Mengapa harus banting tulang kalau bisa banting setir?

Ditulis oleh Hani Fauzia Ramadhani | Read in English

Dalam satu dekade terakhir, budaya gila kerja yang kerap disebut sebagai hustle culture kian menjamur. TFR pun sempat mengadakan survei terkait dan mengangkat isu serupa pada 2021. Ternyata, setelah dua tahun berlalu, pembicaraan soal budaya gila kerja belum berakhir. Hanya saja, kali ini isu yang sama dibicarakan dengan nada yang berbeda; makin banyak orang yang memutuskan untuk mengakhiri era gila kerja mereka.

Sebagai puncak dari kelelahan kolektif yang dirasakan generasi angkatan kerja produktif, ditambah rendahnya tingkat kepuasan kerja, banyak orang yang tak lagi peduli dengan pekerjaannya dan menjalankan aksi quiet quitting. Tak sedikit pula yang memutuskan untuk keluar dari perusahaan yang dirasa punya budaya kerja tidak sehat, yang kemudian memicu fenomena The Great Resignation. Sementara itu, ada pula segelintir orang yang bertekad mengubah total situasi kerjanya dengan pindah ke luar negeri. TFR berkesempatan untuk berbincang dengan tiga orang yang termasuk ke dalam golongan terakhir ini.

Meninggalkan kerja yang menguras jiwa raga

Beberapa waktu lalu, sempat viral cuitan dari Fierza berisi foto dirinya memamerkan seragam kerja di sebuah ladang pertanian di Australia. Foto tersebut dibarengi dengan teks “Dulu bercandaan sama temen kantor kalo lagi banyak deadline; apa gue resign aja dan jadi petani, ya? Dan lihat gue hari ini di Aussie!” 

Ya, Fierza adalah salah satu orang yang meninggalkan posisi nyamannya di dunia korporasi dan beralih ke pekerjaan “kasar” alias manual labour. Bermodal working holiday visa (WHV) yang berlaku selama tiga tahun, dirinya berangkat ke Australia pada 2022 dan mencicipi pekerjaan mulai dari staf restoran yang tugasnya mencuci piring hingga staf perkebunan yang tugasnya mengemas buah-buahan hasil panen. Baginya, pekerjaan-pekerjaan ini meski jauh dari kata nyaman tapi lebih membahagiakan. Ia juga berkesempatan jalan-jalan keliling Australia di sela waktu kerjanya.

Ketika ditanya asal-usul keputusan besarnya ini, Fierza mengenang masa-masa kerjanya di Indonesia yang dirasa menguras jiwa raga. “Suatu hari aku berada di titik capek banget dengan kehidupan super sibuknya Jakarta, dan mencoba cari jalan keluar dari Indonesia. Motivasinya; aku masih muda, masih pengen lihat dunia. Kebetulan orang tua juga support, mama selalu bilang, mumpung masih single dan belum ada tanggungan, puas-puasin dulu jalan-jalan. Long story short, ternyata berjodoh dengan WHV dan berangkatlah ke Australia,” paparnya.

Sebelum memutuskan apply WHV, Fierza sempat menimbang opsi negara lain yang memiliki program visa serupa. “Aku compare antara living cost dan minimum wage di Aussie dan beberapa negara lainnya. Contohlah Aussie dan US yang secara living cost mirip, tapi minimum wage di Aussie $21.38/hour, sedangkan di US $16.50/hour itu pun udah tertinggi, tergantung di state mana kita tinggal. So I chose Aussie,” katanya. Ia sendiri saat ini tengah memperjuangkan status tinggal tetap (PR). “Tapi mari kita jalanin dulu aja tiga tahun ini dengan WHV, kalau betah ya dilanjut, kalau pengen pulang ya pulang. We never know what lies ahead, dan nggak mau ambil pusing juga,” lanjut Fierza.

Fierza merasa keputusan yang diambilnya membukakan pintu pengalaman dan kesempatan yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Ia banyak belajar dari orang-orang yang ditemuinya, terutama soal etos kerja. “Yang aku suka di Aussie ini, kita kerja sangat dihargai. Dari sini aku juga belajar, mereka nggak terlalu peduli apa gelar kalian, selama kalian mau dan bisa bekerja, ya bekerjalah – dan lakukan sebaik-baiknya. Prinsip hidupnya adalah ‘be the nicest person in the room’, bukan berkompetisi siapa yang lebih hebat daripada siapa,” tuturnya.

“Jemput bola” mengejar stabilitas karir dan kehidupan

Beda dengan Fierza, Andre yang kini berdomisili di Toronto, Kanada, tidak banting setir dari profesinya di Indonesia. Ia tetap bekerja di sektor pelokalan (localization) – sebuah bidang yang dalam satu dekade terakhir berkembang pesat. Sekilas tentang pelokalan, orang mungkin lebih akrab dengan istilah penerjemahan, tapi seiring dengan berkembangnya teknologi, penerjemahan merambah ke ranah lain, seperti app tester, penerjemahan kreatif, dan riset pasar.

“Meski kesempatan kerja di Indonesia bertaburan, aku menyadari kalau kesempatan itu mentok hanya di level freelance,” ujar Andre. Inilah yang mendorongnya untuk pindah ke Kanada, negara yang memang dikenal ramah imigran. “Aku pindah lewat jalur mahasiswa dengan ambil post-graduate certification on project management. Kemudian seminggu sebelum lulus langsung dapat tawaran kerja full-time di bidang yang sesuai,” tambahnya.

