Perusahaan, tokoh publik menuai kritik atas aktivisme dangkal Black Lives Matter

shutterstock_1747486430.jpg

Ketika seluruh dunia bersatu untuk mendukung gerakan Black Lives Matter (BLM) di media sosial, sejumlah perusahaan dan tokoh publik malah menuai kritik keras atas perlakuan mereka terhadap orang kulit hitam.

samantha-marie-ware-says.png

Lea Michele kehilangan sponsor setelah lawan mainnya di Glee, Samantha Ware, mengungkap perlakuan buruk Michele melalui Twitter. Michele awalnya menyuarakan dukungan kepada George Floyd dan gerakan BLM. Ware pun membalas, “Ingat nggak saat kamu bikin penampilan pertamaku di televisi serasa di neraka? Karena aku tidak akan lupa” dengan huruf kapital.

Lawan main Michele di Glee lainnya, Alex Newell dan Amber Riley, mengamini pernyataan Ware. Riley bahkan mengunggah GIF foto dirinya sedang meminum teh. Nama Michele langsung muncul di trending topic Twitter.

Gerakan BLM menyingkap kemunafikan yang terjadi di industri fesyen dan kecantikan. Gerakan ini juga mengangkat kembali pembahasaan tentang keragaman di industri.

Tak lama setelah konglomerat kecantikan L’Oréal mengunggah “speaking out is worth it (bersuara itu sepadan)” di Instagram, model transgender berkulit hitam Munroe Bergdorf membeberkan kemunafikan L’Oréal terhadap golongan tertentu.

L’Oréal memecat Bergdorf dari iklan kosmetik True Match pada tahun 2017 karena Bergdorf melalui Facebook terang-terangan mengungkapkan dirinya anti terhadap rasisme dan supremasi kulit putih. L’Oréal belum merespon pernyataan Bergdorf sampai sekarang.

Kemudiaan, ada Louis Vuitton yang juga diterpa kritikan. Dua hari sebelum unjuk rasa George Floyd, Louis Vuitton mempromosikan tas terbarunya, LV Pont 9, lewat kampanye influencer.

Kampanye tersebut menuai kritik karena tidak disesuaikan dengan pesan gerakan BLM dan tidak mendukung gerakan BLM sama sekali. Padahal, Louis Vuitton mampu menyumbangkan €200 juta untuk perbaikan katedral Notre-Dame dan mengerahkan pabriknya untuk membuat cairan pembersih tangan.

Screenshot 2020-06-05 at 18.20.17.png

Virgil Abloh, perancang busana pria untuk Louis Vuitton, menuai kecaman setelah mengkritik penjarahan toko Louis Vuitton di Portland. Dia juga dikritik karena hanya menyumbang $50 untuk dana jaminan pengunjuk rasa. Pasalnya, merek milik Abloh, Off-White, menjual barang-barang berharga ratusan dolar lebih.

Lewat pernyataan panjang di Instagram, Abloh mengklarifikasi pernyataan awalnya dan mengumumkan sumbangan sebesar $20.500 untuk membantu orang-orang yang ikut berunjuk rasa.

Celine, merek fesyen milik LVMH, mengunggah foto berlatar belakang hitam yang bertuliskan, “Celine menolak semua bentuk diskriminasi, penindasan, dan rasisme. Tidak ada hari esok tanpa kesetaraan untuk semuanya.”

Penata busana Hollywood Jason Bolden mengomentari unggahan tersebut. Ia menyatakan bahwa Celine tidak pernah mendandani artis kulit hitam dengan pakaiannya kecuali artis tersebut memiliki penata busana kulit putih.

Carine Roitfeld, mantan pemimpin redaksi Vogue Paris, mengunggah foto dirinya memeluk model kulit hitam Anok Yai untuk menunjukkan dukungannya terhadap gerakan BLM. Roitfeld menulis “Anok bukan perempuan kulit hitam, dia temanku” di kolom komentar.

Meskipun foto tersebut sudah dihapus, komentar Roitfeld menuai banyak kecaman karena tidak mengakui warna kulit hitam dan ras seseorang.

Kendall Jenner, yang sudah berulang kali menyalahgunakan budaya kulit hitam, juga tak luput dari kritikan. Jenner dikritik karena hanya mengucapkan dukungan lewat tantangan Instagram berupa rantai kata. Sebuah komentar di akun Diet Prada menuliskan, “Bayangin, menyebut gerakan BLM hanya karena seseorang menantang Anda untuk melakukannya.”

Unjuk rasa ini juga memicu percakapan di Indonesia. Banyak orang Indonesia mulai memerhatikan apa yang terjadi di Papua. Seperti komunitas kulit hitam, orang Papua juga terpinggirkan dan seringkali dipanggil “monyet.”

Tagar #PapuanLivesMatter digunakan bersama dengan tagar #BlackLivesMatter. Beberapa pihak mengritik orang-orang yang mendukung gerakan BLM tetapi tidak pernah bersuara mengenai Papua.

Yang paling bermasalah dari semua ini adalah pelaku pembunuhan George Floyd dikenakan pasal pembunuhan tingkat dua hanya setelah terjadi banyak kematian akibat kekerasan polisi, kerusuhan, penjarahan, dan demonstrasi di seluruh dunia. Penegak hukum awalnya mengenakan pasal pembunuhan tingkat tiga terhadap Derek Chauvin.

Masyarakat Indonesia juga mulai mempertanyakan masalah-masalah yang berkembang di Papua dan isu seputar standar kecantikan dan warna kulit setelah terjadi unjuk rasa besar-besaran di seluruh dunia.

Pertanyaannya adalah, ketika demonstrasi berhenti, apakah perjuangan untuk memberantas penindasan sistematis dan diskriminasi ras akan berhenti juga?