Apakah majalah fesyen masih relevan bagi Gen Z?
Read in English
The Finery Report (TFR) mengadakan sebuah survei kecil mengenai sudut pandang Gen Z terhadap majalah fesyen dan sejauh mana mereka memahami majalah-majalah tersebut. Meski deretan majalah tersedia di toko-toko buku, tidak ada satu pun responden yang membaca majalah fesyen Indonesia. Hanya 1 dari 20 responden yang mengikuti majalah Gadis di Instagram.
“Memangnya kita punya [majalah fesyen Indonesia]?” tanya seorang responden. “Saya mengikuti Nylon dan Harper’s Bazaar,” kata seorang responden berusia 17 tahun. Namun, ketika ditanya lebih jauh apakah dia mengikuti Harper’s Bazaar Indonesia, dia menyatakan tidak tahu bahwa Harper’s Bazaar punya edisi Indonesia. Mengenai Nylon, maksudnya adalah Nylon edisi Korea Selatan.
Tiga responden mengikuti lebih dari sepuluh majalah fesyen di Instagram, tapi semuanya majalah fesyen luar negeri. Vogue adalah salah satu majalah yang namanya paling sering disebut.
Majalah fesyen diterbitkan terutama untuk memberi para pembacanya tips mengenai cara memperbaiki gaya mereka, menyoroti tren terbaru, dan sesekali memberi tips mengenai cara meningkatkan karir. Di bagian saran, majalah fesyen menampilkan foto model dalam busana pilihan bagi pria maupun wanita untuk menarik perhatian pembaca dan memberi mereka inspirasi.
Jo Dingemans dalam bukunya menulis, “Beberapa majalah fesyen menawarkan pembaca panduan belanja yang kreatif, menunjukkan kepada pembaca pakaian apa yang tersedia dan berbagai cara mengenakannya. Majalah-majalah lainnya mengambil pendekatan yang lebih artistik dan menciptakan gaya hidup di seputar pakaian.”
Menurut para responden, majalah fesyen masih memberi inspirasi gaya, namun mereka lebih memilih platform daring. Beberapa responden masih membeli majalah dalam bentuk fisik, tapi mereka sangat ketat dalam memilih majalah untuk dibeli dan waktu pembeliannya.
“Saya suka majalah Jepang ViVi. Saya selalu beli tiga sampai empat majalah ketika bepergian,” ucap Alicia, responden berusia 16 tahun. “Saya membeli Nylon Korea Selatan kalau pergi ke sana,” ujar Charlene, responden berumur 17 tahun.
Berkat meningkatnya ketertarikan konsumen kepada platform digital, merek-merek mewah seperti Gucci dan Louis Vuitton telah meningkatkan pengeluaran iklan daring sebesar 63% sejak tahun 2013, menurut Wall Street Journal. Pada periode yang sama, merek-merek mewah kelas atas ini masih menghabiskan sekitar 73% anggaran mereka untuk iklan cetak, namun pengeluaran untuk majalah turun 8%. (Carmen Busquets)
Majalah fesyen semakin menjauh dari pembelian iklan tradisional, jumlah merek yang membayar sejumlah besar uang untuk ditampilkan di majalah turun, dan rasio iklan terhadap konten editorial semakin kecil karena konten daring semakin bertambah.
Gen Z, seperti responden TFR Levya Samantha, berujar, “Majalah adalah industri yang sekarat. Orang-orang lebih memilih platform daring.” Responden lainnya, Kay Jasmin, mengaku, “Sudah bertahun-tahun tidak membeli [majalah fesyen], sejujurnya saya lebih fokus pada sumber daring.”
Publikasi cetak sepertinya tidak terlalu diminati oleh Gen Z. Seorang responden, Aimee Garibaldi, mengaku bahwa ketertarikannya kepada majalah cetak sudah turun, tapi dia semakin tertarik pada majalah daring. “[Majalah daring adalah] Platform yang bagus untuk mencari ide tentang penataan gaya, informasi tren saat ini, serta budaya pop dan dunia kontemporer,” ungkapnya.
Menurut para responden, apa yang kurang dari publikasi fesyen saat ini adalah artikel yang memperkaya dan mendukung, yang bisa membantu baik wanita maupun pria. Hal ini disebabkan oleh karakteristik majalah cetak: mereka menyensor dan lebih mementingkan iklan daripada mengangkat isu-isu penting.
“Majalah cetak mungkin menawarkan sudut pandang yang unik mengenai berbagai aspek fesyen, tapi mereka juga terkenal getol mempromosikan citra tubuh negatif dan menganggap remeh isu-isu sosial,” ucap Taran Narula, salah satu responden.
Beberapa responden juga mengungkapkan keresahan mereka mengenai perlunya pemotretan editorial high fashion. Fesyen memang menjual fantasi melalui imaji berkilauan, namun responden juga bertanya-tanya apakah target pembaca mengerti pesannya.
“Masyarakat berusia paruh baya yang punya daya beli tinggi tidak mengerti konsep editorial. Mereka membeli pakaian desainer karena teman-teman mereka merekomendasikannya atau mereka diundang ke acara fesyen,” ungkap seorang sumber yang dekat dengan TFR.
Sepertinya majalah cetak masih mengikuti cara-cara lama, yaitu ingin menghibur pembaca, karena, dalam beberapa hal, itulah yang diinginkan pembaca. Mereka ingin sesuatu yang selalu disajikan karena hal tersebut memberi mereka rasa aman.
