TFR

View Original

Warisan budaya diakui negara lain, apa yang bisa negara lakukan?

Read in English

Salah satu kasus yang memberi luka tersendiri bagi bangsa Indonesia adalah ketika reog Ponorogo diklaim oleh Malaysia pada tahun 2007 sebagai salah satu warisan budayanya. Reog Ponorogo adalah kesenian tradisional yang berasal dari Jawa Timur. Ciri khas kesenian tersebut terletak di busananya yang terdiri dari topeng berbentuk kepala singa (yang dikenal sebagai Singo Barong) berhiaskan bulu-bulu merak di atasnya.

Tarian Barongan yang serupa dengan reog Ponorogo diklaim Malaysia sebagai warisan budayanya dalam sebuah video destinasi wisata berjudul “Malaysia Truly Asia.” Tidak hanya itu, tulisan “Reog Ponorogo” yang seharusnya ada pada sosok Singo Barong diganti dengan tulisan “Malaysia.”

Foto: Tari Reog Ponogoro diambil pada tahun 2018

Batik juga sempat diakui oleh China dan Malaysia sebagai kerajinan tangan milik mereka. Hal ini memicu kemarahan warganet Indonesia. Pada kasus China, batik yang dimaksud adalah teknik membatik. Memang, teknik membatik tidak berasal dari Indonesia. Teknik ini juga digunakan di negara-negara lain, seperti Sri Lanka, India, China, Thailand, Afrika, Jepang, dan Malaysia.

Yang menjadi perdebatan adalah motif-motif yang dihasilkan dari teknik batik. Lain halnya dengan China, Malaysia pada tahun 2008 mengakui motif batik sebagai warisan budaya Malaysia. Pemerintah Indonesia pun mengambil langkah dengan mendaftarkan batik ke dalam jajaran daftar representatif budaya tak benda warisan manusia UNESCO. Perseteruan tersebut berakhir pada 2 Oktober 2009 ketika UNESCO mengukuhkan batik sebagai warisan budaya Indonesia. Tanggal tersebut juga diperingati sebagai Hari Batik Nasional di Indonesia.

Namun, penting juga untuk disadari bahwa aksi protes terhadap budaya yang “diambil” tidak semudah melestarikan budaya itu sendiri. Di sinilah peran pemerintah diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap budaya Indonesia.

Dalam Undang-Undang Hak Cipta, perlindungan terhadap budaya tradisional dirangkum dalam Bagian V mengenai Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) dan Ciptaan yang Dilindungi. Perlindungan terhadap EBT meliputi, antara lain, verbal tekstual, musik, gerak, teater, seni rupa, dan upacara adat.

Afrillyanna Purba, dkk. dalam buku mereka yang berjudul TRIPs-WTO dan Hukum HKI Indonesia menyebutkan bahwa suatu EBT dapat dilindungi apabila terdapat kegiatan intelektual yang dijalankan oleh individu maupun kolektif yang menjadi ciri dari identitas suatu komunitas yang telah dipelihara dan terus dikembangkan serta menjadi tanggung jawab untuk dilakukan sesuai dengan hukum atau kebiasaan adat istiadat komunitas tersebut.

Verbal tekstual dalam EBT bisa berbentuk lisan maupun tulisan dalam berbagai tema dan isi pesan yang dapat berupa karya sastra ataupun narasi informatif. Pantun merupakan salah satu hasil karya warisan budaya yang berbentuk lisan.

Musik terdiri dari vokal, instrumental, atau kombinasi keduanya, misalnya lagu Rasa Sayange yang juga sempat diklaim Malaysia sebagai warisan budayanya. Sementara, beberapa gerak atau tarian tradisional yang sudah tidak asing bagi kita adalah tari saman, tari kecak, dan tari piring.

Seni teater tradisional ditunjukkan di antaranya melalui pementasan wayang dan sandiwara rakyat. Wayang kulit juga sudah diakui UNESCO sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Seni rupa dalam warisan budaya ditunjukkan di antaranya dalam karya seni patung kayu yang saat ini banyak ditemukan di Bali.

