Soal inklusivitas: Adakah ruang bagi para difabel dalam seni dan budaya?
Ditulis oleh Haiza Putti | Read in English
Pernahkah terpikir, mengapa jarang ditemukan seniman difabel dalam ruang-ruang pameran seni arus utama? Atau mungkin, soal adanya pemisah antara perupa difabel dan perupa non-difabel? Bahkan, dalam banyak kasus, produk kesenian seperti pertunjukan, film, hingga musik, tidak dapat sepenuhnya dinikmati para audiens difabel. Lantas, adakah tempat bagi difabel dalam dunia seni?
Sejak akhir 2022, TFR tengah melakukan riset lapangan bersama proyek Open Arms yang diinisiasi oleh Yayasan Selasar Sunaryo guna memahami kondisi aktual aksesibilitas dalam dunia seni rupa, serta inisiasi tak henti para komunitas dalam memberdayakan para difabel lewat kesenian.
Dalam penelitian ini, bersama Open Arms, TFR mengunjungi sejumlah wilayah yang menjadi poros kesenian di Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Malang.
Tulisan ini akan menjadi pengantar dari rangkaian tulisan hasil riset serta menelusuri isu disabilitas hingga akar dari minimnya inklusivitas bagi para difabel, beserta posisinya dalam ranah kesenian.
Tentang disabilitas dan kendala dalam berbagai aspek kehidupan
Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2016, penyandang disabilitas dijelaskan sebagai individu dengan keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik; siapa pun bisa menjadi difabel semasa hidupnya. Pasalnya, penelitian menunjukkan bahwa risiko menjadi difabel terus ada bagi siapa pun, baik disebabkan oleh penyakit maupun kecelakaan.
Selanjutnya, data World Health Organization (WHO) pada akhir 2022 menunjukkan, setidaknya ada 1,3 miliar (1 dari 6 orang) difabel di seluruh dunia, atau 16% dari seluruh penduduk global. Meski jumlahnya tak kecil, pada kenyataannya masih banyak hambatan bagi penyandang disabilitas. Dari segi akses mobilitas saja, difabel mengalami kesulitan 15 kali lebih banyak dibanding non-difabel. Di luar itu, difabel juga terus berjuang melawan stigma, diskriminasi, hingga sulitnya aksesibilitas fisik, edukasi, hingga pekerjaan.
Lebih lanjut, penelitian Fx Rudy Gunawan, “Eksistensi Disabilitas Dalam Budaya Normalitas” (2014), menemukan bahwa ketika seseorang menjadi difabel, kemungkinan besar akses baginya terhadap banyak hal akan terputus, salah satunya kemampuan menikmati produk kebudayaan.
“Mereka lalu menjadi kaum marginal dalam kebudayaan masyarakat. Ketika seseorang menjadi penyandang disabilitas maka ia otomatis kehilangan sejumlah haknya.” (Fx Rudy Gunawan, 2014)
Kemudian, Fx Rudy menjelaskan realitas para difabel yang terbukti masih menemukan banyak rintangan dalam berkehidupan bersama masyarakat luas, antara lain:
Kendala dan hambatan aksesibilitas;
Minimnya pendataan terpadu dan menyeluruh atas penyandang disabilitas yang menyulitkan implementasi kebijakan;
Kurangnya informasi soal disabilitas yang memengaruhi sikap masyarakat.
Minimnya pemahaman soal kebutuhan disabilitas menghasilkan berbagai stigma, termasuk mitos soal penyandang disabilitas yang dianggap sebagai aib, bahkan pembawa sial.
Ableisme: Akar masalah berbagai hambatan penyandang disabilitas
Beragam hambatan dan rintangan bagi difabel ternyata berasal dari satu masalah sistemik utama, yakni mentalitas ableisme. Slamet Thohari, seorang akademisi sekaligus pendiri Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya (kini menjadi Pusat Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya/PLD-UB), menjelaskan bahwa ablesime merupakan cara pandang di mana segala yang di luar “normal” milik para mayoritas (non-difabel) akan dianggap sebagai abnormal.
“Ideologi (ableisme) membekas di alam bawah sadar manusia, bahwa seakan-akan (ada) standar manusia, dan yang lain (di luar standar) adalah tidak benar. Seolah-olah difabel harus mengikuti logika yang dianggap normal,” jelasnya dalam diskusi “Meretas Halangan” di Selasar Sunaryo Art Space.
Lebih lanjut Slamet menjelaskan, pandangan tersebut sebenarnya telah berakar sejauh peradaban Yunani Kuno, ketika kebugaran tubuh dan intelektualitas menjadi tolok ukur kesempurnaan. Alhasil, para penyandang disabilitas dianggap sebagai pemilik “tubuh yang belum selesai”. Logika itu kemudian terus berkembang, hingga mulai era modern disabilitas dianggap sebagai masalah medis. Difabel kemudian dianggap sebagai orang sakit, yang lalu membangun persepsi bahwa mereka tidak normal.
Salah satu produk dari stigma tersebut dapat ditelisik pada penjelasan UU Nomor 4 Tahun 1997, sebelum dibenahi pada UU keluaran 2016. Di sana, kebijakan masih menggunakan istilah “penyandang cacat” yang didefinisikan sebagai individu “berkekurangan”. Istilah itu pada UU Nomor 18 Tahun 2016 diganti menjadi “penyandang disabilitas”, yang memiliki “keterbatasan”.
