Jurnalis peraih Nobel Maria Ressa dibebaskan dari tuduhan penggelapan pajak

Jurnalis asal Filipina peraih penghargaan Nobel, Maria Ressa, telah dibebaskan dari empat tuduhan penggelapan pajak terhadap dirinya dan media Rappler yang didirikannya. 

Pengadilan Filipina mengetok palu untuk Ressa pada Rabu (18/1) kemarin, setelah dirinya berjuang melawan tuduhan yang menimpanya sejak 2018 silam.

Melansir DW (18/1), Maria Ressa mengatakan bahwa gugatan yang diberikan oleh pemerintah mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte itu, “bermotif politik,” alam upaya menghentikan kerja-kerja jurnalis. 

Perjuangan Ressa melawan tudingan hukum yang pertama didapatnya selama kepemimpinan mantan presiden Duterte, disinyalir terus berlanjut hingga masa Presiden Ferdinand ‘Bongbong’ Marcos Junior yang masih menjabat hingga hari ini. 

Sebagai informasi, Maria Ressa meraih penghargaan Nobel Peace Prize pada 2021 silam atas upayanya melawan pembatasan berekspresi di Filipina. 

Baca juga: Besar risiko ketimbang apresiasi: kisah para lulusan jurnalistik yang taubat jadi jurnalis

Maria Ressa: Kebenaran menang, keadilan menang

CEO dan pendiri media Rappler yang kritis terhadap kekuasaan pemerintah itu mengatakan, “Butuh empat tahun dan dua bulan,” untuk mencapai keadilan baginya.

Pasalnya, perjuangan Ressa melawan tudingan-tudingan itu tidaklah mudah. Perempuan yang kini berusia 59 tahun bersama Rappler telah memohon tak bersalah ke pengadilan pada 2020 silam. 

“Namun hari ini, fakta menang. Kebenaran menang. Keadilan menang,” tutur Ressa selepas pengadilan di tengah pekan tersebut. 

Media Rappler pun turut mengutarakan pandangannya terhadap putusan pengadilan, di mana hal itu menggambarkan, “kemenangan fakta daripada politik.” 

Rappler juga mengujar syukur atas pengadilan yang, “mengakui bahwa tuduhan (tersebut adalah) penipuan, palsu, dan lemah,” tak mendasar. 

Duduk perkara tuduhan ‘bermotif politik’ terhadap Maria Ressa

Mantan kepala biro CNN itu mendirikan Rappler pada 2012 silam. Media itu berdiri sebagai upaya untuk menyingkirkan misinformasi dan penyalahgunaan dokumen Hak Asasi Manusia (HAM) di Filipina.

Pandangan kritis Rappler itu terutama menyasar kebijakan mantan presiden Duterte, salah satunya adalah, “perang melawan penyalahgunaan narkoba,” yang brutal dan mematikan. 

Hingga akhirnya, di bawah kepemimpinan Duterte, pada 2018 Ressa dan Rappler digugat atas tuduhan penggelapan pajak ketika media itu tengan mendapat sokongan dana dari investor asing. 

Lebih lanjut, Rappler juga dituding menyalahi ketentuan konstitusional terkait larangan kepemilikan dan kontrol asing terhadap perusahaan media di Filipina.

Alhasil, pasa Juli 2022 Rappler diperintahkan untuk berhenti beroperasi dengan menutup situs mereka. 

Akan tetapi, pengadilan (18/1) menemukan bahwa pendanaan yang tercatat dalam dokumen finansial mereka, sebenarnya tidak wajib pajak. 

Meski, hingga kini putusan legal terhadap izin beroperasi Rappler masih belum mendapat kejelasan. 

Perjuangan meraih kebebasan berekspresi yang masih panjang

Perjalanan Ressa meraih keadilan seutuhnya masih sangat panjang, mengingat dirinya dan media online Rappler masih menghadapi tiga tuntutan kasus kriminal lainnya.

Salah satunya ialah, gugatan pencemaran nama baik yang didapat pada 2020 silam. Kasus itu kini masih menghadapi naik banding. 

Bila pengadilan menyatakan dirinya bersalah, Ressa harus menghadapi pidana dibui selama hampir tujuh tahun. 

Namun, kepada BBC (18/1) perempuan jurnalis itu mengujar dengan penuh harapan, “Ya, seperti perkataan Martin Luther King, ini semua akan membutuhkan waktu.”

“Akan tetapi, selama saya membaca seluruh putusan, tak ada alasan untuk membawa kami (Ressa dan Rappler) ke pengadilan… Kami bukanlah penjahat pajak… Ini (putusan pembebasan) adalah hari yang sangat penting karena akan membawa perubahan bagi Filipina,” pungkas Ressa.