Mengarungi dunia ‘Netflix and chill’
Read in English
Netflix, sebuah perusahaan layanan streaming asal Amerika, telah menjadi begitu populer hingga namanya kerap dipakai sebagai kata kerja. Netflix and chill, yuk? Ungkapan ini pertama dikenal sekitar tahun 2014–2015, dan definisi persisnya beragam, tergantung penggunanya. Opini yang paling umum menganggap ungkapan tersebut mengandung konotasi seksual, di mana ‘Netflix and chill’ adalah versi halus dari ‘menonton film dan berhubungan seksual.’ Namun, tidak jarang ajakan untuk ‘Netflix and chill’ betul-betul sesuai dengan ungkapannya, yaitu acara berkumpul dengan teman-teman untuk menonton film dan bersantai bersama.
Lumrahnya ungkapan tersebut dipakai dalam kehidupan daring dan luring kita sehari-hari menggambarkan betapa besarnya perusahaan tersebut saat ini. Dan alasan utama Netflix menjadi begitu tersohor adalah karena layanan streaming (atau layanan over-the-top (OTT)) telah mengubah cara kita menikmati konten dengan begitu signifikan.
Dalam hal ini, kemudahan adalah kuncinya. Kini, kita dapat menonton apa yang kita inginkan kapanpun kita mau. Kita memiliki lebih banyak kontrol terkait konten apa yang kita konsumsi, dengan begitu banyak pilihan dari berbagai penyedia layanan. Sudah lewat zamannya kita menunggu satu minggu untuk menonton episode berikutnya dari acara televisi favorit; sekarang kita menonton acara televisi secara maraton.
Wilayah Asia Tenggara sendiri diperkirakan telah menghasilkan pendapatan sebesar $600 juta di sektor musik dan video berlangganan pada tahun 2019, dan diestimasi akan meledak ke angka $3 miliar pada tahun 2025. Di saat dunia sedang melawan coronavirus dan memberlakukan penguncian wilayah di berbagai tempat, kebutuhan akan konten streaming dari rumah telah melonjak di seantero Asia Tenggara. Consultancy Media Partners Asia memperkirakan bahwa pengguna layanan streaming video berbayar di Asia Tenggara akan mencapai 14.7 juta orang di akhir tahun 2020.
Di Indonesia, pendapatan di sektor streaming video diproyeksikan akan mencapai $140 juta pada tahun 2020. Saat ini, angka penetrasi pengguna layanan adalah 4.7% dan diperkirakan akan mencapai 9% pada tahun 2025.
Pandemi COVID-19 yang masih berlanjut telah memaksa masyarakat untuk mencari hiburan yang dapat dinikmati di rumah, yang mendorong kenaikan jumlah pengguna yang signifikan di berbagai media penyedia jasa streaming. Bahkan, di awal pandemi, berbagai penyedia layanan streaming di Indonesia menawarkan sejumlah layanan gratis selama periode tertentu demi mengajak masyarakat untuk tetap di rumah. GoPlay, misalnya, menawarkan akses gratis pada tanggal 23–29 Maret untuk seluruh pengguna di Indonesia.
Sementara itu, Vidio memberikan akses gratis untuk berbagai film Indonesia, seperti Gundala, The Raid, dan Fiksi, pada 4–30 April 2020 hanya dengan mengunduh aplikasi, melakukan registrasi, dan memakai kode voucher.
Konsumen di Indonesia dihadapkan dengan berbagai pilihan lokal, regional, dan internasional. Para pemain global dan regional di antaranya adalah Netflix, Viu, HBO Go, iFlix, dan, yang terbaru, Disney+. Para pemain lokal di antaranya GoPlay dan Vidio. Para penyedia layanan streaming ini menawarkan beragam pilihan produk dengan harga yang beragam pula.
Sebagai contoh, Netflix menyediakan berbagai film dan serial televisi internasional, lokal, dan regional untuk segmen yang berbeda-beda, serta telah bermitra dengan beberapa rumah produksi lokal, seperti Falcon Pictures dan Visinema Pictures, untuk menayangkan sejumlah film Indonesia secara eksklusif.
Viu fokus pada drama seri Asia dan film orisinal, sementara Vidio menyiarkan banyak program olah raga dan streaming stasiun televisi nasional. Anak baru di dunia streaming Indonesia, Disney+, menawarkan berbagai konten hasil produksi studio-studio di bawah payung Walt Disney Company dan masih banyak lagi.
Yang unik dari pasar Indonesia adalah kendati pertumbuhan industri layanan streaming terbilang stabil dan menjanjikan, pasarnya sendiri masih belum matang. Pasar layanan OTT di Indonesia masih belum terjamah secara luas, yang artinya masih banyak kesempatan bagi berbagai penyedia layanan untuk berkembang. Belum lagi, konsep layanan OTT masih kurang familiar bagi banyak orang. Karena itu, perusahaan layanan OTT harus menerapkan strategi penetrasi yang berbeda dari yang dipakai di pasar yang lebih matang.
