TFR

View Original

Ayu Permata Sari: Tari bukan sekadar koreografi, melainkan medium aspirasi

Sebagai koreografer, Ayu Permata Sari terlibat dalam berbagai festival dan residensi, salah satunya Indonesian Dance Festival (Foto: IDF)

Ayu Permata Sari, sosok seniman yang dikenal sebagian orang sebagai penari kontemporer berkarya melalui olahan tubuh—seni tari dan membawa beragam isu sosial dengan gayanya sendiri. 

Padahal, di sisi lain, menurut Ayu sendiri, "Sebenarnya, sebutan penari kontemporer itu dilabeli oleh orang-orang kepada aku," tutur Ayu kepada TFR, sembari senyum pada Kamis (6/10) siang.

Ayu telah mempelajari tari sejak dini, jauh sebelum mengambil studi jurusan koreografi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 2010 dan pasca sarjana di sekolah yang selama dua tahun mulai 2014.

“(Aku) Mulai masuk sanggar, umur delapan tahun,” cerita Ayu kepada TFR. Kala itu, Ayu pertama belajar tari di Sanggar Cangget Budaya di kampung halamannya, Lampung Utara. Bahkan, koreografer bagi sejumlah pementasan ini, ternyata sudah giat mengajar tari sejak duduk di bangku SMP. 

“Koreografer itu kan leader, SMP kelas satu, (aku) sudah bisa menghasilkan duit dari mengajar di SMP maupun SMA, (juga) kampus lain. Seminggu bisa lima sekolah yang diajar,” lanjut Ayu sambil bernostalgia masa kecilnya. 

Lantas, tidak heran jika pendiri kelompok seni pertunjukan Ayu Permata Dance Project di Yogyakarta ini, juga telah menampilkan karyanya di panggung internasional. Mulai dari Malaysia, Singapura, Belgia, hingga Jerman, Ayu telah menampilkan olahan geraknya di hadapan penikmat tari dunia. 

Lika-liku mencari gaya tarian, hingga temukan makna tari

Sejak memasuki bangku kuliah, Ayu kerap menemukan dirinya mempertanyakan makna dari ‘tari kontemporer’. 

“Aslinya aku ini penari tradisional Lampung, semuanya sangat struktural. Ketika aku mau tau apa ini kontemporer, sebagai penari aku ingin sekali masuk kontemporer, semakin kucari semakin nggak nemu, Mbak! Apakah yang ada balet-baletnya? Atau yang orang gak tau artinya? Yang abstrak?” guyon Ayu.

Terlepas dari istilah ‘kontemporer’ yang nir-makna itu, perlahan Ayu temukan makna seni tari, setidaknya bagi dirinya sendiri. Bagaimana tari yang bukan sekadar tatanan gerak, tetapi merupakan jembatan untuk mengantarkan kegelisahan, “Bagi aku pribadi, tari itu kehidupan, dan kehidupan adalah tari."

“Seringkali ketika aku tidak bertutur sesuatu dengan lugas, aku bisa menjelaskannya lewat tari. Dan juga sebaliknya, ketika aku gak bisa tari, aku bisa menyampaikannya dengan bertutur,” lanjut Ayu. 

Seperti yang dilakukannya ketika merasa gelisah atas ketidakadilan yang dialami perempuan di Lampung Utara. Ia sadar bahwa sulit untuk melawan ruang tatanan adat yang jauh lebih besar dari dirinya, dan tentunya, jauh lebih mapan. “Di situ aku bisa bertutur lewat gerak tubuh,” tutur Ayu kepada TFR. 

​​“Tubuh Dang, Tubuh Dut”, angkat isu kelas dalam hajatan dangdut

Pada 2018, Ayu menjadi penari pilihan yang tampil di panggung Indonesian Dance Festival (IDF), salah satu ajang bergengsi seni tari Indonesia. Ayu menampilkan karya “Tubuh Dang, Tubuh Dut” yang menyentuh isu sosial politik pasca reformasi.

Ayu mengujar bahwa karya ini mengangkat lapisan kompleks dari hajatan dangdut yang seakan mampu membawa tubuh dan jiwa penontonnya ke 'alam lain', “menjadi penari dangdut sepenuhnya.”

“Ketika masuk ke area dangdut, dia menjadi penari dangdut sepenuhnya. Ia melepaskan identitas aslinya, dia menjadi dirinya sebagai penonton dangdut. Setelah dangdut selesai, dia kembali lagi ke identitas awalnya," jelas Ayu tentang “Tubuh Dang, Tubuh Dut”.

Konsep tersebut serupa dengan pengertian 'ruang liminoid', ruang 'antara' yang bisa menyulap seseorang menjadi orang lain. 

Lewat karya ini, Ayu juga menyoroti budaya dangdut yang menjadi wadah berkomunikasi lintas kelas masyarakat di Indonesia. “Dangdut merupakan protes kelas bawah ke kelas atas, pemerintahan. Bahkan sempat 80 akhir-90an, dangdut nggak boleh masuk ke acara-acara televisi,” lanjut Ayu. 

Ia juga menjelaskan tentang posisi budaya dangdut pasca reformasi, “Setelah 1998, bagian elit bingung bagaimana cara ngobrol sama masyarakat kelas bawah. Mereka menggunakan dangdut sebagai ruang komunikasi masyarakat bawah dan atas. Banyak yang dibuat pementasan 'malam rakyat', ‘pesta rakyat’ kemudian disisipkan pesan pemilunya.”