Banyak orang akan berkata bahwa isi majalah fesyen dangkal, ditujukan untuk menghibur, sementara yang lainnya mungkin memberi informasi yang mengedukasi. “Kebanyakan untuk tujuan hiburan, tapi masih ada beberapa yang mengedukasi,” ucap seorang responden, Cattleya Chandra.
“Vogue dan Vanity Fair mungkin lebih mengedukasi, sementara Marie Claire atau Cosmopolitan lebih menghibur,” jelas Levya.
“Saya lebih memilih yang mengedukasi, tapi beberapa juga sangat menghibur, jadi mungkin campuran antara keduanya, tapi saya lebih memilih yang pertama,” tutur Kay.
Salah satu contoh adalah Vestoj, majalah fesyen daring yang benar-benar menyelidiki, mengkritik, dan mengungkap tidak hanya tren mendasar dan seluk beluk industri fesyen, namun juga bagaimana industri fesyen beroperasi dalam skala global dan individual. Tidak seperti Vogue atau GQ, Vestoj menawarkan jurnalisme fesyen murni, tanpa iklan, yang membuatnya cukup padat dan penuh kata, namun ide yang diajukan sangat menarik.
Akan tetapi, dari sudut pandang kreatif, gagasan bahwa fesyen - yang bertumpu pada modal - adalah pemersatu tampak terlalu idealis, mengingat fesyen justru seringkali mengotak-ngotakkan orang berdasarkan kelas, gender, dan budaya.
Majalah seperti Vestoj teguh dengan pandangan bahwa kita tidak perlu menjadi anti-fesyen untuk menjadi kritis dan mempertanyakan bagaimana industri fesyen beroperasi di dalam dunia kapitalis, dan bahwa menjadi kritis mengenai bagaimana industri fesyen beroperasi di dalam dunia yang serba kapitalis tidak berarti bahwa kita tidak boleh merayakan fenomena budayanya.
Namun, menerapkan konsep majalah seperti Vestoj di Indonesia mungkin akan menjadi suatu tantangan. Ada ancaman lain yang dihadapi majalah fesyen di Indonesia: rendahnya tingkat literasi dan minat membaca.
Kebalikan dari pandangan mereka mengenai majalah fesyen, semua responden mengikuti akun media sosial yang mempublikasikan kontroversi di dalam industri fesyen, seperti Diet Prada dan Influencers in The Wild (@influencersinthewild). Akun media sosial yang menyajikan konten singkat di media sosial lebih disukai seiring dengan bergesernya konsumsi media ke ranah daring. Popularitas kanal-kanal komentar mengenai fesyen di YouTube, seperti FH TV (@fuckhopsin) dan The Fashion Archive, juga semakin meningkat.
Media sosial memberi pembaca kemudahan untuk mengklik dan membaca, kapanpun dan di manapun. Ada kekuatan dalam informasi instan. Tren fesyen terbaru dan hal-hal lain dapat dengan mudah ditemukan di Instagram, Facebook, Twitter, dan laman fesyen independen. Cara masyarakat mengonsumsi informasi kini sudah berubah dan menjadi lebih demokratis. Hal ini diciptakan untuk menarik dan menyasar pemirsa yang lebih beragam.
Dalam hal Gen Z, generasi yang melek, penting bagi majalah fesyen untuk menyadari bahwa kebanyakan generasi ini adalah pendukung inklusivitas dan keberagaman. Oleh karena itu, sisi akademis tidak bisa dipisahkan dari fesyen, karena bagi mereka, meminta industri untuk bertanggung jawab adalah hal penting.
Inilah yang diinginkan dan dibutuhkan oleh para responden; publikasi fesyen seharusnya tidak hanya memenuhi daya tarik estetika, tetapi juga memerhatikan sisi akademis. Menjembatani kesenjangan antara akademis, politik, seni, dan fesyen adalah sesuatu yang mampu dilakukan majalah.
Meski topik ini mungkin bukan hal yang baru dan telah diadopsi dari lingkungan akademi, menyoroti dan melihatnya dari sudut pandang teoritis mungkin akan menantang publikasi fesyen independen lainnya untuk mempertimbangkan kembali pendekatan mereka. Hal ini bisa jadi akan bepengaruh besar, mengingat posisi media fesyen sama dengan atau lebih tinggi dari merek-merek fesyen.
Mengakomodasi semua pihak bukan perkara mudah. Karenanya, media harus memiliki nada yang konsisten dan unik serta memilih jenis nada apa yang paling cocok untuk platform digital. Demokratisasi terus berjalan di dunia fesyen, dan media semakin diharapkan untuk mempertimbangkan relatabilitas dan mengambil nada yang lebih santai.
Saat ini, penekanan pada percakapan dan kemudahan untuk dimengerti sangat vital. Inilah mengapa representasi zeitgeist menjadi kunci, karena merupakan esensi dari masalah-masalah yang terjadi saat ini.
Melalui hal inilah hubungan langsung dibentuk. Dalam sistem digital ini, pembaca dapat memberi respon positif maupun negatif, yang lalu mendorong atau berdampak negatif terhadap bisnis dan mengubah pandangan atas merek dan media. Ketika strukturnya dibalik, pembacalah yang kini memberi tahu merek dan media apa yang mereka sukai dan inginkan.