Mengenal perempuan perupa Indonesia dan persoalannya dari masa ke masa
Read in English
Berapa banyak perempuan perupa Indonesia yang kita kenal? Bagaimana peran perempuan perupa dalam seni rupa Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut acap kali muncul di benak kita. Dari masa ke masa, sejumlah perempuan perupa telah mencetak berbagai pencapaian, baik dari sisi artistik dan gagasan maupun pengaruh terhadap perkembangan kebudayaan di sekitarnya.
Pameran “Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak” sedang berlangsung di Galeri Nasional. Di sana, kita dapat menyaksikan keragaman karya 51 perupa, termasuk sejumlah perempuan perupa Indonesia. Sebelumnya, mari kita telaah kembali posisi perempuan perupa dalam sejarah seni rupa.
Kurator pameran “Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak”, Grace Samboh, menuturkan bahwa persoalan perempuan perupa dalam sejarah seni rupa dapat dipahami dengan menghapus kata “perupa” darinya. Dengan begitu, kita sadar bahwa kita membicarakan perkara “perempuan” secara utuh, yang berada dalam tatanan sosial yang sayangnya masih patriarkis.
Mengutip tulisan Linda Nochlin, “Why There Have Been No Great Women Artist”, sudut pandang pria kulit putih telah secara tidak sadar telah tertanam dan diterima sebagai sudut pandang sejarawan seni. Hal tersebut tidak berdasarkan alasan moral dan etika atau karena bersifat elitis, tapi murni karena alasan intelektual.
Kerap terjadi pengaburan peran perempuan dalam seni rupa sebagai pencipta karya maupun pelaku seni secara keseluruhan. Sudut pandang tersebut juga tertanam dalam penggambaran perempuan dalam beberapa karya kanon. Male Gaze yang selama ini kita kenal dalam sejarah seni rupa dunia adalah cara pandang yang mengobjektifikasi dan merendahkan perempuan. Pandangan tersebut tertanam dalam pencatatan sejarah arus utama seni rupa dunia.
Sejarah seni rupa Indonesia telah mencatat sejumlah nama perempuan perupa yang turut berperan dalam perkembangannya, meski secara kuantitas jauh lebih kecil dibanding lelaki perupa. Tulisan Alia Swastika, “Membaca Praktik Negosiasi Seniman Perempuan dan Politik Gender Orde Baru” (2019), membedah permasalahan tersebut dan hubungannya dengan tatanan sosial dan politik yang bekerja di Indonesia.
Pencatatan sejarah seni rupa yang lebih adil bagi perempuan dan kelompok terpinggir lainnya dapat diwujudkan dengan penggunaan sudut pandang feminis, tutur Alia. Pandangan tersebut dapat membangun kesadaran untuk mengkritisi sejarah seni arus utama yang bersifat kanon dan berpihak pada dominasi maskulin.
Selama periode 1980-an di Indonesia, cukup banyak pameran yang melibatkan perempuan. Sayangnya, masih sedikit pencatatan tentangnya dalam sejarah seni, apalagi menjadi bagian dari kanon, karena dianggap sekedar sebagai produk komersial. Mengutip kritikus seni rupa Sanento Yuliman, nyatanya permasalahan bagi perempuan perupa di Indonesia bukanlah soal kecanggihan estetik, kreativitas, atau kemampuan. Titik permasalahannya adalah soal kesempatan dan keterbukaan akses dan hambatan sosial. (Alia Swastika, 2019)
Bila kita kembali menelisik ketidakadilan yang dialami perempuan dalam sejarah sosial politik Indonesia, kita bisa melihat bagaimana usaha depolitisasi dan domestifikasi kebijakan pada masa Orde Baru berperan penting dalam membangun paradigma tersebut.
Perempuan dianggap sebagai manusia yang tidak produktif, yang bergantung pada pendapatan suami dan melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Program “pembinaan”, adanya PKK, memperkuat hal tersebut. Alia Swastika mengutip catatan Julia Suryakusuma yang menyatakan bahwa PKK menjadi pengantar adanya “priyayisasi” dan “ibuisme”.
