Bos Kapal Api Group PHK pegawai tanpa pesangon dan THR
Telah beredar sebuah video yang menampilkan aparat kepolisian sedang menjaga ketat kediaman pribadi salah satu bos Kapal Api Group di kawasan Dharmahusada, Surabaya, Jawa Timur pada Rabu (5/4) lalu.
Video yang langsung menjadi sorotan itu rupanya milik bos PT Agel Langgeng Soedomo Mergonoto.
PT Agel Langgeng sendiri, dikutip dari Kompas.com, merupakan salah satu unit bisnis Kapal Api Global yang memproduksi permen dan biskuit dengan merek Relaxa, Oarbits, Oat8, Hi-Cal, Bontea Green, Kapal Api Coffee Candy, Gingerbon, Espresso, dan Lovy.
Melansir CNN Indonesia, penjagaan dilakukan lantaran para buruh dari salah satu anak perusahaan Kapal Api Group itu melakukan aksi demonstrasi di depan rumah tersebut.
Mereka menuntut Soedomo untuk membayarkan uang pesangon dan THR usai memutus hubungan kerja (PHK) secara sepihak pada akhir tahun 2022 lalu.
Baca juga: Funko PHK pegawai bisnis poster film Mondo, termasuk pendirinya
Polrestabes Surabaya bantah melakukan pengamanan
Kabag OPS Polrestabes Surabaya AKBP Toni Kasmiri mengatakan pihaknya tak mendapatkan perintah dari Kapolres Kombes Pasma Royce untuk melakukan pengamanan khusus di sana.
“Tidak ada surat perintah (pengamanan) dari Kapolres. Intinya dari kami tidak ada perintah pengamanan itu,” ungkapnya, dikutip Kamis (13/4)
Wakil Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jawa Timur Nuruddin Hidayat turut mempertanyakan penjagaan yang dilakukan oleh polisi.
Pasalnya, aksi dilakukan dengan damai dan tidak mengganggu ketertiban umum dengan aksi anarkis.
“Pengamanan dilakukan karena dinilai aksi buruh mengganggu ketertiban umum. Padahal aksi dilakukan dengan tertib dan damai, sama sekali tidak ada tindakan anarkis,” ungkap Nuruddin.
Kronologi kasus PT Agel Langgeng
Menurut Nuruddin, kasus PHK ini berawal pada 2022 lalu, di mana buruh PT Agel Langgeng diliburkan selama satu pekan.
Namun, setelah libur dan kembali bekerja, mereka justru menemukan pabrik yang telah kosong tanpa mesin-mesin produksi. Dari sanalah mereka mempertanyakan kejelasan status hubungan kerja dengan perusahaan.
“Jadi, status hubungan kerja rekan-rekan buruh PT Agel Langgeng ini tidak jelas, apakah PHK atau skorsing atau seperti apa,” jelasnya.
Sebelumnya, para buruh tersebut ternyata sudah berunding dengan pihak perusahaan, namun belum sempat mencapai kesepakatan.
Oleh sebab itu, mereka menuntut Soedomo untuk meminta pembayaran upah dan THR yang menjadi hak mereka.
Walaupun menurut Nuruddin sebagian yang terdampak telah mendapatkan pesangon, tetapi jumlahnya terlalu kecil karena perusahaan menggunakan dasar Undang-Undang Cipta Kerja.
“Soal PHK erat kaitannya dengan Ciptaker. Dalam UU Ciptaker PHK karena efisiensi pesangonnya hanya sebesar 0,5 x ketentuan, tergantung masa kerja dan upah,” terangnya lagi.
Perwakilan buruh PT Agel Langgeng minta perusahaan tepati janjinya
Perwakilan buruh PT Agel Langgeng Agus Supriyanto meminta perusahaan untuk memberikan haknya mendapatkan pesangon sebagaimana tertuang dalam perjanjian kerja yang telah ditandatangani kedua pihak.
Ia mengatakan, dalam perjanjian kerjanya, besaran pesangon mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sementara pada praktiknya, perusahaan justru menggunakan Omnibus Law dan mengabaikan perjanjian, sehingga jumlahnya disepakati sepihak.
Ia kemudian menyebutkan jumlah karyawan yang menuntut pesangon beserta jumlahnya, “Kalau sesuai UU Nomor 13 total pesangon untuk 157 orang senilai Rp23 miliar. Hampir 50% kawan-kawan usianya juga menjelang pensiun.”
PT Agel Langgeng disinyalir alami kerugian
Adapun penutupan operasional perusahaan dikabarkan lantaran perusahaan mengalami kerugian, sehingga resmi berhenti beroperasi per 10 Januari 2023 lalu, sebagaimana dijelaskan oleh Kuasa Hukum PT Agel Langgeng Atmari.
Atmari mengatakan, perusahaan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 sebagai dasar hukum dalam melakukan PHK.
“Perusahaan sudah memenuhi ketentuan normatifnya, dan 122 pekerja lainnya sudah sepakat,” pungkas Atmari.
Apabila pekerja masih menganggap perusahaan tidak memberikan besaran upah secara normatif, maka perusahaan akan menempuh jalur hukum lewat mekanisme perselisihan di Disnaker Kabupaten Pasuruan.
Sebagai informasi, produk Kopi Kapal Api sendiri masih beroperasi normal dan tidak terkena imbas di bawah PT Santos Jaya Abadi.