Kenyataan pahit dalam menjalankan start-up

Untitled-2-01.JPG

Keluar dari Harvard, mendirikan start-up teknologi, valuasi miliaran dolar, dan kemungkinan menjadi perusahaan terbuka: Terdengar tidak asing?

Romantisasi start-up teknologi berawal dari Bill Gates dan Microsoft. Gates keluar dari Harvard. Begitu pula dengan Mark Zuckerberg. Kisah Zucrkeberg bahkan diadaptasi ke film layar lebar. Di tengah lautan miliarder yang tidak tamat universitas, ada pendiri Apple, Steve Jobs, dan pendiri Zara, Amancio Ortega.

Menjadi miliarder tanpa menyelesaikan sekolah adalah pretasi besar yang menarik perhatian media. Boleh dikata, nasib berpihak kepada mereka meskipun peluangnya kecil. Kisah itu biasanya diikuti dengan berhenti dari pekerjaan tetap, tidur di kantor, dan mempertaruhkan seluruh tabungan ke start-up.

Masalahnya, apabila pendiri start-up sudah bisa tidur di kantor dan berhenti dari pekerjaan tetap mereka, itu tandanya start-up mereka sudah disuntik modal.

Investor pribadi, modal ventura, dan program inkubasi adalah jenis investasi yang sering didekati oleh start-up. Investor pribadi atau angel investor adalah orang kaya yang tertarik untuk membiayai perusahaan dari kantong sendiri.

Modal ventura adalah perusahaan pembiayaan yang menyuntik dana dalam jumlah besar ke start-up. Dana modal ventura berasal dari investor yang menginvestasikan dana mereka untuk dikelola oleh modal ventura. Singkatnya, modal ventura mengelola aset investor yang disuntik ke start-up.

Program inkubasi adalah program pendampingan start-up. Sebagai gantinya, start-up memberikan porsi kecil kepemilikan. Program tersebut juga menawarkan pembiayaan kepada start-up.

Ketiga metode tersebut berbeda satu sama lain, tetapi mereka miliki satu kesamaan, yaitu akses.

Berhubungan dengan investor akan lebih gampang ketika pendiri start-up memiliki akses. Jika Anda adalah investor, menakutkan bukan apabila menanam modal ke perusahaan milik orang yang tidak Anda kenal? Referensi dari teman berperan sebagai konfirmasi bahwa perusahaan itu nyata.

Setelah itu, investor akan menilai latar belakang pendiri start-up dari sisi pendidikan, pendukung, dan pengalaman kerja.

Kebanyakan pendiri start-up di Indonesia adalah tamatan luar negeri. Salah satu pendiri Go-jek, Nadiem Makarim yang saat ini menjabat sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan, adalah tamatan Harvard. Semua pendiri Traveloka tamatan universitas Ivy League (akademi elit).

Hal ini bukan kebetulan belaka. Sebagian besar pendiri start-up adalah jebolan Ivy League atau keluar dari Ivy League. Pendidikan memang tidak menjamin kesuksesan, tetapi menempuh pendidikan di sekolah bagus memberi kesempatan untuk membangun jaringan yang bisa berguna di kemudian hari.

Jadikan pendidikan sebagai batu loncatan. Banyak ide bagus lahir ketika para pendiri perusahaan sedang menempuh pendidikan tinggi. Snapchat adalah salah satunya. Evan Spiegel menciptakan Snapchat ketika sedang kuliah di Stanford University. Dia mengajak dua teman sekelasnya, Bobby Murphy dan Reggie Brown, untuk bergabung di Snapchat.

Ide hanyalah puncak dari gunung es. Ide bagus tidak berarti apa-apa tanpa eksekusi yang baik. Memulai sesuatu justru adalah hal yang paling gampang. Yang paling sulit adalah menjalankan dan mempertahankan arus kas perusahaan.

Di sinilah pengalaman kerja akan membantu. Pada awal mula berdirinya start-up, pendiri harus mengurus segala hal, mulai dari keuangan hingga administrasi dan surat-surat. Karena itu, muncul istilah ‘chief everything officer.’

Lalu, seiring berkembangnya start-up, pendiri harus mulai menerapkan prosedur dan peraturan. Kemampuan seorang pendiri sebagai pemimpin akan diuji di tahap ini.

Tentu saja langsung menjadi CEO setelah tamat kuliah itu keren. Tetapi, pernah merasakan menjadi karyawan dan bekerja dalam sebuah kelompok adalah pelajaran yang sangat berharga untuk pendiri start-up.