Dalam ranah kekaryaan seni rupa pun, perempuan kerap dianggap menjalankan seni seolah hanya sebagai hobi, yang dikerjakan di antara aktivitas-aktivitas lain dalam posisi identitas mereka yang lain. Gagasan dan pemikiran perempuan dilebur sebagai bagian dari masyarakat, yang sudah dengan sendirinya patriarkis.
Karenanya, kerja-kerja perempuan perupa kerap dikaitkan dengan warisan tradisi seperti batik, tenun, dan keramik; melupakan adanya representasi pemikiran di dalamnya. Sementara itu, ketika kita melihat sejara jeli fakta di lapangan, sejumlah perempuan perupa memiliki andil besar dalam sejarah seni rupa.
Mari mengenal sejumlah perempuan perupa Indonesia dari masa ke masa yang karyanya sedang dipamerkan dalam pameran “Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak”.
Cinanti Astria Johansjah (l. 1985)
Cinanti Astria Johansjah memperlakukan karya seni sebagai medium untuk mengkaji, memikirkan kembali, dan menata fragmen-fragmen kehidupan. Akrab dipanggil Keni, alumnus Desain Grafis Institut Teknologi Bandung ini sering menampilkan potret dirinya sebagai seorang perempuan beserta berbagai sosok binatang. Melalui rentang karyanya, ia mempertanyakan bahkan membaurkan ragam sifat dan sikap hidup manusia melalui bermacam karakter hewan.
Dalam karya yang dipamerkan, kita dapat melihat dua pasang kaki hewan serupa kerbau dan ayam yang menggantung, ditambah tetesan tinta ungu pekat menyerupai tinta pemilu. Jejak-jejak kaki juga tersebar di ruang pamer tanpa arah yang pasti.
Emiria Sunassa (l. 1895, d. 1964)
Emiria Sunassa mewakili babak penting dalam perkembangan seni lukis Indonesia. Sempat menempuh pelatihan perawat di Sekolah Cikini, ia selama Perang Dunia I mengembara ke Belgia dan Austria untuk belajar seni lukis di bawah bimbingan Guillaume Frédéric Pijper. Sekembalinya ke Indonesia, ia bersama sejumlah pelukis lain seperti Agus Djaya dan Sudjojono mendirikan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) sebagai tanggapan atas hegemoni pelukis Belanda dan negara Eropa lainnya di Indonesia. Melalui karya lukisnya, Emiria menghadirkan sisi gelap bangsa yang terpinggirkan, yang tidak terbahasakan dalam estetika romantik para pelukis kolonial.
Beberapa karyanya ditampilkan pada babak pertama pameran. “Pengantin Dayak” (1941-1946) menunjukkan keberpihakan Emiria pada suku-suku minoritas di Indonesia. Tulisan tentang Emiria dalam tesis Heidi Arbuckle pun turut dipamerkan.
Dolorosa Sinaga (l. 1952)
Dolorosa Sinaga berkesenian untuk keadilan. Belajar seni patung di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini IKJ), ia merancang karya-karyanya sebagai suara solidaritas dalam berbagai kasus hak asasi manusia di Indonesia, dari peristiwa 1965 hingga 1998. Selain berkarya, ia juga mengajar di almamaternya. Ia sempat menjadi Dekan Fakultas Seni Rupa di IKJ dan turut merancang mata kuliah Seni dan Aktivisme. Kini, ia menjabat sebagai Direktur Jakarta Biennale 2021 dan aktif dalam berbagai gerakan kemanusiaan.
Kustiyah (l. 1935, d.2012)
Kustiyah dalam kesehariannya dikenal sebagai pribadi yang lembut, kontras dengan seni lukisnya. Karya-karyanya didominasi garis tajam dan sapuan warna yang kasar. Melalui pendekatan artistiknya yang khas, ia melukiskan lingkungan hidup di sekitarnya, mengubah pemandangan alam yang familiar dan bersahaja menjadi ungkapan visual yang bergejolak dan penuh energi. Perjalanan Kustiyah sebagai pelukis bermula dari ASRI Yogyakarta, yang kemudian ia tunaikan bersama kelompok Pelukis Rakyat dan Pelukis Indonesia.
