Menemukan kebebasan berkesenian dalam film dokumenter
Ditulis oleh Alessandra Langit | Read in English
Film dokumenter “A Tale of The Crocodile’s Twin” karya Taufiqurrahman Kifu belum lama ini membawa pulang penghargaan Jury Special Mention di International Short Film Festival Oberhausen, Jerman. Menangkap realita hubungan manusia di Palu dengan alam, film tersebut menawarkan eksplorasi bentuk dokumenter yang berbeda. TFR berkesempatan berbincang-bincang dengan Kifu untuk membedah kemungkinan bentuk baru dari dokumenter dan kebebasan tutur visual sebuah film.
Dokumenter sebagai alat tutur isu yang bersifat urgensi
“A Tale of The Crocodile’s Twin” merupakan bagian dari program Hidup dengan Bencana yang digagas oleh Sinekoci untuk merespons kehidupan pasca-bencana gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah. Dalam pandangan Kifu, bencana merupakan topik yang bersifat mendesak untuk dibicarakan, mengingat Indonesia kekurangan arsip soal kebencanaan. Kifu bersama komunitas Forum Sudutpandang ingin menyampaikan urgensi ini lewat media tutur dokumenter. Menurutnya, dokumenter adalah seni rekam yang memiliki pendekatan langsung dan secara gamblang mampu menyajikan realita hubungan manusia dengan alam, dalam hal ini diwakili oleh buaya.
“Prioritas kami adalah pengetahuan dan pengarsipan soal kebencanaan. Dokumenter kami rasa merupakan pendekatan yang direct dan komunikatif untuk ngomongin soal isu yang urgent,” tutur Taufiqurrahman Kifu.
Selama bertahun-tahun, film dokumenter telah menjadi alat untuk menyampaikan kegentingan di berbagai sektor kepada masyarakat awam dan audiens yang lebih luas. Pada 2021, film “
” karya Ali Tabrizi yang tayang di Netflix berhasil membuka diskusi panjang netizen soal realita lingkungan bawah laut dan nasibnya di masa depan akibat ulah manusia. Berbagai kampanye dan gerakan di media sosial pun tercipta setelah film dokumenter tersebut menjadi konsumsi pasar. Produser BBC dan pembuat film dokumenter Parminder Vir dalam sebuah artikel di Once Films menyatakan, film dokumenter adalah media yang mampu memberikan orang awam akses ke informasi mendesak soal isu-isu global, sosial, dan politik, yang mungkin selama ini tidak mereka ketahui.
Konstruksi kenyataan lewat eksplorasi bentuk dokumenter
Secara artistik, film “A Tale of The Crocodile’s Twin” menawarkan visual buaya yang imajinatif namun berdasarkan arsip keseharian masyarakat Palu, mulai dari gambar buaya pada obat kuat hingga roti buaya berkalung ban, stiker WhatsApp buaya, dan mitos buaya kembar, yang digambarkan oleh seniman Raras Umaratih. Melalui sebuah mind map yang dibuat setelah hasil riset terkumpul, Kifu mencoba menerjemahkan kompleksitas keberadaan buaya ini, salah satunya mitos buaya kembar yang dipercaya oleh masyarakat Sulawesi.
“Kami menemukan mitos buaya kembar dan berpikir, bagaimana kalau kami konstruksikan folklore ini menjadi kenyataan sendiri. Visual di film ini mendukung imajinasi. Gue sendiri sih percaya kalau film dokumenter itu bisa menjadi sangat fiksi, karya seni visual terkadang membuat konstruksi peristiwanya sendiri,” jelas Kifu.
Melihat bahwa film merupakan kemungkinan taman bermain imajinasi dan perspektif soal kenyataan, Kifu akhirnya memilih media seni visual ilustrasi untuk menyampaikan mitos yang lahir dari mulut ke mulut. Ia menyatakan bahwa ilustrasi dalam sebuah film dokumenter mampu menjahit kenyataan dan mitos. Bentuk visual film dokumenter yang menggunakan media seni lain menjadi potensi untuk menyampaikan realitas kehidupan warga Indonesia yang berdampingan dengan mitos dan isu lain yang sulit diterjemahkan. Dengan pemilihan visual yang berbeda dari dokumenter pada umumnya, film bisa memantik imajinasi penonton dengan sendirinya. Seperti yang Kifu sampaikan soal film karyanya ini, “Biarkan penonton berimajinasi soal buaya.”
