sejak tahun 2013 dan isinya disesuaikan dengan destinasi penerbangan.

Langkah Citilink untuk menghadirkan pantun dalam pelayanannya tentu disesuaikan dengan target pasar yang dibidik oleh perusahaan, yaitu anak muda. Pantun dengan rimanya yang unik dan pilihan kata yang kadang menggelitik memang menjadi daya tarik tersendiri, dan dalam hal ini, strategi pemasaran yang jitu. Tapi dengan kita menikmati pemakaiannya dalam aktivitas sehari-hari, apakah artinya kita sudah memahami pantun?

Menurut Ibnu Wahyudi, dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Singapore University of Social Sciences (SUSS), pantun merupakan sarana komunikasi lisan dengan pola tertentu. “Pola yang berupa bait dengan empat larik dan mempunyai rima a-b-a-b, serta larik pertama dan kedua berupa sampiran serta larik ketiga dan keempat berupa isi, memudahkan penutur pantun dengan cepat membuat atau membalas pantun yang mungkin ditujukan kepadanya,” tuturnya.

Di masa lampau, pantun dimanfaatkan untuk menunjukkan olah kata sekaligus memperlihatkan intelektualitas. Pantun juga berbeda dengan puisi atau sajak - pantun memiliki pola yang tetap, sementara puisi atau sajak adalah ekspresi sastra yang bebas.

Dalam budaya tulis, secara singkat pantun dimaanfaatkan sebagai: (a) hiasan dalam kisah-kisah Melayu masa lampau, manuskrip, dan kemudian cetak; (b) buku-buku kumpulan pantun, baik yang dikarang sendiri oleh penulisnya maupun yang bersifat dokumentasi atas pantun-pantun populer; (c) penghias surat-surat pribadi; (d) hiasan pidato, dan sebagainya.

Di era modern, kegunaan pantun mulai mengalami pergeseran, atau lebih tepatnya perkembangan. Kini, pantun kerap dipakai untuk memajukan kepentingan politik, strategi pemasaran sebuah produk atau jasa (seperti yang dilakukan Citilink), meramaikan upacara-upacara adat, bahkan untuk konten meme media sosial. Pemakaian-pemakaian tersebut merupakan sebagian cara agar pantun tetap dikenal dan dicintai hingga sekarang. Saat ini pantun sudah begitu erat dalam kehidupan sehari-hari kita.

Tinder, contohnya. Aplikasi kencan digital ini baru-baru ini mengumumkan kolaborasinya dengan komedian Dodit Mulyanto untuk membuat inspirasi-inspirasi pantun yang dapat digunakan para pengguna aplikasi untuk memulai percakapan dengan match mereka. Salah satunya sebagai berikut: “Halusin bumbu pake blender, blender-nya rusak perlahan. Asik, kita ketemunya di Tinder, abis ini lanjut ke pelaminan.” Terdengar jenaka, segar, dan sangat masuk dalam kosakata pergaulan anak muda. Harusnya bukan hal yang aneh bila pantun memang masih banyak diminati.

Namun, ada yang berpendapat bahwa pemakaian pantun di era modern banyak yang tidak berdampak positif bagi kelestarian pantun. Pantun modern dianggap hanya mengejar persamaan rima akhir saja, sementara rima akhir hanyalah salah satu unsur pembentuk pantun. ‘Jiwa’ pantun secara utuh seharusnya dilihat secara keseluruhan, mulai dari sampiran-isi hingga jumlah kata dan suku kata serta rima.

Meski begitu, Ibnu Wahyudi justru mendukung pemakaian pantun di kalangan anak muda, “Sebuah produk air mineral beberapa waktu yang lalu pernah menampilkan sejumlah pantun pada kemasan botolnya. Ini cara yang harus kita apresiasi, sebab secara tidak langsung perusahaan tersebut turut melestarikan pantun.” Beliau menambahkan, “Di kalangan anak muda, pantun juga masih populer karena bentuknya ringkas dan permainan rima memberi peluang untuk munculnya asosiasi-asosiasi kaya dengan kejenakaan.”

Dirinya pun mencontohkan, “Ketika sebuah larik berakhir dengan // .... kedondong // dapat diduga pasti ada larik dengan ‘dong.’” Mengingat kelenturan patun, ia dapat muncul kapan saja dan selalu aktual, berbeda dengan gurindam, seloka, atau syair yang kurang memberi tempat untuk “berjenaka-ria.”

Selain digunakan secara jenaka dalam percakapan sehari-hari, pantun juga masih digunakan dalam berbagai upacara adat. Pantun Palang Pintu dari Betawi, misalnya, merupakan bagian dari rangkaian upacara pernikahan adat setempat. Dalam tradisi Betawi, saat calon pengantin pria hendak masuk ke kediaman calon pengantin wanita, pihak pengantin wanita akan menghadang. Di sinilah adu pantun terjadi. Tentunya, secara agama maupun negara, tradisi ini tidak berdampak pada sah atau tidaknya sebuah pernikahan, namun merupakan tradisi unik yang masih dilestarikan warga hingga saat ini.

Pantun memang sudah sepatutnya kita jaga kelestariannya, karena merupakan bentuk asli puisi lisan dari budaya Nusantara. Bahkan, berbagai daerah di Indonesia memiliki pantun dengan bahasa daerah masing-masing. “Fungsi atau kegunaannya mirip, yaitu sebagai bagian dari suatu komunikasi lisan dan biasanya merupakan bagian dari suatu acara, seperti lamaran (Betawi) atau ketika panen (Sunda dan Jawa),” tambah Ibnu Wahyudi. Sebutan untuk pantun pun cukup beragam, mulai dari “paparikan” (Sunda), “umpasa” (Mandailing), hingga “bolingoni” (Toraja).

Di samping itu, UNESCO telah mengukuhkan pantun sebagai Warisan Dunia Tak Benda pada 17 Desember 2020. Baru-baru ini, PT Balai Pustaka (Persero) yang didukung oleh Kementerian BUMN menyelenggarakan Lomba Berbalas Pantun 2021 yang memperebutkan Piala Menteri BUMN beserta hadiah dengan total 200 juta.

Pada intinya, pantun masih sangat relevan dengan kehidupan warga Indonesia di era modern, dan banyak cara yang data kita tempuh untuk melestarikannya, mulai dari merayu pasangan di aplikasi kencan hingga menerapkan tradisi pantun dalam upacara adat.

Perut terisi, sudah makan sebelum mandi. Kami permisi, tulisan ini berakhir di sini.


Artikel terkait

See this gallery in the original post

Berita

See this gallery in the original post