Marintan Sirait (l.1960)
Marintan Sirait banyak berkarya dengan tubuh. Dalam rekam jejak karyanya yang merentang dari gambar dan lukisan hingga instalasi, gerakan tubuh konsisten menjadi unsur utama. Bagi lulusan Jurusan Keramik ITB ini, tubuh merupakan alat sekaligus saluran bagi energi untuk membuka kesadaran primordial. Pada 1988, ia turut menggawangi Sumber Waras, kelompok perupa eksperimental. Bersama Andar Manik, suaminya, ia mendirikan Jendela Ide, lembaga kebudayaan khusus anak dan remaja, pada 1995.
Dalam pertunjukannya, Marintan mengitari hampir seluruh ruang pamer. Ia turut menampilkan instalasi gundukan tanah berbentuk kerucut yang ditata sedemikian rupa, dengan pasir, abu, cahaya, dan gerak tubuh. Karya Membangun Rumah bagi Marintan adalah upaya untuk menghayati tubuh personal, merasakan hubungan tubuh dengan waktu, ruang, dan benda-benda lain di sekitarnya.
Siti Ruliyati (l.1930)
Siti Ruliyati dikenal memiliki estetika visual yang serba kontras. Sapuan pensilnya kuat, tegang, kaku, dan keras, tapi komposisi visualnya tampak begitu lembut dan feminin. Sebagai pelukis yang mulai aktif dalam masa revolusi, keberpihakan Siti pada masyarakat tercermin dalam lukisan dan gambarnya. Pada 1960-an, alumni ASRI Yogyakarta ini pindah ke Jakarta dan aktif berpameran tunggal. Kiprahnya sebagai ilustrator diakrabi publik melalui sejumlah majalah kebudayaan, seperti Budaya Jaya, Indonesia, dan Zenith. Seumur hidupnya, Siti hidup dari praktik artistiknya, mulai dari melukis, menggambar dan berjualan kartu pos serta kartu ucapan, sampai membuka kursus melukis.
Siti Adiyati (l. 1951)
Siti Adiyati, dikenal sebagai Atik, adalah seorang perupa, penulis, dan salah satu pendiri Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Pada 1980-an, ia rutin menulis untuk koran, majalah, dan jurnal seni rupa di Indonesia. Sekembalinya dari perjalanannya ke Jepang dan Perancis, ia menemukan kembali koleksi hasil pertukaran "Jakarta-Paris 1959" lalu menginisiasi kerja pendataan kembali, pengarsipan, konservasi, dan pameran koleksi ini kepada publik pada 1992. Bersama Gendut Riyanto, FX Harsono, dan Hendro Wiyanto, ia juga menerbitkan jurnal DIALOG Seni Rupa (1990-1994).
Tulisan “Mencari Perempuan Perupa dalam Direktori” yang dimuat dalam laman Koalisi Seni menunjukkan adanya ketimpangan keterwakilan perempuan dalam seni rupa yang ada dalam direktori hari ini. Penyebabnya adalah luputnya pencatatan perempuan perupa dalam rekam jejak sejarah arus utama serta kencangnya dominasi laki-laki dalam pameran seni rupa. Dari kenyataan tersebut, disadari adanya kebutuhan akan pencatatan yang lebih inklusif.
Kita harus menyadari bahwa perempuan dalam seni rupa kerap hanya tercatat dalam korespondensi pribadi dan terlewat dari catatan publik. Hal tersebut dapat disiasati dengan meningkatkan keterwakilan perempuan dalam seni rupa. Penting untuk membuka jalur-jalur yang memungkinkan seniman mendaftarkan dirinya secara mandiri, yang dijadikan direktori yang ajeg demi menghasilkan pencatatan yang lebih inklusif.