TFR

View Original

Supriatna, seniman replika hewan dari ban bekas, ungkap tidak punya penerus

Seorang seniman asal Kepanjen, Kabupaten Malang, bernama Supriatna kreasikan ban bekas menjadi karya seni tiga dimensi yang telah dipajang di berbagai tempat wisata tanah air.

Pertama dikabarkan KOMPAS.com (25/1), pria berusia 58 tahun itu telah menyulap limbah ban sepeda motor menjadi berbagai karya replika satwa seperti burung gagak, macan, dinosaurus, penyu, hingga buaya.

Replika hewan tiga dimensi buatan Supriatna memiliki ukuran yang beragam, ada yang kecil hingga besar dengan panjang tujuh meter, yang dibuat untuk kawasan wisata di Kalimantan Selatan.

Supriatna membuatnya dari ban sepeda motor bekas yang dipotong sesuai kebutuhan hingga direkatkan dan dibentuk sesuai komposisi yang diinginkannya.

Ia mematok harga yang bervariasi, mulai dari Rp500.000 untuk karya berukuran kecil, hingga Rp4 juta untuk replika hewan berukuran raksasa. 

Seluruhnya dibuat oleh Supriatna seorang diri, tanpa adanya tenaga bantuan dari artisan lainnya.

Karya-karya Supriatna pun telah merajalela di sejumlah wilayah, hingga kini dirinya bahkan disinyalir telah membuat lebih dari 300 karya.

Beberapa di antaranya dipamerkan di Eco Greenpark, Jatim Park, Kota Batu, Malang, di mana karya-karya Supriatna ditampilkan dalam Galeri Daur Ulang kawasan wisata tersebut. 

Baca juga: Merek fesyen asal Prancis, Lemaire, gaet seniman Indonesia Noviadi Angkasapura untuk pameran

Mulai berkreasi saat jadi pengurus tempat pengolahan sampah

Kepada KOMPAS.com, Supriatna mengaku dirinya mulai berinovasi dengan limbah ban pada 2015 lalu.

Kala itu, Ia tengah menjadi pengurus Tempat Pengolahan Sampah Reduce - Reuse - Recycle (TPS3R) di daerahnya, Kelurahan Kepanjen, Kecamatan Kepanjen.

“Waktu itu ban menumpuk. Akhirnya saya putar otak bagaimana caranya agar tumpukan sampah ban sepeda motor bekas itu bisa bermanfaat dan lebih bernilai,” tutur pria tersebut.

Pasalnya, kepada BBC Indonesia (30/5), Supriatna menyatakan bahwa Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tidak menerima ban bekas lantaran benda tersebut tidak bisa terurai.

Oleh karena itu, Supriatna memutar otaknya agar bisa menghidupkan kembali limbah tersebut, dan mulai berkreasi membuat karya tiga dimensi yakni replika hewan dari ban bekas.

“Saya mengerjakan ini, modal utamanya rasa senang saya terhadap seni,” tutur Supriatna.

Rupanya, naluri kesenian memang telah mendarah daging di keluarga Supriatna, mengingat ayahnya merupakan seorang musisi lokal dan ibunya adalah seorang pelukis.

Tolak jadikan karya sebagai bisnis, Supriatna inginkan penerus

Sejak memulai berkarya, Supriatna rajin mengunggah dokumentasi karyanya di media sosial termasuk Facebook dan terus mendapat respons yang positif. 

Kemudian, hal itu mengantarnya pada beberapa pesanan pertamanya pada 2017 silam. 

Hingga akhirnya kepada KOMPAS.com, dirinya mengatakan, “Saat ini, saya sudah tidak menjadi pengurus TPS3R, dan mata pencaharian utama saya dari replika ini.”

Lebih lanjut, kepada BBC Indonesia, Supriatna mengaku cukup kesulitan menerima pesanan dengan nilai ekonomi yang besar dari para investor, karena ia mengerjakan segalanya seorang diri. 

“Kalau untuk usaha (besar), tidak akan bisa. Kalau dari saya sendiri, nggak mampu, karena saya hanya sendiri pengrajinnya, nggak bisa,” ungkapnya.

Supriatna lanjut mengatakan, “Saya inginnya, (yang saya berikan adalah) pelatihan. Jadi, merangsang anak-anak muda, baru bisa (jadi bisnis besar).”

Di luar itu, Supriatna juga mengalami kendala di mana ia kesulitan mencari penerusnya. 

“Saya sudah banyak melatih di desa-desa. Tapi, tidak berkelanjutan. Disuruh motong ban, (anak mudanya) keringetan. Memang sulit sih, motong ban itu sulit sih, tidak mudah,” ujarnya.

Bagi Supriatna, kegetolannya mengunggah dokumentasi karya di Facebook dilakukan untuk memotivasi dibanding promosi, agar ada inovasi serupa dari generasi muda yang bisa menjadi penerusnya.