Manga diawetkan pada kertas tradisional Jepang sebagai simbol kedamaian

Sebuah proyek budaya terbaru telah dimulai di Prefektur Fukui, Jepang, untuk mengawetkan gambar manga pada kertas tradisional Jepang. Menurut sang inisiator, Tomatsu Tanaka, proyek ini merupakan simbol dari kedamaian yang kekal.

“Kita dapat menikmati manga karena kita telah mencapai kedamaian. Kami akan terus melestarikan gambar manga sebagai simbol dari kedamaian yang kekal,” Tomatsu yang juga merupakan kepala asosiasi pelestarian budaya washi dan manga, dikutip dari The Mainichi, Senin (29/5).

Saat ini, tahap pertama proyek tersebut tengah berlangsung dan diikuti oleh empat mangaka terkenal.

Melansir Game Rant, proyek ini memiliki dua arti, yakni untuk melestarikan budaya manga untuk generasi yang akan datang, serta mengawetkan seni pembuatan kertas tradisional yang hanya ada di Jepang.

Sebagai informasi, kota Echizen di Fukui, Jepang, merupakan tempat kelahiran kertas washi, sejenis kertas tradisional Jepang yang dibuat menggunakan tangan.

Manga untuk proyek ini digambar di atas selembar kertas washi spesial bernama gampi, yang dibuat dari serat pohon gampi.

Jenis kertas tersebut dikenal sebagai salah satu kertas paling tahan lama di dunia. Bahkan, beberapa dokumen dan riwayat tradisional yang ditulis di atas kertas gampi berhasil diawetkan hingga lebih dari 1.300 tahun!

Baca juga: Mengenal 5 macam genre anime dan mangaka legendarisnya

Empat mangaka telah berpartisipasi

Adapun keempat mangaka yang berpartisipasi dalam tahap pertama proyek ini ialah kreator “Ashita no Joe” Tetsuya Chiba, kreator “Thermae Romae” Mari Yamazaki, kreator “Yamato Takeru” Yoshikazu Yasuhiko, dan kreator “Jin” Motoka Murakami.

Keempatnya telah menggambar karakter dari salah satu karya terpopulernya atau membuat karya orisinal baru dengan gaya khasnya masing-masing.

Sebagai contoh, Murakami yang memilih untuk menggambar perempuan dari zaman Edo yang tengah menulis surat untuk seorang samurai sebagai permohonan untuk masa depan yang damai, di mana orang dapat terus menikmati manga.

“Manga bukanlah sesuatu yang dapat dinikmati orang di waktu konflik. Saya membuat gambar ini dengan harapan kedamaian dapat berlangsung untuk waktu yang lama,” ujar Murakami.

Para kreator manga tersebut berharap, karya yang mereka buat di atas kertas gampi dapat terus diabadikan sampai ribuan tahun mendatang.

Dengan begitu, apa pun budaya Jepang dan dunia nantinya, generasi di masa depan tetap bisa melihat seperti apa gambaran budaya manga di tahun 2023.

Alih-alih fokus pada pelestarian digital saja, proyek ini menghadirkan keunikan untuk melestarikan karya seni dengan cara yang lebih tradisional.

Tanamkan budaya dan tradisi Jepang

Di lain sisi, meskipun gaya menggambar para mangaka tersebut sudah menampilkan gaya manga modern, namun seluruh karya dalam proyek ini dibuat menggunakan tinta yang selaras dengan tradisi asli Jepang.

Saat ini, kertas gampi sendiri hanya digunakan untuk membuat kaligrafi dan printmaking. Artinya, masa depan jenis kertas yang satu ini masih abu-abu mengingat penggunaannya yang masih terbatas.

Kehadiran proyek ini diharapkan tak hanya dapat melestarikan manga sebagai karya seni, tetapi juga seni dalam membuat jenis kertas tradisional ini.

Manga yang dibuat di atas kertas gampi oleh keempat mangaka tadi dipamerkan di Museum of Washi and Culture di Echizen sebagai bagian dari gelaran Manga Shoso-in Exhibition yang digelar dari 29 April lalu dan akan berlangsung sampai 26 Juni mendatang.

Keempat mangaka tersebut berharap, karyanya dapat dipamerkan di seluruh dunia ataupun menarik minat orang-orang dari belahan dunia lain.

Sebuah museum di Polandia saat ini telah menunjukkan ketertarikannya untuk menggelar pameran serupa.

Ke depannya, proyek ini rencananya akan menggandeng sebanyak 20-30 mangaka populer lainnya untuk berpartisipasi.

Di museum tempat pameran digelar, akan disediakan pula kotak untuk mengumpulkan donasi yang akan disalurkan kepada para pengungsi perang dan bencana melalui kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi.