Korea Selatan berencana naikkan batas jam kerja hingga 69 jam per minggu

Jika belakangan beberapa perusahaan mulai menerapkan jam kerja lebih efektif dengan bekerja selama empat hari per minggu, tampaknya bertolak belakang dengan apa yang direncanakan oleh Korea Selatan (Korsel).

Kebijakan minggu kerja yang lebih pendek diterapkan beberapa negara di seluruh dunia demi meningkatkan kesehatan mental pekerja dan produktivitas karyawan, tetapi tidak dengan Korsel.

Pasalnya, melansir CNN (19/3), pemerintah Korsel tengah memikirkan kembali rencananya untuk menaikkan dan memberlakukan batas jam kerjanya menjadi 69 jam per minggu.

Lantas, hal itu pun memicu reaksi di kalangan pekerja milenial dan generasi Z. Betapa tidak, batas tersebut ternyata naik dari batasan yang diterapkan saat ini yakni 52 jam.

Rupanya, pemerintah mendukung rencana itu menyusul tekanan dari kelompok bisnis yang mencari peningkatan produktivitas. Tak pelak hal itu ditentang keras generasi muda dan serikat pekerja.

Korsel negara dengan jam kerja terlama

Di sisi lain, bahkan sebelum kehadiran rencana tersebut, ternyata saat ini Korea Selatan sudah masuk ke dalam salah satu negara dengan jam kerja terlama di dunia. 

Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Korsel menempati peringkat keempat setelah Meksiko, Kosta Rika, dan Chili pada 2021.

Bahkan, melansir sumber yang sama, orang Korea Selatan bekerja rata-rata 1.915 jam pada 2021 silam dan hal tersebut jauh di atas rata-rata OECD 1.716 atau rata-rata Amerika 1.767 jam.

Tidak heran apabila kematian karena terlalu banyak bekerja (“gwarosa”) telah dan diperkirakan akan membunuh banyak warga Korsel setiap tahunnya.

Memicu meningkatnya angka kematian dan bunuh diri

Salah seorang mahasiswa, Jung Jun-sik, pun mengungkapkan bahwa ayahnya selama ini kerja berlebihan hingga tak ada batasan antara pekerjaan dan kehidupan.

Padahal, sebelumnya pada 2018, karena permintaan populer, Korsel menurunkan batas dari 68 jam seminggu menjadi 52 seperti saat ini, dan merupakan langkah yang mendapat dukungan luar biasa di Majelis Nasional.

Namun, meski batasan tersebut dipotong, kasus “gwarosa” terus menjadi berita utama.

Tak heran jika langkah itu disambut positif, karena setahun sebelum pemotongan batas jam kerja tersebut, pada 2017, ratusan orang meninggal karena terlalu banyak bekerja, menurut data pemerintah. 

Kasus “gwarosa” terus menghantui masyarakat Korsel yang rentan akan kerja lembur mematikan.

Kasus kematian karena kebanyakan bekerja ialah ketika orang yang kelelahan membayar dengan nyawa mereka melalui serangan jantung, kecelakaan industri, atau kurang tidur saat mengemudi.

Haein Shim, juru bicara kelompok feminis Haeil yang berbasis di Seoul, mengatakan pertumbuhan pesat dan kesuksesan ekonomi negara itu harus dibayar mahal dan proposal untuk memperpanjang jam kerja mencerminkan “keengganan pemerintah untuk mengakui realitas masyarakat Korea Selatan.”

Menurutnya, isolasi dan kurangnya komunitas adalah akibat dari jam kerja yang panjang dan hari yang intens. Hal tersebut tentu merugikan banyak pekerja.

Di samping kasus gwarosa, negara ini juga memiliki angka bunuh diri tertinggi di antara negara maju, menurut data Badan Pusat Statistik, jelasnya.

“Sangat penting bagi pemerintah (dan perusahaan) untuk mengatasi masalah mendesak yang sudah mempengaruhi kehidupan,” kata Shim. 

“Kebutuhan akan dukungan dan keseimbangan kehidupan kerja yang sehat tidak dapat diabaikan jika kita ingin memastikan kesejahteraan individu dengan realitas tingkat bunuh diri tertinggi di OECD.”