TFR

View Original

Ada apa dengan minyak goreng?

Penurunan produksi minyak goreng di Indonesia: apakah menyebabkan kelangkaan?

Indonesia tengah mengalami krisis minyak goreng. Sebagai salah satu negara produsen minyak kelapa sawit (CPO) terbesar di dunia, tentunya hal ini membuat banyak orang bertanya-bertanya. 

Sebelumnya diketahui bahwa sejak pandemi COVID-19, suplai bahan makanan dunia, termasuk minyak goreng, merosot. Melansir Katadata, menurut data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), produksi minyak goreng turun 3% pada Januari 2022 dari 4,36 juta ton menjadi 4,22 juta ton.

Menurut Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono, penurunan tersebut disebabkan oleh faktor musiman. Dari angka ini terlihat bahwa penurunan produksi CPO pada Januari 2022 lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. 

“Penurunan produksi CPO dari Desember 2021 ke Januari 2022 yang sebesar 3% jauh lebih rendah dari penurunan musiman tahun lalu dari Desember 2020 ke Januari 2021 yang mencapai 7%,” tulis Mukti dalam siaran pers. 

Meski demikian, penurunan produksi minyak goreng pada tahun ini nyatanya tidak terlalu signifikan. Pada Februari tahun lalu, Indonesia hanya berhasil memproduksi 3,4 juta ton minyak goreng.

Terlebih lagi, data Gapki menunjukkan bahwa pada 2021, konsumsi minyak goreng nasional hanya mencapai 18.422 ton. Dengan demikian, idealnya adalah dengan angka konsumsi minyak yang bahkan tidak menembus jutaan ton, penurunan produksi minyak goreng seharusnya tidak akan menyebabkan kelangkaan nasional.

Namun nyatanya, sepertinya yang kerap diberitakan beberapa minggu terakhir, terlihat banyaknya warga mengantre untuk mendapatkan minyak goreng dan berbagai gerai supermarket yang kehabisan stok minyak goreng. Harga minyak goreng pun naik drastis hingga tembus Rp25.000 per liter. 

Lalu, mengapa kelangkaan ini terjadi?

Maka muncullah pertanyaan tentang mengapa terjadi kelangkaan minyak goreng. Berdasarkan berita CNBC Indonesia, menurut Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, meskipun Indonesia merupakan salah produsen terbesar CPO, harga minyak goreng pastinya tetap mengikuti fluktuasi harga CPO dunia. 

Hal ini menjadi penyebab mengapa harga minyak goreng di Indonesia juga ikut naik. Ditambah lagi, akibat mulainya pemulihan ekonomi nasional, permintaan terhadap CPO meningkat pesat, baik untuk kebutuhan pangan maupun kebutuhan energi seperti biodiesel. Ini menyebabkan munculnya pertarungan antara kepentingan energi dan pangan. 

Persaingan yang tidak sehat di industri minyak

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi melihat adanya indikasi permainan kartel dalam minyak goreng. Ia pun menyebutkan bahwa stok minyak goreng sebenarnya cukup, tetapi kenyataannya di lapangan minyak goreng sangat sulit didapatkan, terutama untuk merek-merek besar. 

Ditambah lagi dugaan bahwa para produsen minyak tengah menimbun minyak goreng. “Jadi spekulasi kami, ada orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan ini,” ujar Lutfi dalam siaran RDP virtual pada 17 Maret. 

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga sedang menginvestigasi setidaknya 11 produsen minyak goreng atas dugaan praktik kartel. Praktik ini diduga menjadi penyebab melambungnya harga minyak goreng melampaui harga eceran yang telah ditentukan. 

Salah satu alasannya adalah karena struktur industri minyak goreng yang cenderung oligopoli. 

Kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dan tidak konsisten

Untuk mengatasi krisis minyak goreng ini, pemerintah melakukan berbagai strategi intervensi. Sayangnya, kebijakan yang dibuat pemerintah cenderung tidak konsisten dan berubah-ubah, yang malah memperparah krisis ini. 

Sebagai contoh, dilansir dari Kontan, minggu lalu, pemerintah merilis aturan yang mewajibkan eksportir CPO untuk memasok CPO ke dalam negeri sebesar 30% dari total ekspor. Namun, sebelum berjalan, kebijakan ini rupanya akan diubah lagi. 

Beberapa minggu lalu, pemerintah meluncurkan kebijakan harga eceran tetap (HET) untuk mengendalikan harga minyak goreng yang melambung tinggi. Namun, belum berjalan cukup lama, pemerintah memutuskan untuk mencabut kebijakan itu. 

“Kebijakan harus konsisten. Harusnya setiap kebijakan dirumuskan dengan matang. Dari awal harusnya sudah tahu bagaimana dampak HET baik positif dan negatifnya, sehingga kebijakan ini bisa meminimalisir dampak negatif terhadap masyarakat dapat diterapkan," ujar pengamat ekonomi Rahma Gafmi.