TFR

View Original

Kenalan dengan 3 seniman perempuan dunia dan karyanya!

Sejarah seni rupa arus utama kerap menyoroti nama-nama ‘lelaki hebat’ mulai dari Vincent Van Gogh, Pablo Picasso, dan lain sebagainya. Namun, di balik itu semua sederet nama seniman perempuan telah berpengaruh besar bagi perkembangan seni rupa, khususnya seni rupa modern barat.

Mereka tak hanya pelukis perempuan, ada pula yang berkarya dengan media lainnya seperti patung, keramik, pertunjukan, hingga seni instalasi. 

Melansir MY MODERN MET (3/1), perempuan di masa lampau kerap disarankan untuk tidak mengejar karirnya di bidang seni, namun banyak individu luar biasa yang bertahan dan menjadi perintis atas hak mereka sendiri, dan berhasil menerjang rintangan kehidupan personal maupun publik.

Meskipun, kini perlahan problem itu mulai ditangani dengan munculnya sejumlah inisiasi yang berupaya memperjuangkan suara perempuan perupa dari berbagai belahan dunia. Seperti organisasi AWA (Advancing Women Artists) yang mengarsipkan karya perempuan perupa di Kota Firenze, Italia, agar tak terlupakan oleh sejarah arus utama.

Lantas, dalam artikel ini TFR akan menyoroti 3 perempuan perupa, bentuk karyanya, hingga pengaruhnya bagi dunia seni rupa modern barat! Simak 3 tokoh seniman perempuan dan karyanya di bawah ini!

Baca juga: Mengenal perempuan perupa Indonesia dan persoalannya dari masa ke masa

1. Berthe Morisot (Prancis, 1841-1895)

Berthe Morisot (lahir pada 1841), merupakan seorang pelukis dan seniman grafis asal Prancis yang menjadi salah satu pelopor aliran seni rupa impresionisme, salah satu titik penting perkembangan sejarah kesenian modern.

Foto: Berthe Morisot, “Women at Her Toilette”  (1875/1880) | ART INSTITVTE CHICAGO

Sebagai anak dari pelukis penting era rococo, Jean-Honoré Fragonard, di usia muda Morisot telah memutuskan untuk menekuni dunia seni rupa dengan dedikasi dan ambisi. Pada 1862 hingga 1868, Ia mengerjakan karya-karya dengan bimbingan pelukis ternama Prancis, Camille Corot.

Morisot kemudian pertama kali memamerkan karyanya di Salon Paris pada 1864, dan secara reguler berpartisipasi pada perhelatan seni bergengsi kala itu, hingga 1874 ketika Morisot menolak untuk lanjut mengikuti acara yang menuai kritik tersebut.

Hingga akhirnya pada 1868, Morisot perdana berkenalan dengan Édouard Manet yang kemudian menjadi salah satu kawan terbaiknya. Manet lah yang kemudian mendorong ketertarikan anak pelukis rococo itu untuk mencoba teknik ‘menangkap momen’ dari impresionisme. 

Foto: Berthe Morisot, “The Cradle” (1872) | DIRECTMEDIA

Akan tetapi, Morisot lebih dikenal lewat lukisan bergaya impresionis yang menangkap beragam kegiatan perempuan di lingkup privat. Gaya khas itu terlihat dalam karya “The Cradle” (1872), “Women at Her Toilette”  (1875/1880) dan “Reading” (1870).

Namun, meski telah memproduksi sederet lukisan ciamik semasa hidupnya, sejumlah sumber mengatakan Morisot kesulitan mendapat rekognisi dari dunia kesenian maupun publik umum. Terlebih lagi, beberapa mengatakan bahwa karya-karyanya kurang laku di pasaran.

Sekitar 30 tahun setelah mulai berkarya, melansir ARTnews (13/1/2021), Morisot akhirnya menggelar pameran tunggal. Dalam debut pameran solo pada 1892 itu, Morisot menulis pesan yang sangat kuat, “Sungguh, kita (perempuan) berharga atas perasaan, niat, visi yang lebih halus daripada laki-laki.”

Ia lanjut mengatakan, “Dan jika dengan keberuntungan, kita tidak dihalangi oleh kasih sayang, kesembronoan, dan penyempurnaan yang berlebihan, kita akan dapat melakukan banyak hal penting.” Itu, dia meyakinkan, terbukti.

Baca juga: Manga “Cyberpunk Momotarō” dibuat versi komik yang digambar dengan AI

2. Frida Kahlo (Meksiko, 1907-1954)

Perempuan perupa selanjutnya yang akan kita bahas ialah sosok ikonik Frida Kahlo. Lahir dan menetap di Meksiko, Kahlo dikenal lewat karya potret dirinya, yang merangkum topik seputar identitas, tubuh manusia, serta kematian.

