Koalisi Seni menerbitkan buku panduan kebebasan berkesenian

Koalisi Seni menerbitkan buku “Panduan Praktis Kebebasan Berkesenian” pada Kamis (6/7) lalu untuk mengakomodasi kebutuhan informasi mengenai kebebasan berkesenian.

Buku yang dapat diunduh secara gratis ini terbit atas dukungan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), serta memuat sejumlah topik bahasan.

Beberapa pembahasan tersebut antara lain hak-hak seniman, upaya mengurangi risiko pelanggaran, langkah atau penanganan jika pelanggaran kebebasan berkesenian terlanjur terjadi, sampai kondisi kebebasan berkesenian di Indonesia.

Menurut Koordinator Penelitian Koalisi Seni Ratri Ninditya, peluncuran buku “Panduan Praktis Kebebasan Berkesenian” dilatarbelakangi kurangnya kebijakan yang mendukung seniman di tengah banyaknya kasus pelanggaran kebebasan berkesenian di Indonesia.

“Kebijakan yang mendukung seniman masih sedikit sekali, sementara ruang berkesenian belum aman dan belum mudah diakses,” ujarnya dalam acara peluncuran buku tersebut, dikutip dari siaran pers yang diterima TFR, Senin (10/7).

Ninin menjelaskan, terdapat sejumlah pola yang diidentifikasi dari pelanggaran kebebasan berkesenian di Indonesia, yakni sensor, penahanan, tuntutan hukum, pemenjaraan, pelecehan, kekerasan, penyerangan, sanksi dan denda, serta larangan bepergian.

Baca juga: Koalisi Seni luncurkan sistem pelaporan pelanggaran kebebasan berkesenian

Sebagai pelengkap situs pemantau kebebasan berkesenian

Adapun penerbitan buku tersebut menyusul peluncuran situs kebebasanberkesenian.id beberapa waktu lalu. Situs tersebut merupakan basis data sekaligus sistem pemantauan kebebasan berkesenian.

Kehadiran situs kebebasan berkesenian memungkinkan masyarakat untuk mencatatkan pelanggaran kebebasan berkesenian yang dialami atau diketahuinya.

Pendataan ini menjadi penting mengingat Indonesia belum mencantumkan kondisi kebebasan berkeseniannya dalam laporan empat tahunan pada 2016 dan 2020 lantaran tidak adanya data.

Peluncuran situs dan penerbitan buku ini merupakan bagian dari serangkain kerja advokasi Koalisi Seni untuk mendukung kebebasan berkesenian yang dilakukan secara berkala sejak tahun 2020 lalu.

Lebih jauh, buku panduan ini menjelaskan secara terperinci berbagai mitigasi risiko dalam menangani pelanggaran kebebasan berkesenian.

Beberapa hal yang diterangkan seperti bagaimana seniman atau penikmat seni disarankan untuk bersikap tenang agar dapat berstrategi dengan matang; kemudian mengamankan diri, karya, hingga data pribadi; serta mencari solusinya dan menyimpan barang bukti.

LBH masih menangani banyak kasus pelanggaran

Selaras dengan Ninin, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Fadhil Alfathan mengatakan pihaknya masih sering mendapati pola pelanggaran kebebasan berkesenian.

Misalnya, penolakan sejumlah elemen masyarakat terhadap berlangsungnya Belok Kiri Fest pada 2016 silam karena dianggap berkaitan dengan komunisme. 

Padahal, acara tersebut telah mengantongi izin untuk beracara di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.

Fadhil mengatakan, “Ini pola bahwa memang ada perpaduan persoalan birokrasi, entah sifatnya perizinan atau pemberitahuan.”

Contoh lainnya ialah serangan digital yang mengancam pekerja seni. Sebagaimana tertuang dalam riset Freedom House 2022 yang menyebut kebebasan internet global menurun selama 12 tahun berturut-turut.

Secara umum, sepanjang 2022, terdapat 33 peristiwa pelanggaran kebebasan berkesenian di Indonesia, dengan rincian pada bidang seni musik (21 peristiwa), tari (11 peristiwa), teater (lima peristiwa), seni rupa (empat peristiwa), film (dua peristiwa), dan sastra (satu peristiwa).