Co-living: Masa depan bisnis indekos?
Ditulis oleh Ardela Nabila | Read in English
Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, menjadi juragan indekos atau kos-kosan adalah salah satu rencana pensiun paling menjanjikan. Tak heran, kos memang masih menjadi pilihan tempat tinggal paling populer di Indonesia, khususnya di kalangan mereka yang merantau.
Budaya tinggal di indekos sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial. Kos dimanfaatkan kaum pribumi kalangan menengah atas kala itu sebagai sarana untuk meningkatkan status sosial agar sejajar dengan warga Belanda.
Mereka dititipkan kepada keluarga Belanda dengan membayar sejumlah uang dan memenuhi syarat tertentu. Makanya, istilah indekos muncul sebagai serapan dari Bahasa Belanda “in de kost” yang berarti “makan di dalam” atau “tinggal dan makan di dalam”.
Kini, bisnis indekos hadir dalam versi elevated bernama co-living. Sejatinya, keduanya sama-sama menawarkan sewa tempat tinggal, hanya saja co-living mengusung konsep yang lebih modern sesuai standar gaya hidup anak muda masa kini.
Jenis akomodasi ini tengah digandrungi para Milenial dan Gen Z karena menawarkan hunian berbasis komunitas dengan fasilitas penunjang yang lebih lengkap daripada kos-kosan konvensional. Selain itu, popularitasnya juga dilatarbelakangi oleh harga properti yang makin hari makin melonjak dan sulit dijangkau generasi muda.
Survei bertajuk “Property Perspective from Gen Z” yang dirilis oleh Jakpat pada 2023 terhadap 1.194 responden menunjukkan bahwa mayoritas Gen Z lebih memilih menyewa properti daripada membelinya karena alasan kesiapan finansial.
36% dari 587 responden yang enggan membeli properti menyebutkan sejumlah alasan mengapa mereka memilih untuk menyewa, yakni harga yang lebih murah (22%), lokasi strategis (18%), dan mutasi kerja (11%).
Di tengah permasalahan terkait tempat tinggal dan peningkatan standar hidup di kalangan anak muda, co-living dianggap menjadi salah satu solusi hunian di tengah kota dengan fasilitas memadai dan harga terjangkau.
Membangun bisnis co-living yang makin diminati
Co-living merupakan konsep hunian berbasis komunitas yang memungkinkan para penghuninya berbagi area pribadi dan umum. Istilah co-living mulai populer di kalangan anak muda Indonesia, khususnya yang tinggal di pusat kota besar, sejak masa pandemi.
Betapa tidak, dalam beberapa tahun terakhir, industri co-living mulai diramaikan oleh banyak pemain baru yang hadir untuk memenuhi kebutuhan Milenial dan Gen Z. Salah satu nama yang tak asing adalah Cove, yang dapat ditemui di hampir tiap sudut kota Jakarta. (Dokumentasi oleh Cove).
Cove merupakan penyedia co-living asal Singapura yang berdiri pada 2018 dan berekspansi ke Indonesia pada 2020. Hanya dalam kurun waktu kurang dari empat tahun, Cove telah mengelola sekitar 150 properti dan lebih dari 3.500 kamar di Indonesia.
Ini membuktikan tingginya minat masyarakat muda akan konsep hunian baru yang dapat mendukung gaya hidup modern mereka.
“Kalau membicarakan co-living, sebenarnya saat Cove masuk (ke Indonesia), term (co-living) itu masih aneh dan asing di telinga orang. Mereka tahunya kos atau apartemen, mereka tidak tahu bisnis co-living itu apa. Tapi dalam lima tahun terakhir, industri co-living menunjukkan perkembangan signifikan dengan banyaknya orang yang mulai aware dan familier dengan konsep ini,” ujar Brand Marketing Manager Cove Indonesia Citra Rufina Praditha dalam wawancara bersama TFR, Rabu (14/8).