Disabilitas dan kesenian: Menjamurnya disability porn dan super-crip
Dalam penelitian PLD-UB bersama British Council, dijelaskan bahwa dalam lingkup kesenian masih sering terjadi diskriminasi terhadap para seniman difabel, yang datang dalam berbagai bentuk, seperti pengabaian karya seni para seniman difabel dan minimnya akses untuk menikmati produk-produk kesenian.
Pengabaian yang dimaksud ialah minimnya apresiasi terhadap kualitas estetika karya penyandang disabilitas, walau bukan berarti tidak ada apresiasi. Sayangnya, apresiasi yang ada kerap bersumber dari rasa kasihan oleh para non-difabel.
“Rasa kasihan, selama ini, menempatkan karya penyandang disabilitas pada tempat yang tidak semestinya; menjadikannya sekadar bahan pemicu cucuran air mata dan mengobjektifikasi individu seniman difabel,” tulis laporan “Pemetaan Kesenian dan Disabilitas di Indonesia” (2018) oleh PLD-UB dan British Council.
Slamet menjelaskan bahwa hal itu terjadi lantaran adanya pandangan disabilitas sebagai pemuas hasrat. Sebagaimana segala bentuk “pornografi” dinikmati sebagai pemuas hasrat, “porno disabilitas” menggambarkan kebiasaan memandang difabel sebagai orang serba kekurangan yang harus dikasihani.
Lantas, ketika seorang difabel memiliki pencapaian, lahir berbagai sanjungan, bahkan dijadikan inspirasi. “Mereka saja bisa, kenapa saya tidak?”; setidaknya kalimat itu sudah tak asing lagi didengar Slamet, yang juga merupakan seorang difabel.
Nalar demikian kemudian melahirkan adanya perspektif super-crip, yaitu kebiasaan menikmati karya seni seorang difabel akibat anggapan bahwa itu ialah hal yang luar biasa. Mungkin awalnya baik, namun perspektif itu timbul dari pandangan bahwa penyandang disabilitas adalah mereka yang berada di luar normal.
Jebakan nalar dan estetika “normal” bagi para difabel
Menurut temuan PLD-UB dan British Council, representasi sosok difabel dalam dunia seni pun masih minim. Kenyataan tersebut menimbulkan minimnya inklusivitas acara seni hingga akses fisik ruang-ruang kesenian, termasuk galeri seni dan konser musik.
Minimnya pemenuhan fasilitas para difabel bisa kita lihat dalam dunia musik internasional. Seperti yang dialami Eric Howk, gitaris band rock ternama Portugal. The Man. Howk harus menggunakan kursi roda setelah mengalami cedera sumsum tulang belakang.
Dalam wawancara bersama THE RED BULLETIN, Howk mengaku mengalami tantangan setiap harus tampil di atas panggung. Dari memasuki bus tur hingga mengakses lokasi pertunjukan, Howk menemukan bahwa kebanyakan konser musik minim aksesibilitas bagi para pengguna kursi roda.
Menurut Howk, “Ada pendekatan one-size-fits-all bagi aksesibilitas terhadap banyak hal. Namun, fleksibilitas dan adaptabilitas membuat keadaan jauh lebih baik.” Akan tetapi, kesadaran tentang akses yang diangkat Howk selama beberapa tahun terakhir telah membawa dampak baik, yaitu promotor musik lokal perlahan mulai membangun fasilitas yang aksesibel untuk semua.
Di luar minimnya aksesibilitas fisik, ada masalah lainnya bagi para seniman difabel, yakni keterbatasan eksplorasi dalam berkarya. Pasalnya, tak jarang ditemukan para difabel menggunakan nalar dan paham estetika non-difabel dalam praktik kesenian mereka.
Slamet menjelaskan, “Saking tertutupnya seni, teman-teman difabel dalam mengekspresikan dirinya pun menggunakan logika difabel. Sebagai contoh, saya pernah menemukan sebuah puisi yang ditulis difabel netra, mereka menulis rembulan itu padam, bersinar.” Padahal, ungkapan tersebut bukan berasal dari pengalaman estetik para difabel netra.
Upaya tiada akhir untuk membangun inklusivitas dalam kesenian
Eksklusivitas dalam kesenian, termasuk seni rupa, kemudian menghasilkan minimnya aksesibilitas ruang dan program kesenian di arus utama. Meskipun begitu, sejumlah inisiatif dari individu maupun komunitas telah dilakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut.
Contohnya adalah penyediaan juru bahasa isyarat yang mewadahi teman Tuli untuk menikmati pertunjukan musik pada konser band ska legendaris Indonesia, Tipe-X. Di luar itu, ada pula berbagai alternatif penunjang bagi difabel netra untuk menikmati tontonan film.
Berbagai inisiatif oleh lembaga juga telah menjalar di sejumlah kota yang menjadi poros kesenian Indonesia, seperti Jogja Disability Art di Yogyakarta, Tab Space di Bandung, serta Ketemu Project dan Rumah Berdaya di Bali.
Namun, dalam meningkatkan inklusi dan aksesibilitas dalam ranah kesenian, Slamet menekankan bahwa ada dua hal penting yang perlu dicatat. Pertama, seniman difabel perlu diberi ruang untuk memaknai estetika kehidupannya sendiri, lewat metode dan persepsi yang dirasakannya.
Lalu, pijakan terpenting dalam meningkatkan inklusivitas adalah pelibatan para difabel mulai dari skala perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan maupun kebijakan, karena “there’s no us without us”.