Harmoni di balik layar: Kisah pencarian kesejahteraan di industri film
Ditulis oleh Hani Fauzia Ramadhani | Read in English
Selentingan soal industri film dengan segala seluk-beluknya yang jauh dari kata glamor sudah sering kali didengar Ahmad Hasan Yuniardi, yang akrab dipanggil Maddun, sejak ia masih di bangku kuliah. Sejak memasuki industri film pada 2012, ia pun tak jarang melihat langsung rekan-rekannya mengalami persis yang TFR bahas di artikel “Di balik layar perak: Jalan berliku pekerja film menuju kesejahteraan”.
“Banyak teman-teman saya yang mengambil job shooting film berakhir di rumah sakit setelahnya. Penyebabnya tidak lepas dari jam kerja yang tidak sehat; dalam satu hari bisa sampai 20 jam shooting. Hal itu kemudian diperparah dengan upah yang minim sehingga banyak kru film yang berupaya menghidupi dirinya dengan mengambil banyak job secara berturut-turut. Belum lagi jika kita bicara masalah safety di lapangan yang kurang diperhatikan. Dengan keadaan 'work' seperti itu, bisa dibayangkan 'life' seperti apa yang didapatkan para pekerja film di Indonesia?” tutur Maddun.
Sejak 2012 hingga sekarang, editor film “Budi Pekerti” ini masih melihat banyak hal yang perlu dibenahi bersama oleh para pelaku industri film, namun tak bisa dimungkiri bahwa sudah ada kemajuan yang perlu diapresiasi juga. Ia pun menyinggung dampak positif dari adanya asosiasi profesi film, seperti yang sempat TFR singgung di “Pintu masuk” dunia perfilman yang sulit digapai”.
“Harapannya, setelah semua asosiasi profesi ini kompak menyuarakan soal kesehatan dan keselamatan kerja, bisa tercipta suatu pemahaman kolektif dari hulu ke hilir tentang bagaimana bersama-sama membangun ekosistem perfilman yang lebih baik,” ujarnya.
Jalan panjang merombak kondisi industri film
Sama dengan Maddun, Rhea (bukan nama sebenarnya) pun telah mendengar kabar miring soal kurang idealnya kondisi kerja di industri film Indonesia sejak lama, sebelum terjun langsung ke dalamnya. “Ayahku dulu berkecimpung di dunia film juga dan beliau sebenarnya tidak merekomendasikan aku untuk mengikuti jejaknya. But here I am now!” paparnya sambil tertawa. Ia memang tidak sepenuhnya mengikuti jejak sang ayah, karena yang dijajal Rhea adalah industri film di Kanada, bukan Indonesia.
Lebih dari sepuluh tahun lalu Rhea pindah ke Kanada untuk kuliah di Vancouver, dengan jurusan film production dan saat ini bekerja di sebuah rumah produksi lokal. Rhea berpendapat bahwa adanya asosiasi profesi berdampak besar terhadap tingkat kesehatan dan keselamatan kerja para pelaku industri film. “Di sini ada banyak asosiasi, salah satunya Directors Guild of Canada. Pada dasarnya ini adalah serikat buruh untuk berbagai profesi di bidang film dan televisi. Serikat ini sudah ada dari tahun 60-an dan berdampak banget dalam membentuk collective agreement soal jam kerja, aturan overtime, dan memberi some sort of perlindungan supaya menjamin kondisi kerja yang fair,” jelasnya.
Meski secara umum lebih baik dari Indonesia, Rhea memaparkan bahwa kondisi di lapangan tak selalu semulus itu. Dinamika produksi film yang satu dengan lainnya tak mungkin sama persis, dipengaruhi oleh skala, jangka waktu, biaya, dan banyak hal lainnya. “Ditambah lagi faktor sumber daya manusia. Ketika bekerja dengan orang-orang yang berbeda latar belakang, tidak mungkin semua punya pandangan yang sama tentang segala hal. Kanada adalah negara yang diversity-nya sangat tinggi karena banyak imigran sepertiku, sehingga mungkin banyak yang membawa kebiasaan dan kultur kerja dari tempat asalnya ke sini. Dari segi usia pun cukup diverse di sini, jadi ada perbedaan di situ juga yang kerap menimbulkan ketidakselarasan.”
