Tekstil hasil kembangan laboratorium adalah masa depan dunia fesyen
Ditulis oleh Ilman Ramadhanu | Read in English
Tema-tema keberlanjutan telah menjadi sebuah tren di industri fesyen. Para jenama dan desainer fesyen ternama kini berlomba-lomba untuk menemukan solusi yang paling mutakhir dan inovatif untuk membuat industri fesyen menjadi lebih ramah lingkungan.
Hal ini sangat tidak mengherankan, apalagi mengingat kenyataan bahwa fesyen merupakan salah satu pencemar lingkungan terbesar di dunia. Ada banyak faktor dalam industri fesyen yang berkontribusi terhadap hal ini, mulai dari praktik pembakaran kain yang tidak terpakai atau baju tak terjual hingga pemborosan sumber daya alam tak terbarukan. Namun, salah satu alasan terbesarnya adalah penggunaan bahan tekstil yang berbahaya. Tekstil seperti poliester, viscose, atau nilon, yang hampir ada di setiap pakaian kita, adalah salah satu pelaku terbesar kerusakan lingkungan yang dihasilkan oleh dunia fesyen.
Ini mendorong industri fesyen untuk mengombinasikan kreativitas dan ilmu pengetahuan dengan harapan untuk menemukan suatu inovasi tekstil yang dapat menjadi pengganti bahan-bahan tekstil berbahaya ini.
Tekstil kulit dari jamur
Tekstil yang mirip dengan kulit yang dibuat dari jamur merupakan inovasi terbaru dari dunia fesyen untuk mengurangi penggunaan kulit hewan asli. Perusahaan-perusahaan seperti MycoWorks, Mylo, dan Bolt Threads telah menemukan cara untuk membuat alternatif tekstil kulit yang dibuat dari struktur akar jamur atau yang disebut dengan miselium. Tekstil kulit jamur ini mereplikasi tampilan dan nuansa dari kulit hewan asli dan memiliki daya tahan dan kekuatan yang sama.
Praktik industri kulit telah lama dianggap bermasalah. Selain dari bagian pembunuhan hewan yang harus ditempuh untuk mengambil kulitnya, industri kulit juga membutuhkan proses ternak hewan yang ekstensif, yang menurut PETA merupakan alasan di balik penggundulan hutan besar-besaran dan memproduksi emisi gas yang berlebihan. Tidak hanya itu, pemrosesan kulit hewan menjadi tekstil kulit juga berdampak buruk terhadap lingkungan, terutama dalam proses penyamakan kulit.
Dalam proses tersebut, kulit hewan dibersihkan dari bakteri atau serat untuk mencegah kulit membusuk dan selanjutnya diwarnai. Proses ini memproduksi bahan kimia beracun, termasuk polutan-polutan kromium, yang dalam prosesnya sering dibuang ke saluran air setempat dan dikonsumsi oleh penduduk setempat. Apabila terakumulasi, polutan ini dapat menyebabkan masalah pernapasan hingga meningkatkan risiko kanker paru-paru.
Tekstil kulit sintetis juga berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Sebagian besar tekstil kulit sintetis dibentuk dari bahan-bahan yang dibuat dari plastik, seperti polyurethane (PU) atau polyvinyl chloride (PVC) yang juga menghasilkan polusi dan racun dalam proses pembuatannya dan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai.
Oleh karena itu, kemunculan tekstil kulit dari jamur ini dianggap revolusioner di dunia fesyen. Proses produksi tekstil kulit dari jamur jauh lebih ramah lingkungan. Dalam wawancara dengan Fast Company, MycoWorks menjelaskan bahwa jika dalam proses produksi satu pasang sepatu kulit mengeluarkan 33 pon karbon dioksida, produksi tekstil kulit dari jamur adalah karbon netral, yang berarti untuk setiap karbon dioksida yang dikeluarkan, jumlah yang sama akan dihilangkan dari atmosfer.
Jamur yang digunakan dalam proses produksi ditanam pada permukaan berbusa di dalam ruangan yang tingkat kelembapan dan temperaturnya dikontrol. Serbuk gergaji dan bahan-bahan organik lainnya diberikan kepada jamur-jamur tersebut sampai mereka siap untuk dipanen. Dalam waktu beberapa minggu, jamur siap dipanen dan kemudian diproses dan diwarnai untuk menjadi tekstil kulit siap pakai.
Bahan sisa dari proses produksi dapat dikomposkan dan digunakan kembali untuk memulai proses produksi penumbuhan jamur dari awal. Ini berbeda jauh dengan industri kulit hewan yang membutuhkan banyak sumber daya tak terbarukan.
Tekstil kulit dari jamur diperkenalkan di dunia fesyen saat Hermes berkolaborasi dengan MycoWorks untuk membuat koleksi tas mewah yang disebut “Victoria” pada 2021. Stella McCartney, yang dikenal dengan produknya yang tidak menggunakan bahan-bahan hewani, juga meluncurkan tas mewah yang dibuat dari tekstil kulit jamur melalui kolaborasi dengan Mylo pada koleksi musim semi/musim panas 2022.