Tempat kerja adalah awal yang bagus untuk mencari karyawan yang menjajikan. Start-up tidak akan maju jika tidak didorong oleh orang-orang yang tepat.

Gaji dari pekerjaan tetap juga bisa digunakan untuk membiayai pengembangan produk. Nyatanya, tidak semua start-up langsung mendapatkan pendanaan dan tidak semua pendiri rela memberikan saham perusahaan dalam jumlah besar ke investor.

Dalam industri fesyen dan kecantikan, pemilik merek harus memiliki contoh barang sebelum bertemu investor. Lebih baik lagi jika merek tersebut sudah mencatatkan penjualan.

Pendiri Glossier, Emily Weiss, menjalankan situsnya, Into The Gloss, ketika ia sedang bekerja sebagai asisten fesyen di majalah Vogue sepuluh tahun yang lalu. Ide untuk membuat merek kecantikan muncul di tahun 2014. Saat itu, Weiss sudah bisa memanfaatkan jumlah pembaca situsnya untuk menarik minat investor dan menjual produk Glossier.

Gagasan berhenti dari pekerjaan tetap demi membangun start-up hanya bisa dilakukan oleh segelintir start-up yang sudah dibiayai dan pendiri yang memiliki jaminan dari orang tua atau pasangan mereka.

Bagi para pendiri start-up yang sudah berkeluarga, berhenti dari pekerjaan tetap dan mempertaruhkan seluruh tabungan ke usaha baru merupakan keputusan yang tidak masuk akal. Selalu ada kemungkinan sebuah usaha bisa gagal seberapapun besarnya keyakinan pendiri terhadap idenya. Mengacu pada prinsip dasar investasi, ada risiko besar di balik untung yang besar.

Untuk itu, sebaiknya pendiri start-up tetap berpegang kepada pekerjaan tetap sampai start-up mereka sudah menghasilkan pemasukan. Daya tawar pendiri terhadap investor juga akan lebih besar jika start-up sudah menghasilkan uang.

Kenyataan pahit yang jarang diungkap dari start-up adalah hak istimewa yang seringkali tidak disadari. Start-up dengan ide konyol saja bisa mendapatkan pembiayaan. Aplikasi Yo! yang hanya bisa mengirim kata ‘Yo!’ ke kontak pengguna di ponsel mendapatkan investasi sebesar $1 miliar. TechCrunch mengadakan kuis ‘App or Crap’ di mana peserta menebak apakah ide aplikasi yang disebut nyata atau tidak.

Disruptif dan pembawa perubahan adalah terminologi yang terlalu sering digunakan oleh start-up. Istilah tersebut semakin sering muncul setelah Facebook mengakuisisi WhatsApp sebesar $19 miliyar walaupun WhatsApp belum menghasilkan pemasukan sama sekali. Akuisisi itu memicu munculnya ide start-up konyol dengan valuasi yang berlebihan.

Acap kali, ide sebuah start-up diambil dari usaha tradisional yang dibumbui oleh (sedikit) sentuhan teknologi. Menambahkan teknologi entah mengapa selalu memberikan valuasi yang lebih tinggi. Kasus WeWork dan etikanya yang dipertanyakan, contohnya.

Adam Neumann, pendiri WeWork, menjual mimpi mengubah dunia kepada SoftBank dan investor lain dengan menyatakan bahwa perusahaannya adalah perusahaan teknologi. Padahal, WeWork sejatinya adalah perusahaan properti. Satu-satunya teknologi yang digunakan adalah situs dan aplikasi untuk pemesanan ruang kerja.

Sayangnya, Neumann berhasil hengkang dari kesepakatan kerja dan mengantongi $1.7 miliar - SoftBank menarik kembali kesepakatannya dari WeWork sebulan lalu - dari kekacauan WeWork. Dia bahkan meyakinkan investor untuk membeli nama ‘We’ darinya.

Jika digunakan dengan benar, hak istimewa bisa mengubah dunia menjadi lebih baik. Para pendiri start-up bisa membuat dunia lebih baik kalau start-up mereka mengutamakan pertumbuhan jangka panjang, tanggung jawab sosial, serta kesejahteraan. Waktu yang dibutuhkan untuk mengubah dunia menjadi lebih baik tidak singkat, dan hal ini harus lebih sering ditekankan lagi.