Seni rupa minim inklusi bagi difabel, Open Arms gelar program gaet aktivis dan ruang seni
Yayasan Selasar Sunaryo belum lama ini menggelar program yang mengupas soal permasalahan dan potensi solusi atas isu aksesibilitas dunia seni rupa Indonesia bagi para difabel.
Program “Dengar Pendapat” (Hearing) dan “Diskusi Terpumpun” (Focus Group Discussion) tersebut rupanya melengkapi proyek Open Arms (Lengan Terkembang) yayasan tersebut.
Dihelat pada 8-9 Maret kemarin, kedua program diikuti perwakilan aktivis difabel, komunitas kreatif, hingga seniman difabel yang memaparkan perspektif mereka tentang seni dan disabilitas di Tanah Air.
Sebelum sampai pada diskusi, program ini diawali proses riset di sejumlah wilayah yang menjadi poros kesenian yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, hingga Malang, di mana TFR menjadi salah satu kolaboratornya.
Pasalnya, riset dan dua kegiatan diskusi yang menjadi jantung dari proyek Open Arms tersebut tak lain ialah dalam upaya meningkatkan inklusivitas bagi para difabel dalam dunia seni rupa.
Pasalnya, menurut penjelasan Open Arms, meski kegiatan mengunjungi acara seni kian populer dalam dua puluh tahun terakhir, presentasi partisipan maupun pengunjung difabel masih minim.
Hal itu seolah menjadi bukti bahwa pameran seni rupa belum menjadi ruang edukasi yang inklusif.
“Dengar Pendapat” dan “Diskusi Terpumpun” Open Arms
Kegiatan “Dengar Pendapat” (8/3), dipandu oleh tiga narasumber utama, sebut saja Faisal Rusdi anggota Asosiasi Seniman Lukis Mulut dan Kaki (AMFPA/Association of Mouth and Foot Painting Artists).
Lalu, hadir pula Farhan Helmy sebagai Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS Indonesia), serta Dessy Nur Anisa Rahma selaku pendiri Pulas Katumbiri (PUKA).
Selanjutnya, pada Kamis (9/3), “Diskusi Terpumpun” mempertemukan pada pengelola ruang, penyelenggara pameran, festival hingga biennale seni rupa.
Kegiatan yang berlangsung pada hari kedua ini ada untuk mendiskusikan langkah-langkah bersama yang dapat dilakukan untuk meningkatkan inklusivitas bagi para difabel.
Pada kegiatan itu, peserta diisi perwakilan dari institusi besar Indonesia, termasuk Galeri Nasional Indonesia, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum MACAN, Komunitas Salihara, Yayasan Jogja Biennale, hingga ARTJOG.
Baca juga: Mengapa industri fesyen di Indonesia harus lebih fokus pada fesyen adaptif
Minimnya pemahaman kebutuhan difabel jadi masalah utama
Menurut Faisal Rusdi dari AMFPA, belakangan ini semakin banyak komunitas difabel yang bertujuan untuk memberdayakan para anggotanya.
Hal tersebut pun didukung dengan sorotan sejumlah media massa termasuk siaran televisi yang mengundang mereka untuk membagikan kisahnya.
Namun, sayangnya, berdasarkan pengalaman Rusdi, pembingkaian berita yang digunakan masih sekadar memandang para difabel sebagai inspirasi, mengundang simpati, dan rasa kasihan.
Selain itu, dari segi ruang kesenian, AMFPA selaku asosiasi para pelukis yang diawali seniman difabel Jerman, kerap menghadapi masalah tiap hendak melangsungkan pameran.
Pasalnya, minimnya aksesibilitas fisik dari ruang kesenian membuat mereka terpaksa memilih hotel sebagai ruang pameran utamanya.
Bahkan, AMFPA sempat hampir berkolaborasi dengan Dewan Kesenian Jakarta tapi gagal karena lokasi yang disarankan, Taman Ismail Marzuki, ternyata belum aksesibel bagi difabel.
Di sisi lain, Farhan menyatakan, aksesibilitas non-fisik dalam perhelatan kesenian pun masih minim.
Padahal menurut Helmy, museum, galeri, dan ruang seni lainnya memiliki fungsi sebagai, “ruang ekspresi yang otentik, tidak sekadar imajinasi yang tidak terefleksikan pada realitas.”
Aksesibilitas ruang seni bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga akses informasi
Pada “Diskusi Terpumpun” yang dipandu Dr. Anne Nurfarina, advokator disabilitas dan akademisi Universitas Multimedia Nusantara, Anne menugaskan para peserta untuk mendiskusikan soal aksesibilitas, program, dan pendampingan bagi para difabel.
Kelompok diskusi pertama yang merespons tema “Aksesibilitas Ruang Seni” menyampaikan, aksesibilitas ruang seni termasuk galeri bukan hanya perihal infrastruktur fisik, melainkan menyentuh isu non-fisik yakni informasi.
Alhasil, seharusnya ruang seni adaptif pada kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya pengunjung reguler.
Selanjutnya, dibutuhkan modul standarisasi aksesibilitas, hingga akses informasi yang bisa berbasis teknologi maupun fisik seperti braille untuk para difabel netra.
Tak lupa, ruang-ruang seharusnya membuka lapangan kerja bagi para difabel, yang bisa mendorong akses fisik yang memadai.
Pelibatan dan pendampingan difabel menuju kemandirian jadi solusi utama
Selanjutnya, kelompok kedua dengan tema “Program Seni Rupa yang Inklusif” diwakilkan oleh Ibrahim Soetomo dari Salihara Arts Center menyampaikan bahwa program-program termasuk pameran oleh institusi mapan kebanyakan menerapkan sistem top-down.
Maka dari itu, perlu dilakukan pelibatan para difabel agar mereka memiliki keterwakilan suara, terepresentasikan dan sudut pandangnya juga terlihat.
Selain itu, ruang seni seharusnya merangkul difabel untuk mengunjungi program mereka dengan fasilitas yang mumpuni.
Terakhir, pada topik “Pendampingan Menuju Kemandirian” yang digarap oleh kelompok ketiga, dijelaskan bahwa pendampingan berguna agar seluruh publik termasuk difabel menjadi setara.
Menurut mereka, cara paling mendasar yang bisa dilakukan sebuah penyelenggara acara seni ialah menjalin kolaborasi dengan komunitas dan advokat difabel, untuk mendorong kemandirian difabel dalam dunia seni rupa.