Dari dugaan penistaan agama hingga ditutupnya 12 gerai Holywings Jakarta

Baru-baru ini Holywings viral akibat kampanye yang dituding mengandung unsur penistaan agama. Setelahnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan resmi memutuskan untuk menutup dan mencabut izin usaha dua belas gerai Holywings yang berada di Ibu Kota.

Alasan penutupan gerai bisnis food and beverage ini sebenarnya bukan karena terbukti melakukan penistaan agama, melainkan belum mengantongi izin usaha yang lengkap.

Melansir CNBC Indonesia (27/6), Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi DKI Jakarta, Andhika Permata menjelaskan, pengurus outlet Holywings di Jakarta terbukti melakukan beberapa kesalahan. Salah satunya adalah beberapa outlet belum memiliki sertifikat standar untuk Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 56301 untuk jenis usaha bar.

Rupanya, sertifikat ini harus dimiliki untuk usaha yang akan menjajakan minuman beralkohol, non-alkohol, dan makanan kecil sebagai kegiatan usaha mereka.

Sedangkan, Holywings Group Jakarta hanya memiliki surat izin sebagai pengecer minuman beralkohol. Hal ini berbeda dengan izin usaha yang seharusnya dimiliki. Pasalnya, sebagai pengecer, konsumen yang membeli minuman tersebut tak boleh meminumnya di tempat.

"Hasil pengawasan di lapangan, usaha tersebut melakukan penjualan minuman beralkohol untuk minum di tempat, yang secara legalitas harusnya memiliki Surat Keterangan Penjual Langsung (SKPL) golongan B dan C dengan PB- UMKU KBLI 56301,” ujar Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Provinsi DKI Jakarta, Elisabeth Ratu Rante Allo.

Bahkan, hanya ada tujuh dari dua belas outlet Holywings yang memiliki izin sebagai pengecer. Sedangkan, lima outlet lainnya tidak mengantongi izin sama sekali. 

Adapun ke12 outlet yang ditutup:

  1. Holywings Kelurahan Tanjung Duren Utara

  2. Holywings Kalideres

  3. Holywings di Kelapa Gading Barat

  4. Tiger

  5. Dragon

  6. Holywings PIK

  7. Holywings Reserve Senayan

  8. Holywings Epicentrum

  9. Holywings Mega Kuningan

  10. Garison

  11. Holywings Gunawarman, dan

  12. Vandetta Gatsu.

Sementara itu, terkait kasus penistaan agama, TFR sudah menghubungi pihak Holywings Indonesia, tetapi sampai artikel ini ditulis belum ada tanggapan.

Dugaan penistaan ini merebak saat Holywings meluncurkan campaign memberikan minuman keras gratis. Satu botol "Gordon's dry gin for man" diberikan untuk orang bernama “Muhammad” dan "Gordon's dry gin for woman" untuk yang bernama “Maria” setiap Kamis di gerai Club 1 Pentagon, Mega Kuningan, Campus Karawaci, Pondok Indah, PIK, Ground Tanjung Duren, Bandung Karangsari, Kertajaya, Graha Famili, dan Medan.

Campaign yang diluncurkan pada Kamis, 23 Juni lalu ini langsung mengundang amarah masyarakat. Akhirnya, tak lama, pihak Holywings mengunggah permohonan maaf. 

Menurut keterangan pihak Holywings, mereka tidak mengetahui adanya campaign ini. Maka itu, mereka akan menindaklanjuti tim promosi dengan sanksi yang sangat berat. 

Pernyataan tersebut kembali menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Ada yang menilai seharusnya manajemen perusahaan yang bertanggung jawab dan bukan karyawannya. Di sisi lain, ada anggapan seharusnya karyawan yang terlibat berani menolak mengerjakan campaign yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai di masyarakat.

Sejauh ini, ada 6 karyawan Holywings yang sedang ditahan oleh Kepolisian Resor Jakarta Selatan. Keenam tersangka tersebut adalah laki-laki berinisial EJD (27) selaku direktur kreatif yang berperan mengawasi empat divisi, perempuan NDP (36) selaku head tim promotion yang mendesain program dan meneruskan ke tim kreatif.

Lalu, laki-laki DAD (27) sebagai desain grafis, perempuan EA (22) sebagai admin tim promosi yang mengunggah konten, perempuan AAB (25) sebagai social officer yang mengunggah sosial media terkait Holywings. Terakhir, perempuan AAM (25) sebagai admin tim promosi yang memberikan request kepada tim kreatif dan memastikan sponsor untuk acara di Holywings.

Melansir Kompas.com, keenam tersangka dikenakan Pasal 14 ayat 1 dan 2 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 156 atau Pasal 156A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait penistaan agama.

Mereka juga dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) larangan ujaran kebencian terkait suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).