Animated documentary sebetulnya bukan sebuah istilah yang asing atau baru bagi para pembuat film Indonesia. Pada 2020, Chonie Prysilia dan Hizkia Subiyantoro meluncurkan sebuah film dokumenter animasi pendek berjudul “KOsOng”. Tak jauh berbeda dari “A Tale of The Crocodile’s Twin”, film ini menggunakan ilustrasi yang dianimasikan untuk mengungkapkan isu yang dianggap mendesak namun dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, yaitu hak perempuan atas sistem reproduksinya sendiri. Film yang sempat tayang di Festival Film Dokumenter ini mengangkat pengalaman lima perempuan dalam menghadapi stigma seputar tidak memiliki anak.
Pada 2018, animator M. Alfath Syahalam merilis film dokumenter animasi berjudul “Marzuki” yang menceritakan kisah mantan atlet sepakbola yang menagih janji pemerintah atas jaminan hidupnya. Animasi tersebut merekonstruksi kehidupan sang mantan atlet, dari mulai masa kejayaan hingga masa-masa penantian yang tak kunjung datang hingga akhir hayatnya. Ilustrasi dalam film ini juga menjadi gambaran emosi subjek dokumenter yang tak selalu mampu ditunjukkan oleh rekaman nyata.
Kebebasan dokumenter dan pelepasan kaidah bentuk film
Keputusan artistik Kifu dalam film “A Tale of The Crocodile’s Twin” didasarkan atas kepercayaannya bahwa film bisa menjadi film tanpa harus dibebani genre. Kebebasan bentuk film dokumenter ini tentu masih asing bagi masyarakat Indonesia yang terbiasa menyaksikan dokumenter jurnalisme. Penggunaan media seni lain dalam film dokumenter untuk membentuk konstruksi peristiwa yang berdasarkan kenyataan masih jarang dilakukan oleh pembuat film di Indonesia. Dalam membentuk keberanian pelepasan kaidah film dokumenter ini, Kifu belajar dari maestro-maestro film Eropa, salah satunya adalah Chris Marker dengan filmnya “La Jetée” (1962).
“Chris Marker dalam film ‘La Jetée’ membuat cerita fiksi dari arsip-arsip nyata. Dia menggunakan treatment dokumenter untuk penceritaan film fiksi,” ungkap Kifu.
Dalam film tersebut, Chris Marker menggunakan media seni visual lainnya, yaitu foto-foto milik orang yang tidak ia ketahui untuk dikonstruksikan menjadi sebuah peristiwa. Dari arsip yang tidak memiliki makna dan konteks, foto-foto tersebut menjadi cerita fiksi yang direkam dalam sebuah karya film. Kifu juga belajar dari maestro film asal Prancis Agnès Varda yang menjadi bagian dari gerakan nouvelle vague di Prancis dalam pendobrakan kaidah bentuk film.
“Gue belajar terbuka dengan eksplorasi bentuk film dokumenter dari film-film Agnès Varda. Lewat film pendek maupun panjangnya, gue dapat pengetahuan bahwa dokumenter itu bisa sebebas ini. Film dokumenter bisa menyampaikan gagasan tanpa harus terasa seperti jurnalisme. Gambar dan pesan tidak harus saling mendukung seperti film dokumenter pada umumnya. Agnès Varda mampu menyampaikan gagasan realitas dengan bentuk visual yang berbeda, hal itu membuat filmnya terasa poetic,” ungkap Kifu.
Pelepasan kaidah bentuk film ini juga ia temukan saat mengikuti rangkaian penayangan film di Short Film Festival Oberhausen. Pengalaman ini menjadi penting bagi Kifu karena di sana ia menyaksikan film dirayakan dari sisik artistiknya alih-alih pengelompokan genre. Festival itu memilih film bukan berdasarkan genrenya. Menurut Kifu, banyak film-film unik yang jika didefinisikan dalam genre tertentu akan membatasi imajinasi penonton.
“Sayangnya, kultur seperti itu masih belum terbangun di Indonesia. Padahal, Indonesia punya budaya seni visual yang kaya untuk dieksplorasi. Misalnya, ada banyak mitos yang bisa diceritakan dalam film dengan bentuk visual yang bebas dari pakem-pakem genre. Saat film ‘A Tale of The Crocodile’s Twin’ tayang di Indonesia, banyak penonton yang mengatakan bahwa ini merupakan bentuk baru dokumenter. Padahal, sebagai sutradara, gue hanya mau bebas bermain dengan waktu dan ruang, dengan tidak terbebani dengan kaidah genre tertentu,” ceritanya.
Di akhir obrolan, Kifu menjelaskan bahwa imajinasi manusia bisa dipantik oleh montase bentuk visual yang berbeda-beda tanpa menghilangkan gagasan realitanya. Dalam proses produksi film dokumenter, eksekusi konstruksi visual bisa sangat bebas untuk dieksplorasi.