Uniknya, upacara adat termasuk dalam warisan budaya yang dilindungi. Upacara adat menjadi warisan budaya karena telah dijalankan secara turun-temurun dan turut serta membentuk perilaku sosial masyarakat setempat. Salah satu upacara adat yang terkenal adalah Rambu Solo, yaitu upacara pemakaman adat suku Toraja yang mewajibkan pihak keluarga yang berduka untuk membuat pesta meriah sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada mendiang yang telah pergi.

Tokoh adat Toraja, Layuk Sarungallo menjelaskan, "Kenapa orang Toraja semua sisa hasil usahanya dilakukan untuk penguburan? Harta harus dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk sosial, supaya membiasakan anak-anaknya (mendiang) tidak tergantung pada warisan." Nilai-nilai semacam inilah yang ingin terus dilestarikan. Oleh karena itu, upacara adat dianggap penting untuk dilindungi.

Perlindungan terhadap EBT dipegang oleh negara dan berlaku untuk ciptaan yang tidak diketahui penciptanya. Perlindungannya berlaku tanpa batas waktu. Sebagai pemegang hak cipta, negara berkewajiban untuk menginventarisasi, menjaga, dan memelihara EBT. Bentuk inventarisasi atau pemeliharaan budaya yang dilakukan oleh negara salah satunya adalah setiap tahunnya mendaftarkan warisan budaya Indonesia ke UNESCO.

Kabar terbaru dari pendaftaran ini adalah diterimanya tradisi pencak silat sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO pada sidang ke-14 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Bogota, Kolombia, pada 12 Desember 2019.

Foto oleh Slamet Mulyadi dari Shutterstock: Para murid pencak silat sedang diuji tingkat keberaniannya

Selain itu, negara juga berwenang untuk melarang pihak asing untuk menggunakan budaya yang dilindungi dengan tujuan komersial tanpa izin. Misalnya, warga negara asing yang ingin menjalankan usaha batik atau kerajinan tradisional lainnya harus memperoleh izin dari negara (pemerintah pusat, daerah, atau instansi terkait) atau warga negara Indonesia yang menjadi pemegang hak atas ciptaan tertentu. Salah satu contoh adalah ketika Dior menggunakan kain endek untuk koleksinya.

Dengan status negara sebagai pemegang hak cipta atas EBT, negara juga mewakili rakyat Indonesia untuk menguasai dan menggunakan ciptaan tersebut. Maka dari itu, apabila kita perhatikan lebih jauh, para penggiat kain songket dari berbagai daerah tidak perlu izin dari negara untuk menjalankan usahanya. Kegiatan itu dianggap sebagai bagian dari upaya melestarikan warisan budaya.

Selain itu, UU Hak Cipta juga memberikan perlindungan terhadap setiap karya seni yang mengandung unsur inovatif yang berasal dari budaya tradisional, salah satu contohnya adalah perlindungan terhadap batik kontemporer. Perlindungan tetap diberikan karena meskipun bersumber dari karya yang telah ada sebelumnya, batik kontemporer memiliki nilai seni tersendiri baik dari segi motif, corak, maupun warna.

Ambil contoh salah satu merek batik kontemporer Sejauh Mata Memandang yang saat ini tengah menghadapi kasus terduga plagiat. Pencipta Sejauh Mata Memandang bisa mendaftarkan motif-motif batiknya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.

Bedanya, kepemilikan hak terhadap suatu batik kontemporer dimiliki oleh pencipta dan bukan negara. Pencipta di sini bisa berupa pemilik merek atau pihak yang membuat desain batik tersebut, tergantung pada perjanjian yang dilaksanakan para pihak. Perlindungan terhadap batik kontemporer diberikan apabila mengandung kreasi baru yang berbeda dengan motif tradisional dan disesuaikan dengan minat konsumen pada masa itu.

Dengan demikian, pencipta memiliki kontrol penuh, baik secara ekonomi maupun moral, atas ciptaannya meskipun belum didaftarkan, karena perlindungan yang diberikan oleh hak cipta bersifat deklaratif.


Artikel terkait

See this gallery in the original post

Berita

See this gallery in the original post