Seniman perempuan Indonesia: kenali 5 tokoh dan karyanya!
Seperti perkembangan kebanyakan bidang ilmu lainnya, acap kali tokoh-tokoh yang disoroti adalah nama-nama lelaki. Dalam seni rupa modern Indonesia sendiri, mungkin tak asing terdengar sosok seperti Raden Saleh, S.Sudjojono, hingga Affandi.
Mengutip tulisan Linda Nochlin, “Why There Have Been No Great Women Artist” (Mengapa Tidak Ada Perempuan Perupa Terkenal), disebutkan bahwa minimnya representasi perempuan dalam seni rupa terjadi salah satunya karena cara pandang yang mengobjektifikasi dan merendahkan perempuan. Pandangan itu tertanam dalam pencatatan sejarah arus utama seni rupa dunia.
Namun, di balik itu semua banyak perempuan perupa atau seniman perempuan yang berperan penting bagi perkembangan seni rupa tanah air dari masa ke masa. Tokoh-tokoh ini berkarya dengan berbagai macam medium dan gaya seninya masing-masing, dan membahas topik yang relevan bagi pribadi dan generasi pada masanya.
Lantas, mari berkenalan dengan 5 tokoh seniman perempuan Indonesia, kisahnya, dan karya-karyanya, dalam artikel ini!
5 tokoh dan karya seniman perempuan Indonesia
1. Emiria Sunassa (l. 1895, d. 1964)
Emiria Sunassa merupakan salah satu sosok yang memberi partisipasi penting dalam perkembangan seni lukis modern di Indonesia. Pasalnya, Sunassa ikut menggagas kelompok Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) yang diketuai Agus Djaja Suminta, S. Sudjojono, dan sederet perupa lainnya. Kelompok seni itu dibentuk di tengah merajalelanya pelukis Belanda dan negara Eropa lainnya.
Pelukis satu ini, awalnya menempuh pelatihan perawat di Sekolah Cikini dan selama Perang Dunia I, Emiria menjelajahi belgia dan Austria untuk belajar seni lukis di bawah bimbingan sosok bernama Guillaume Frédéric Pijper.
Emiria lantas mendirikan PERSAGI setelah kembali ke Indonesia. Selanjutnya, lukisan-lukisan Emiria dikenal dengan kemampuannya untuk menampilkan sisi kelam dari bangsa yang terpinggirkan, berbeda dengan lukisan para pelukis kolonial yang hanya menampilkan keindahan kehidupan nusantara.
Salah satu karya yang menunjukkan gagasan tersebut ialah lukisan “Pengantin Dayak” (1941-1946). Melansir Goethe-Institut, semasa hidupnya Emiria kerap melukiskan sosok-sosok dari berbagai suku tradisi nusantara.
2. Umi Dachlan (l. 1942, d. 2009)
Umi Dachlan merupakan seniman yang berpengaruh besar bagi perkembangan seni lukis abstrak di Indonesia. Mengutip ART AGENDA S.E.A, lukisan Umi dikenal dikenal dengan penggunaan warna-warna organik yang kontras, dengan garis merah maroon dan aksen emas.
Lulus dari pendidikan seni di Institut Teknologi Bandung (ITB), Umi banyak terpengaruh oleh ajaran seniman Ahmad Sadali. Karya-karya Umi banyak terinspirasi dari filosofi Islam, lanskap alam, dan musik. Mengapa memilih lanskap alam? Ternyata, bagi Umi Dachlan, alam dipilihnya sebagai gambaran dari kebesaran Sang Pencipta. Sejalan dengan pandangan kepercayaan umat muslim.
Metode berkarya yang digunakannya cenderung panjang dengan mengedepankan proses kontemplasi. Kebanyakan lukisan Umi Dachlan memiliki banyak lapisan cat, serta memiliki tekstur menyerupai tanah dan bebatuan.
Karya-karyanya telah ditampilkan di banyak pameran kelompok lintas negara, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Belgia, hingga Belanda. Ia merupakan salah satu seniman yang satu generasi dengan pelukis-pelukis lainnya, seperti Popo Iskandar, Fadjar Sidik, Nashar, dan Zaini.
