Konten ujaran kebencian online kini dilarang di Jepang

Parlemen Jepang akhirnya mengesahkan undang-undang yang mengatur tentang penghinaan secara online. Kekhawatiran publik atas masalah tersebut kini makin meningkat usai kasus online bullying yang dialami bintang televisi, mendiang Hana Kimura.

UU tersebut disahkan pada Senin 13 Juni 2022 lalu dan akan berlaku pada akhir musim panas ini. Berdasarkan aturan tersebut, setiap orang yang melakukan online bullying dapat dihukum satu tahun penjara atau dikenakan denda sebesar 300.000 yen atau sekitar Rp32 juta.

Ini merupakan perubahan yang signifikan dari ketentuan sebelumnya, yang mengatur hukum penahanan selama kurang dari 30 hari dan denda sebesar 10.000 yen.

Penetapan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Jepang. Dilansir dari CNN Tokyo (14/6), masyarakat yang menentang mengatakan bahwa UU tersebut dapat menghambat kebebasan berbicara dan kritik terhadap mereka yang berkuasa. 

Sedangkan bagi pihak yang mendukung, UU yang lebih keras dibutuhkan untuk menindak para pelaku cyber bullying dan pelecehan online. Lagipula, UU ini akan dievaluasi penerapannya setelah 3 tahun dijalankan untuk mengukur dampaknya terhadap kebebasan berekspresi.

Seiho Cho, seorang criminal lawyer menjelaskan, “Perlu ada pedoman yang membedakan apa yang memenuhi syarat sebagai penghinaan.” Pasalnya, ketentuan pidana yang berlaku saat ini, baik di Jepang maupun Indonesia, membedakan penghinaan dengan pencemaran nama baik. 

Cho melanjutkan, “Sebagai contoh, apabila saat ini ada yang menyebut pemimpin Jepang idiot, maka mungkin di bawah UU yang direvisi itu dapat digolongkan sebagai penghinaan.”

Selain Jepang, beberapa negara di dunia pun sudah dan sedang mengatur regulasi terkait online hate speech. Australia misalnya, negara ini masih mempertimbangkan untuk membentuk aturan khusus terkait penghinaan atau online bullying. Meski begitu, Australia sudah memiliki aturan terkait larangan penyebaran konten kekerasan yang tertuang dalam Online Safety Act.

Di sisi lain, The Conversation melaporkan, Jerman ialah salah satu negara dengan aturan ujaran kebencian online yang terberat. Jerman mengenakan denda mencapai 50 juta euro atau Rp780 miliar terhadap perusahaan media yang gagal menghapus konten melanggar hukum.