TFR

View Original

Konde: Lebih dari sekadar gaya rambut

Ditulis oleh Ardela Nabila | Read in English

Kalau mendengar kata konde, mungkin kebanyakan dari kita akan teringat dengan gaya rambut yang digulung, kemudian dilengkapi dengan tusuk konde atau aksesori rambut lainnya. Atau mungkin, sanggul yang identik dengan perempuan dari tanah Jawa, seperti sosok terkemuka R. A. Kartini.

Padahal, konde bukan sekadar gaya rambut yang mengutamakan estetika, namun juga memiliki arti yang lebih mendalam. Walaupun merupakan gaya rambut tradisional, konde atau sanggul sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Gaya rambut ini bahkan pertama kali digunakan oleh perempuan dari kalangan bangsawan Mesir Kuno.

Kala itu, konde merupakan salah satu aspek yang menunjukkan status sosial seseorang. Semakin tinggi dan besar kondenya, artinya semakin tinggi pula status sosial orang tersebut. Dengan kata lain, tidak sembarang orang dapat menata rambutnya dengan cara menggulungnya di bagian belakang kepala.

Seiring dengan perkembangan zaman, sanggul mulai dikenal dan digunakan oleh kalangan lainnya di seluruh dunia. Bahkan, catatan sejarah menunjukkan, Raja Perancis Louis XIII dan putranya Louis XIV turut berkontribusi dalam memopulerkan sanggul ke penjuru dunia.

Sementara itu di Indonesia, sanggul atau konde secara turun-temurun telah diwariskan oleh nenek moyang kita sebagai gaya rambut tradisional. Bukan hanya Jawa saja, berbagai daerah lain di Tanah Air pun memiliki warisan serupa dengan ciri khasnya masing-masing.

Misalnya saja sanggul timpus dari Sumatera Utara dengan karakteristik daun sirih sebagai hiasannya dan sanggul (pusung) tagel dari Bali yang identik dengan sematan mahkota di bagian atasnya serta berbagai bunga yang mempercantik tampilannya. Menariknya lagi, sanggul tagel hanya dapat dipakai oleh perempuan yang sudah menikah.

Hingga saat ini, konde tradisional masih digunakan untuk berbagai kepentingan, termasuk acara resmi, acara adat, serta acara keagamaan.

Baca juga: TORAJAMELO perkenalkan penenun gedogan ke pasar global

Konde sebagai representasi integritas perempuan

Di balik kecantikannya, konde ternyata memiliki filosofi mendalam. Lebih dari sekadar gaya rambut biasa, rupanya konde merepresentasikan integritas seorang perempuan. Menurut pendiri yayasan Belantara Budaya Indonesia dan Ketua Umum Perempuan Pelestari Budaya Diah Kusumawardani Wijayanti, konde bermakna untuk menutup rahasia.

“Sanggul ini punya filosofi menutup rahasia. Orang Indonesia itu, kan, terkenal ramah dan baik, jadi kalau dikategorikan kekinian, adalah bagaimana zaman dulu perempuan Indonesia menyimpan rahasia di belakangnya (konde). Walaupun berat, namun ia tetap tersenyum di depan,” ujar Diah saat ditemui di Sarinah, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Sumber: Diah Kusumawardani Wijayanti

Diah merupakan sosok pegiat budaya yang bergerak melalui yayasan dan komunitas yang dibangunnya. Lewat Belantara Budaya Indonesia, ia membuka sanggar tari tradisional dan kelas bahasa gratis yang dapat diikuti oleh siapa pun, terlepas dari usianya. Sanggar tarinya yang kini sudah memiliki 6.000 murid di 17 kelas itu bahkan memiliki kelas khusus difabel.

Sedangkan komunitas Perempuan Pelestari Budaya merupakan komunitas sosial yang bertujuan untuk membantu menjembatani para perempuan yang ingin bergerak bersama melestarikan budaya Indonesia. Di komunitas tersebut, Diah dan anggota lainnya bahkan berpakaian tradisional lengkap, bukan hanya mengenakan kebaya dan wastra, tetapi juga berkonde.

“Tapi kalau kita tarik ke depan, konde itu mengajarkan kita sebagai perempuan untuk memiliki integritas. Artinya, kalau ada masalah, seperti masalah keluarga, itu cukup kita saja yang tahu. Ini, kan, penting banget integritas, bisa menjaga martabat. Nenek moyang kita sudah memikirkan ini jauh sebelum kita lahir,” kata ibu dua anak itu.