Menurut Rhea, isu kesejahteraan dan keselamatan kerja serta work-life balance ini tak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pelaku industrinya. “Ada hal-hal lain seperti hukum yang berlaku, nilai-nilai budaya, hingga social welfare system yang diterapkan di satu negara yang punya peran dalam membentuk industri filmnya. Jadi memang perjalanannya panjang untuk membenahi kondisi sebuah industri,” Rhea berpendapat.
Hal ini sejalan dengan yang Maddun bahas ketika berbincang dengan TFR, bahwa industri film Indonesia masih terbilang ‘muda’ dan jalan untuk membenahinya masih panjang. “Industri film di Indonesia sendiri memang baru berkembang, sehingga masih banyak trial and error dalam praktiknya. Industri film kita baru melejit secara jumlah produksi film nasional dan juga jumlah penontonnya itu pasca-reformasi, tahun 1999. Jadi memang ada banyak hal yang perlu terus diperbaiki untuk menciptakan iklim industri yang sehat.”
Desakan perubahan bukan hanya di Indonesia
Secara global, kesadaran soal work-life balance memang meningkat dalam dekade terakhir. Pandemi COVID-19 menjadi momentum bagi banyak orang yang akhirnya menyadari bahwa kerja berlebihan dan upah tak layak yang berujung burnout seharusnya tidak dinormalisasi. Justine Nagan, yang meninggalkan posisi kepemimpinannya di American Documentary, Inc. pada 2021 lalu, memaparkan dalam wawancara bersama Filmmaker Magazine bahwa pelaku industri film telah terlalu lama terjebak dalam ketidaksetaraan yang sistemik.
Setelah ‘dipaksa’ oleh keadaan untuk mengambil jarak dengan pekerjaan saat pandemi dan mengembalikan fokus ke kesehatan, keluarga, pertemanan, hobi, dan lain-lain, orang-orang menyadari bahwa ada hal-hal yang lebih penting dari meniti tangga karir semata. Mereka menyadari bahwa mereka layak akan kualitas hidup yang lebih baik, termasuk dalam aspek pekerjaan. “Sekarang banyak dari kita yang jadi berpikir secara kritis tentang pekerjaan yang kita lakukan dan cara kita melakukannya, serta berusaha untuk membuat perubahan untuk diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita," kata Justine Nagan.
Desakan untuk kondisi kerja yang lebih baik ini banyak bentuknya. Ada yang mengikuti gelombang Great Resignation dan banting setir sepenuhnya ke profesi lain sebagai bentuk protes, ada pula yang melakukan aksi mogok kerja atau strike hingga tuntutan-tuntutan mereka terpenuhi. Seperti yang dilakukan para pekerja Hollywood belum lama ini.
Serikat aktor SAG-AFTRA dan serikat penulis Writers Guild of America menuntut kondisi kerja yang lebih baik lewat aksi mogoknya ini. Beberapa hal yang digarisbawahi antara lain tuntutan akan upah dan tunjangan yang layak, durasi kontrak dan hak kekayaan intelektual yang kerap mengeksploitasi pekerja, kesejahteraan dan kondisi kerja yang dinilai bisa lebih baik, serta isu inklusi, di mana para pekerja film menuntut diutamakannya kesetaraan dan representasi.
Aksi mogok massal ini bukan yang pertama kalinya terjadi di Hollywood. Kali ini, aksi yang dilakukan selama berbulan-bulan itu akhirnya membuahkan hasil. Kesepakatan disetujui antara pekerja dan studio setelah negosiasi alot dan kampanye sana-sini. Hal ini membuktikan kekuatan dari aksi kolektif yang diwadahi dengan terorganisasi lewat serikat pekerja. Meski begitu, bagaimana kesepakatan tersebut diaplikasikan dan sehebat apa dampaknya terhadap kesejahteraan kerja di Hollywood masih perlu dibuktikan.
Nah, sejak sekarang sudah ada berbagai asosiasi profesi dan serikat pekerja di industri perfilman Indonesia, apakah mungkin gerakan serupa dapat terjadi demi mendorong perubahan yang lebih baik? Menurut Maddun sangat mungkin. “Tapi saya berharap jangan sampai terjadi. Saya lebih berharap industri film di Indonesia bisa terus belajar, berkembang, dan menjadi lebih baik setiap harinya,” paparnya.