Selain menjadi perupa tersohor tanah air, Umi Dachlan juga menjadi dosen perempuan pertama di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB pada 1968, setahun setelah ia menyelesaikan studi di sana.
3. Siti Adiyati (l. 1951)
Siti Adiyati, yang dikenal dengan nama sapaan Atik, merupakan seorang perupa, penulis, dan salah satu pendiri Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI).
Pada 1980-an, ia rutin menulis untuk koran, majalah, dan jurnal seni rupa di Indonesia. Sekembalinya dari perjalanannya ke Jepang dan Prancis, ia menemukan kembali koleksi hasil pertukaran "Jakarta-Paris 1959" lalu menginisiasi kerja pendataan kembali, pengarsipan, konservasi, dan pameran koleksi ini kepada publik pada 1992. Bersama Gendut Riyanto, FX Harsono, dan Hendro Wiyanto, ia juga menerbitkan jurnal DIALOG Seni Rupa (1990-1994).
Pada pameran Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia pada 1977 silam, bersama Jim Supangkat, FX Harsono, Bonyong Munni Ardhi, dan perupa-perupa muda lainnya pada masa itu, Siti Adiyati menampilkan beberapa karyanya dalam bentuk seni instalasi.
Arahmaiani (l.1961)
Arahmaiani Feisal, yang dikenal dengan nama Arahmaiani merupakan seniman yang mulai aktif berkarya di tanah air sejak 1980-an. Melansir Indonesian Visual Art Archive (IVAA), karya-karya seni yang dihasilkan Arahmaiani hadir dalam berbagai bentuk, terutama seni performance, diikuti dengan medium lainnya seperti lukisan dan instalasi.
Seniman satu ini pertama berpameran di Bandung dalam perhelatan “Accident I” pada 1981 silam. Selanjutnya, ia menggelar pameran tunggal pertamanya pada 1987 bertajuk “My Dog is Dead and Then He Flew” di Centre Culturelle Française, Bandung.
Melalui karya-karyanya, Arahmaiani banyak membahas isu soal gender dan kepercayaan, serta kritik terhadap kondisi sosial pada masanya. Salah satu buatan Arahmaiani yang dianggap sebagai karya terpentingnya sebagai seniman ialah “Traditions/Tension” yang dipamerkan di Asia Society New York pada 1996 silam.
Di sisi lain, karya berjudul “Lingga Yoni” dan “Etalase” yang dibuatnya pada 1994 sempat menuai kontroversi lantaran dianggap menghina agama. Namun menurut kurator Lola Lenzi, karya Arahmaiani mampu mengaburkan batas antara ‘kami’ dan ‘mereka’, sehingga respon yang diterima akan sangat beragam.
Mella Jaarsma (l. 1960)
Mella Jaarsma merupakan seniman kelahiran Belanda yang telah menetap di Indonesia sejak memulai studinya di Institut Kesenian Jakarta pada 1984 silam. Lalu, Jaarsma melanjutkan kuliahnya di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta pada 1985 dan menetap di kota yang sama hingga hari ini.
Pada 1988, Jaarsma bersama Nindityo Adipurnomo menjadi penggagas ruang seni kontemporer pertama di Indonesia, yaitu Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, yang berperan penting dalam dunia kesenian hingga kini.
Seperti apa yang ditampilkan pada pamerannya, pendiri Cemeti itu dikenal lewat karya khasnya yang menggunakan kostum sebagai bahasa visual utamanya. Selain itu, Jaarsma juga kerap bekerja dengan medium lain mulai dari instalasi, drawing, lukisan, dan seni performance.
Menurut Alia Swastika dalam tulisan pameran “Performing Artifacts: Objects in Question” di ROH Projects pada 2022, dalam karya-karyanya Jaarsma menggunakan riset terkait isu sejarah, kolonialisme, antropologi, dan narasi-narasi pasca-antroposen.
Hal itu dapat dilihat dalam karya-karya Jaarsma seperti “Lubang Buaya” (2014) yang berkaitan dengan peristiwa 30 September 1965, serta “Pertama ada Hitam” (2021) yang membahas perdagangan kulit kayu sebagai cinderamata di Papua atas pengaruh era kolonialisme.