Semasa kecilnya, Kahlo berjuang melawan penyakit polio yang membuatnya pincang, sebuah penyakit yang harus dihadapi hingga masa tuanya. Selain itu, di awal usia 20-an, pada 1925 Kahlo alami luka berat akibat kecelakaan bus yang dialaminya. Sampai-sampai Ia harus melalui 30 kali operasi medis semasa hidupnya.

Foto: Frida Kahlo, “Self-Portrait Wearing a Velvet Dress” (1926) | Frida Kahlo Org

Lama terbaring di kasur rumah sakit, Kahlo mengisi waktunya dengan belajar melukis secara otodidak. Salah satu karya pertamanya ialah potret Kahlo dengan warna latar yang gelap dan penuh ombak, bertajuk “Self-Portrait Wearing a Velvet Dress” (1926).

Selanjutnya, gaya lukisan Kahlo berkembang, terutama pada era ketika Ia baru menikahi pelukis ternama lainnya, yakni Diego Rivera. Subjek lukisannya cenderung lebih datar, abstrak, dan bergaya seni rakyat Meksiko. Contoh karya seni tersebut dapat dilihat lewat lukisan “Frieda and Diego Rivera” (1931).

Foto: Frida Kahlo, “Frieda and Diego Rivera” (1931) | artsy

Namun, salah satu lukisan paling ikonik karya Frida Kahlo ialah “The Two Fridas” (1939) yang dibuat di tahun dirinya bercerai dengan Rivera. Beberapa menilai bahwa lukisan dua versi Frida ini mengindikasikan perempuan yang diidamkan Rivera, bersandingan dengan potret perempuan yang dibenci Rivera.

Foto: Frida Kahlo, The Two Fridas” (1939) | The Artchive

Di sisi lain, pengaruh Frida Kahlo menjadi salah satu perempuan terpenting akibat karya menggoda dan konfrontatif buatannya. Terutama karya “The Two Fridas”, yang kerap dianggap sebagai salah satu pelopor bahasan politik identitas dalam seni.

Baca juga: Museum of Broken Relationship, tampilkan ratusan barang mantan

3. Yoko Ono (Jepang, 1933 - kini)

Beberapa mungkin mengenal sosok satu ini karena hubungannya dengan John Lennon, namun sejak kepopuleran kancah seni internasional pada awal 1960-an, sosok Yoko ono memberikan kontribusi besar, tak hanya untuk seni rupa, namun juga film, pertunjukan, dan musik eksperimental.

Lahir di Tokyo, Jepang, pada tahun 1933, Ono pindah bersama keluarganya ke New York pada pertengahan 1950-an, dan mengambil studi di Sarah Lawrence College. Semasa tinggal di New York, juga Tokyo, dan London, ia terlibat dalam perkembangan gerakan kesenian Fluxus dan seni konseptual.

Melansir Museum of Modern Art (MoMA), Ono seringkali menerapkan instruksi bagi audiens untuk karya-karyanya. Baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. 

Foto: Yoko Ono, “Painting to Be Stepped On” (1960-1961) | MoMA

Seperti karya “Painting to Be Stepped On” (1960-1961), Ono mengajak orang untuk menginjak selembar kanvas yang diletakkannya di lantai. Menariknya, audiens dibebaskan dalam memilih aksi menginjak yang dilakukan, baik secara fisik maupun melalui pikiran.

Pemikiran dan metode berkarya radikal Yoko Ono sebenarnya mempertanyakan pembagian antara seni dan kehidupan sehari-hari. 

Selain karya yang telah disebutkan sebelumnya, kita juga bisa melihatnya dalam “Grapefruit” (1964). Karya seni berbentuk buku itu berisi 150 instruksi yang masuk akal hingga yang tak mungkin dilakukan. Lewat karya ini, Ono juga mengajak penikmat karyanya untuk mengandalkan imajinasi mereka dalam menyelesaikan instruksi “Grapefruit”.

Foto: Yoko Ono, Cut Piece” (1964) | MoMA

Metode itu terus dikembangkan Ono, hingga akhirnya pada tahun yang sama Ia menggarap seni pertunjukan paling ikoniknya, “Cut Piece” (1964), di mana Ono mengundang audiens untuk menggunting helaian-helaian pakaian yang membalutnya. 

Hingga hari ini, Ono terus menciptakan karya yang mengaburkan batas antara seni, politik, dan masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir, Ono menggunakan media sosial untuk mengomunikasikan pesan artistik dan aktivismenya kepada khalayak yang lebih luas.