Selain merasa lebih puas dengan kesempatan karir yang menjanjikan, Andre juga merasakan motivasi kerja yang lebih tinggi. “Yang paling aku suka di sini adalah kita dibayar dengan basis per jam. Dengan perhitungan seperti ini, aku merasa waktu dan tenaga yang kita dedikasikan untuk pekerjaan jadi lebih dihargai,” paparnya. Ia pun mengaku banyak hal positif lain yang dirasakan berkat pola hidup yang lebih seimbang ini. Andre jadi punya waktu luang untuk membawa anjing peliharaannya jalan-jalan keliling kota dan juga masak. “Setelah dicatat, lucunya biaya hidupku di Kanada lebih murah dibanding saat hidup di Indonesia – excluding house rent, ya. Can you imagine how bad my lifestyle was back then?” kenangnya.

Bagi Andre yang pindah ke Kanada pada Mei 2021 ini, saat ini ia tidak melihat dirinya kembali ke Indonesia dalam waktu dekat. “Tapi belum ada rencana ganti paspor juga. Target terdekat saat ini bisa mengamankan status permanent resident (PR) di Kanada. Di sini imigrasi memakai sistem poin, and as we speak, I’m actually 7 points away from getting invited for a PR application, fingers crossed!” paparnya.

Menukar kegilaan kerja dengan kenikmatan hidup

Sementara itu, Febri, seorang freelance digital marketer, pindah ke Braga, Portugal, pada Februari 2022 setelah menempuh proses administrasi yang cukup panjang. Ia bercerita, dua hal utama yang menjadi pemicunya untuk pindah adalah kualitas hidup dan kondisi saat pandemi COVID-19.

“Sebelum pindah ke Portugal, aku sempat backpacking ke beberapa negara tetangga di Asia Tenggara. Dari situ sedikit ke-ekspos pengalaman baru, kalau ternyata tinggal di Indonesia tuh biaya hidup dengan kualitas hidup yang ada tidak sepadan. Ditambah lagi, pas lagi puncak pandemi – Delta wave pada 2021 – kerasa banget ditelantarkan, being left on our own dan tiap daerah nggak merata kualitas penanganan pandeminya,” papar Febri.

Ia pun akhirnya mengulik beragam cara untuk pindah dari Indonesia dan kebetulan menemukan informasi tentang kesempatan pindah ke Portugal. “Sebenarnya ada lumayan banyak alternatif visa buat pindah ke Portugal, tapi di case aku, aku pakai Manifastação de Interesse (Expression of Interest). Intinya, submit aplikasi ke imigrasi kalo aku tertarik buat tinggal di Portugal, jadi self-employed person yang bayar pajak di sini,” tambahnya.

Satu hal yang menurut Febri paling kentara berbeda dalam budaya di Portugal adalah bagaimana orang menyikapi pekerjaan. “Orang Portugis nggak ngoyo soal kerjaan, bahkan ada running jokes bahwa orang sini kalau makan siang pasti berlama-lama dan di kantor sering bikin kopi,” ujar Febri yang mengaku lelucon tersebut ada benarnya. Bahkan ia pun kini mulai mengadaptasi gaya kerja serupa; menikmati hidup di sela-sela pekerjaan. “Aku suka pergi makan siang di luar, nge-wine atau ngopi setelah makan siang sebelum balik kerja lagi. Aku juga nyempetin buat Pilates di sela-sela kerja. Waktu di Indonesia boro-boro bisa, karena aku ngoyo banget sama kerjaan,” sambungnya.

Bagi Febri, meski Portugal terbilang murah untuk ukuran negara Eropa, biaya hidup di sana tidak jauh lebih murah dibandingkan dengan Indonesia. Namun, untuk kualitas hidup yang ia rasa jauh lebih baik, harga yang dibayarnya terasa sepadan. Bukan cuma perihal budaya kerja yang lebih santai, tapi banyak faktor lainnya; tidak adanya macet berlebihan, kualitas udara yang lebih baik, kedekatan dengan alam, dan berbagai personal development yang diraihnya sejak tinggal di sana.

“Satu hal yang aku pelajari dari masyarakat sini, adalah untuk mentingin self-respect. Waktu pertama pindah, aku langsung notice kalau orang Portugis well-dressed banget. Aku sempat baca sedikit-sedikit soal Portuguese culture dan ternyata berpenampilan baik itu salah satu bentuk self-respect, selain cara membawa diri juga tentunya. Kalau kita nggak bisa present ourselves in a way that is respectful towards ourselves, orang lain pun bakal susah buat menghormati kita. Aku jadi mulai lebih pay attention ke gimana cara aku present myself aja sih. Not necessarily concealing myself, or being fake, tapi lebih mindful soal gimana aku membawa diri,” tuturnya.

Pada akhirnya, kita memang harus memilih pergulatan masing-masing. Pindah ke luar negeri memang tidak untuk semua orang dan yang pasti bukan solusi singkat untuk segala macam persoalan karir dan kehidupan. Tantangan dan hambatan untuk menjalani pilihan ini pun banyak sekali, mulai dari urusan birokrasi, kendala bahasa dan budaya, penyesuaian di tempat kerja, hingga beban biaya finansial dan emosional yang harus ditanggung. Namun, keberanian untuk mengubah nasib dan meninggalkan lingkungan yang tak lagi sejalan dengan hati nurani patut diapresiasi.


Artikel terkait


Berita Terkini