Berkesempatan untuk tinggal di pusat kota dengan fasilitas penunjang eksklusif dan harga terjangkau menjadi alasan utama mengapa co-living makin dilirik.
“Yang tinggal di Cove itu mereka punya gaya hidup yang cukup dinamis dan butuh fleksibilitas. Kenapa bisnis co-living bisa berkembang? Karena konsep yang ditawarkan sejalan dengan standar hidup masyarakat urban yang sudah semakin tinggi.”
Apabila dibandingkan dengan apartemen ataupun kos-kosan pada umumnya, tempat tinggal co-living memang memiliki daya tarik tersendiri. Pasalnya, biaya sewa bulanan sudah termasuk furniture kamar yang lengkap serta fasilitas pendukung lainnya, mulai dari area komunal, dapur bersama, area parkir, akses WiFi, layanan kebersihan kamar, maintenance, hingga layanan pelanggan.
“Memang konsepnya sharing, tapi fasilitas tersebut bisa diakses oleh semua penghuni. Co-living juga terletak di lokasi strategis. Dengan fasilitas memadai ini, dibanding membeli rumah, co-living menjadi jauh lebih terjangkau,” jelas Citra.
Menantang, tapi trennya terus menanjak!
Tak hanya di Jakarta, Cove juga telah melebarkan sayapnya ke kota metropolitan lain di Indonesia yang didominasi oleh generasi Milenial dan Gen Z. Cove kini dapat ditemui di Tangerang, Depok, Bekasi, Bandung, dan Bali.
Terus berekspansi karena tingginya permintaan bukan berarti mengembangkan bisnis ini bebas dari tantangan. Menurut Citra, mayoritas masyarakat Indonesia masih sangat mempertimbangkan biaya suatu produk atau layanan sebelum mengambil keputusan.
Saingan dalam menjalani bisnis co-living bukanlah hunian sewa mewah nan premium seperti apartemen, melainkan kos konvensional yang tersebar di mana-mana dan relatif ramah di kantong bagi kebanyakan pekerja di kota besar seperti Jakarta.
“Challenge utamanya justru banyaknya pilihan akomodasi lebih murah, karena masyarakat kita sangat price sensitive. Tantangan lainnya adalah pemahaman masyarakat bahwa co-living itu mahal. Padahal di balik harga itu, ada fasilitas pendukung yang mungkin orang tidak tahu,” ucapnya.
Kendati demikian, tren bisnis co-living di Indonesia diprediksi akan terus meningkat ke depannya. Citra mengatakan, beriringan dengan meningkatnya populasi urban di Indonesia, saat ini makin banyak pemilik properti yang melihat peluang bisnis ini.
Namun, pemain di industri ini harus mengatur strategi dan terus meningkatkan awareness masyarakat terkait opsi akomodasi yang cenderung baru ini.
“Journey time kami lumayan panjang untuk berusaha menjelaskan apa yang kita tawarkan. Kami memanfaatkan komunikasi di channel marketing, seperti media sosial dan brand message, untuk memperkenalkan co-living ke masyarakat,” tuturnya.
Memastikan penghuni mendapatkan pengalaman yang sesuai ekspektasinya juga tak kalah penting untuk mengembangkan bisnis co-living. Selain itu, pemain di industri ini harus dapat terus beradaptasi dengan perkembangan pasar.
Misalnya, selain menawarkan sewa bulanan, Cove kini mengikuti permintaan pasar dan menyediakan akomodasi harian atau bahkan mingguan.
“Kita juga harus walk the talk, harus bisa deliver komitmen dengan memberikan experience sesuai ekspektasi konsumen. Strategi lain adalah bagaimana kita bisa terus adaptif. Di Cove, awalnya kita hanya mengambil konsep co-living bulanan, tetapi sekarang lebih fleksibel mengikuti kebutuhan market yang berbeda-beda. Inilah beberapa strategi agar kita bisa sukses di industri co-living,” tutup Citra.