Tak hanya bentuknya, aksesori rambut yang melengkapi konde, seperti tusuk konde, pun turut memiliki makna di baliknya. Detail-detail seperti inilah yang menurut Diah perlu lebih giat lagi disosialisasikan ke anak-anak zaman sekarang agar mereka memiliki pemahaman akan warisan budaya dari leluhur.

“Semua konde pasti ada maksudnya. Di Sumatera, Bali, Jawa, itu semua ada maknanya. Bahkan tusukan konde, kembang yang disematkan di konde, itu semua memiliki makna dan filosofi. Jadi sedalam itu leluhur kita sudah memikirkan,” lanjutnya.

Baca juga: SPOTLIGHT Indonesia tampilkan kreativitas industri fesyen lokal lewat wastra

Tren konde di kalangan anak muda terus meningkat

Konde saat ini sudah mulai banyak kembali digunakan, termasuk oleh kalangan anak muda. Hal ini tidak terlepas dari meningkatnya kesadaran masyarakat tentang budaya mereka.

Lebih dari itu, kata Diah, berbagai tokoh publik ternama yang kerap mengunggah potret dirinya di media sosial ketika berkebaya lengkap dengan kondenya turut memengaruhi peningkatan tren berkonde. Pasalnya, mereka secara tak langsung telah mengajak orang lain untuk mengenakan pakaian dan gaya rambut serupa.

“Kalau kita balik lagi ke 10 tahun sebelumnya, konde ini mulai ditinggalkan. Tapi sekarang pariwisata sudah mulai digalakkan, terus kesadaran masyarakat tentang kearifan lokal mulai terbangun lagi, bahkan di anak-anak muda. Ketika mereka melihat temannya menggunakan sanggul atau pakaian tradisional, mereka biasanya akan dengan senang ikut meniru,” pungkasnya.

Diah melalui Belantara Budaya Indonesia turut mengajak murid-muridnya untuk melengkapi penampilannya dengan konde, setidaknya ketika mereka tampil menari.

“Kalau sebelumnya grafik penggunaan konde sempat menurun, tapi kesadaran banyak orang, itu mulai bangkit. Misalnya, penggunaan konde di acara-acara sekolah, acara pernikahan, itu sudah banyak yang bangga mengenakan kebaya lengkap dengan konde. Ini bagus banget, sih,” tuturnya.

Baca juga: Indonesia Fashion Week 2023 bertajuk “Sagara dari Timur” resmi dibuka


Pentingnya mengenalkan budaya sejak dini

Jika membahas masa depan konde, menurut Diah, kelestarian konde dapat dijaga dengan memperkenalkan gaya rambut tradisional ini beserta filosofinya melalui pendidikan sejak dini. 

Anak-anak perlu dikenalkan dengan kearifan lokal daerahnya masing-masing sejak kecil agar mereka dapat bertumbuh dengan pemahaman mengenai kebudayaannya dan bangga akan hal tersebut.

Diah mengatakan, “Memperkenalkan budaya saja itu sudah menjaga, karena itu identik dengan konde, kebaya, tenun, dan aksesori lainnya. Jadi ketika kita membicarakan budaya, semuanya akan seperti itu, semuanya saling memengaruhi, melakukan gerakan. Dan dengan begitu budayanya tidak akan hilang.”

Media sosial sebagai platform penyebaran informasi terkini juga memiliki peran penting dalam hal ini. Seperti para figur publik yang membagikan potret dirinya ketika berkonde untuk menciptakan citra dan kesadaran bahwa gaya rambut tradisional pun dapat membuat penampilan terlihat anggun dan menarik.

“Misalnya kalau kita pakai konde berantakan, terlihat tidak bagus, orang tentu akan malas mengikutinya. Makanya kalau dipadukan dengan gaya modis, seperti Maudy Ayunda, misalnya, itu jadi berpengaruh dan banyak yang tertarik untuk meniru,” tutup Diah.

Berbeda dengan awal kemunculannya, kini sanggul memang dapat dipakai oleh siapa pun, bahkan hadir dengan tampilan yang lebih modern.

Sumber: Diah Kusumawardani Wijayanti

Sanggul modern memiliki bentuk yang lebih variasi dan minimalis, mengikuti perkembangan tren kecantikan yang ada. Dengan adanya penyesuaian ini, diharapkan lebih banyak lagi perempuan yang dapat mengadopsi sanggul modern ke gayanya sehari-hari.




Artikel terkait

See this gallery in the original post

Berita Terkini

See this gallery in the original post