Serat sintesis berbasis bio
Serat-serat sintetis, seperti poliester dan nilon, merupakan salah satu bahan pakaian yang sangat sering digunakan di dunia. Dilansir dari Vox, saat ini, hampir dari 60% dari bahan yang membentuk seluruh pakaian kita adalah serat sintetis. Hal ini membawa masalah lingkungan yang parah, terutama karena serat sintetis dibuat dari plastik.
Selama masa pakainya, bahan plastik ini melepaskan mikroplastik yang tak terhitung jumlahnya. Mikroplastik sangat berbahaya karena membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai, dan jika terakumulasi dapat menimbulkan ancaman fisik dan racun bagi lingkungan, khususnya bagi biota laut.
Sebagaimana dilansir dari New York Times, ilmuwan memperkirakan bahwa saat ini terdapat 9.25 hingga 15.86 juta ton mikroplastik di dasar lautan kita, dan 35% dari angka tersebut berasal dari serat-serat sintetis pakaian. Pencemaran mikroplastik yang berasal dari pakaian paling sering terjadi pada proses pencucian pakaian di mana air buangan yang mengandung mikroplastik tersebut dialirkan ke selokan setempat dan berujung ke lautan.
Kemudian, serat sintetis ini dibuat dengan menggunakan bahan bakar fosil tak terbarukan, seperti petroleum – meskipun nampaknya dunia fesyen telah menemukan solusi sementara untuk masalah ini dengan mempromosikan penggunaan plastik daur ulang. Pada 2020, Adidas mengumumkan bahwa produk sepatu mereka akan mulai diproduksi dengan menggunakan plastik daur ulang. Namun, walaupun penggunaan bahan bakar fosil dapat dikurangi, bahan plastik daur ulang ini pun tetap melepaskan mikroplastik ke lingkungan sekitar.
Langkah penting dalam menangani masalah ini diambil ketika perusahaan biotek Kintra Fibers mengumumkan bahwa mereka telah mengembangkan serat sintetis berbasis bio yang mereplikasi fleksibilitas dari tekstil poliester, nilon, dan spandeks, namun sepenuhnya terbuat dari gula dan dapat terurai secara natural.
Serat sintetis berbasis bio ini dibuat dengan menggunakan teknik yang sama dalam pembuatan serat sintetis reguler, yaitu melalui serangkaian proses pemintalan leleh. Namun, sebagai pengganti petroleum, serat sintetis ini dibuat dengan menggunakan gula yang diambil dari jagung dan gandum.
Menurut Kintra, serat sintetis berbasis bio ini memproduksi nol mikroplastik karena memiliki kemampuan untuk terurai secara alami dalam lingkungan pengomposan aerobik. Artinya, selama ada aliran oksigen yang lancar, pakaian dengan serat sintetis berbasis bio ini dapat dikomposkan.
Saat ini, perusahaan tersebut sedang menggarap kolaborasi untuk meluncurkan koleksi pakaian dengan menggunakan serat sintetis berbasis bio dengan jenama gaya hidup Pangaia. Seperti dilansir dari situs web Pangaia, kolaborasi tersebut akan segera dirilis.
Apa yang bisa diharapkan selanjutnya?
Dengan munculnya inovasi mutakhir ini, sudah lebih jelas bahwa masa depan dunia fesyen akan muncul dari laboratorium. Namun, kemungkinan besar kita masih harus menunggu lebih lama sampai tekstil ramah lingkungan ini tersedia untuk konsumsi massal.
Tekstil kulit dari jamur saat ini masih dikategorikan sebagai barang mewah. Hal ini merupakan sebuah masalah, karena agar tekstil ramah lingkungan ini dapat memiliki dampak besar terhadap lingkungan, tekstil ini harus bisa diakses oleh semua orang dari berbagai latar belakang ekonomi.
Harga tekstil kulit dari jamur saat ini pun masih lebih tinggi dibanding kulit asli atau sintetis. Namun, seperti dilansir dari Forbes, harga tersebut diharapkan akan turun seiring dengan meningkatnya jumlah produksi.
Solusi radikal terhadap masalah mikroplastik yang dijanjikan oleh tekstil berbasis bio dari Kintra masih merupakan janji belaka. Sebagaimana dilaporkan oleh Fast Company, Kintra dan Pangaia masih mengembangkan teknologi mereka dan meneliti performa tekstil berbasis bio tersebut.
Sementara kita menunggu tekstil hasil buatan laboratorium ini untuk menjadi lebih dari eksperimen belaka, kunci utama dalam menyelesaikan masalah lingkungan yang dibuat oleh dunia fesyen masih berada di tangan konsumennya untuk membatasi jumlah jejak karbon mereka.