Indonesia dan Asia Tenggara secara umum adalah wilayah dengan jumlah pengguna telepon selular yang tinggi. Karena, itu meluncurkan paket ponsel yang lebih terjangkau dan mengadaptasi produk agar cocok dipakai di ponsel pintar kelas bawah sangat penting dalam upaya menjangkau konsumen Indonesia.
Netflix, misalnya, mengeluarkan paket khusus perangkat ponsel seharga Rp49.000,00 ($3.50) per bulan, yang belum termasuk kuota data. Ini merupakan terobosan baru bagi Netflix yang selama ini begitu teguh mempertahankan harga paketnya di negara-negara Barat.
Di samping itu, Netflix dikabarkan berencana menambah opsi pembayaran di negara-negara dengan penetrasi kartu kredit atau debit yang rendah. Contohnya, di Filipina, pelanggan dapat membayar layanan Netflix melalui tagihan ponsel atau kartu pra-bayar yang dapat ditemukan di toko-toko swalayan mini.
Sementara itu, GoPlay memiliki keuntungan karena tergabung dalam ekosistem Gojek, sehingga aplikasi tersebut langsung dapat diakses oleh lebih dari 125 juta pengguna Gojek. Hal ini juga memungkinkan GoPlay untuk melakukan promosi silang atau bundle dengan layanan lain di bawah Gojek, seperti GoFood atau GoTix. Disney+ menjalankan program kemitraan strategis dengan Telkomsel, yang memungkinkan Disney+ menawarkan paket yang sudah menggabungkan kuota data dan konten. Disney+ memahami bahwa pengguna layanan OTT di Indonesia kerap dibatasi kuota data, dan paket yang baru diluncurkan ini adalah solusinya.
Menyesuaikan diri dengan selera lokal juga bisa berarti melokalisasi konten yang ditayangkan. Salah satu strateginya adalah dengan menambah konten-konten lokal ke dalam katalog, yang sudah dilakukan oleh hampir semua penyedia jasa streaming.
Langkah lainnya adalah merilis konten-konten yang dibuat khusus untuk pasar Indonesia. GoPlay baru-baru ini mengumumkan lima konten orisinal berupa serial televisi dan reality show baru yang akan segera tayang. Pada awal tahun ini, GoPlay juga meluncurkan adaptasi lokal dari serial televisi Amerika ‘Gossip Girl.’
Selagi pandemi global ini terus berlangsung dan masa depan bioskop masih belum pasti, layanan streaming menjadi salah satu pilihan utama masyarakat dalam menikmati konten. Para pembuat film pun telah menyadari hal ini. Dalam beberapa bulan terakhir, kita telah menyaksikan beberapa film memilih untuk rilis perdana di media streaming. Salah satu yang paling banyak diperbincangkan adalah ‘Mulan’ yang dirilis pada September 2020 di Disney+.
Para penggiat film Indonesia pun mulai melakukan hal yang sama; film ‘Guru Guru Gokil’ dari BASE Entertainment dirilis secara eksklusif di Netflix pada Agustus 2020. Disney+ juga telah mengumumkan setidaknya tujuh film Indonesia yang akan rilis secara eksklusif di Disney+, termasuk ‘Warkop DKI Reborn 4.’
Tentunya, kurang bijak bila kita memandang layanan OTT hanya sebagai pengganti bioskop. Layanan OTT menawarkan pengalaman yang berbeda bagi para pembuat film. Layanan-layanan ini lebih terbuka untuk berbagai jenis konten dengan aturan yang lebih longgar, yang memberi para pembuat film kebebasan dan ruang gerak yang tidak ditemukan di bioskop atau teater film.
Shanty Harmayn, Produser film ‘Guru Guru Gokil,’ memahami pentingnya media OTT dalam menjangkau konsumen: “Khususnya untuk streaming platform internasional, karena dapat mengakses pasar yang lebih luas secara cukup cepat. Sifatnya ‘immediate’ karena tersedia secara ‘on demand’.” Tantangannya bagi penggiat film? “Kompetitif karena banyak sekali pilihan film lain yang dapat ditonton,” ujar Shanty.
Pada akhirnya, Shanty cukup yakin bahwa media OTT dan teater film atau bioskop dapat berdiri berdampingan, “Keberadaan OTT dan bioskop yang bersandingan itu kombinasi terbaik untuk perkembangan industri film Indonesia,” tambahnya.
Layanan streaming memang sudah mengalami pertumbuhan yang stabil sejak lama, namun pandemi yang masih berlanjut tentu mengakselerasi prosesnya. Media tradisional seperti televisi sudah mengalami penurunan popularitas di segmen usia 18–34, dan layanan streaming menemukan kesempatan di sana. Berbagai layanan OTT ini tidak ditujukan untuk menggantikan bioskop atau media tradisional, tetapi memberikan opsi lain yang memenuhi kebutuhan konsumen yang berbeda.
Industri layanan OTT di Indonesia memiliki potensi yang besar, namun konsumen tetap akan memilih pilihan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Untungnya, pasar Indonesia sangat beragam, sehingga para pemain di industri ini dapat terus berkembang walaupun dihadapkan dengan persaingan yang semakin ketat.