Jurnalis ungkap Patagonia eksploitasi pekerja dan memproduksi pakaian di pabrik fast fashion

Jika dilihat dari luar, Patagonia, merek yang terkenal dengan konsep keberlanjutannya tampak seperti sudah menyejahterakan para pekerjanya yang merupakan pekerja tekstil.

Namun, sebuah laporan baru oleh Follow The Money (FTM) menemukan fakta bahwa perusahaan telah memproduksi pakaiannya di pabrik yang sama dengan pakaian dari merek fast fashion lainnya.

Hal ini memicu dugaan adanya kemungkinan karyawan Patagonia bekerja dalam kondisi buruk yang sama dengan perusahaan pakaian lainnya.

Pasalnya, menurut laporan tersebut yang dilansir dari fashion United (15/6), Patagonia memproduksi beberapa pakaiannya di sebuah pabrik fast fashion di Sri Lanka. 

Rupanya, FTM melakukan investigasi langsung dan berbicara dengan beberapa karyawan, termasuk manajer pabrik, Kevin Fernando.

Fernando menyatakan tidak melihat adanya perbedaan antara bekerja di Patagonia dengan bekerja di merek fast fashion lainnya.

Baca juga: Bahan kain kafan jadi fashionable di tangan penjahit asal Sulawesi Selatan

Patagonia mengeksploitasi pekerja tekstil menurut laporan Follow The Money

Agar bisa memenuhi syarat produksi, pemasok harus memenuhi berbagai kriteria keberlanjutan yang tercantum dalam kode etik Patagonia.

Seperti tidak boleh mempekerjakan anak atau kerja paksa, melakukan pelecehan (fisik, seksual dan verbal), dan manajer tidak boleh meminta karyawan lembur untuk memastikan kondisi kerja yang sehat.

Kemudian, laporan Follow The Money menemukan berbagai pelanggaran yang dilakukan Patagonia. Salah satunya yaitu pekerja tekstil di pabrik yang membuat pakaian bekerja hingga 17 jam sehari.

Itu artinya, selama seminggu pekerja tekstil bekerja kurang lebih selama 80 jam. 

Jam kerja ini jauh dari ketentuan jam kerja yang sesuai dengan kode etik dan diizinkan secara hukum, di mana karyawan tidak boleh bekerja lebih dari 60 jam seminggu.

Ketika dihubungi FTM, Patagonia meyakinkan bahwa karyawannya bekerja maksimal lima hari seminggu dengan jam kerja 10 jam sehari. Namun, seorang manajer mengaku dia bekerja shift selama 14 jam.

Melalui perbincangan FTM dengan Stand Up Movement Lanka, karyawan bahkan terlihat menggunakan obat-obatan untuk bisa menjaga tubuh memenuhi target produksi dan menjaga shift-nya.

Patagonia menyebut produksi di pabrik fast fashion sebagai keuntungan

“Kami adalah pemain yang cukup kecil di industri pakaian. Itulah mengapa kami selalu mencari cara untuk meningkatkan dampak dan standar industri secara menyeluruh. Untuk itu, penting untuk terus berpartisipasi dalam fasilitas produksi bersama,” jelas pihak Patagonia kepada FTM.

Mereka mengatakan bahwa ingin semua pekerja mendapatkan upah yang layak. Patagonia sendiri menyatakan 40 persen pabriknya sudah membayar upah yang layak.

Namun, pabrik mana saja yang sudah melakukan hal tersebut tidak disebutkan oleh mereka. Untuk menanggapi laporan FTM, Patagonia pun mengirimkan pernyataan lanjutan.

“Kami bekerja sama dengan pemasok dan pakar tenaga kerja kami untuk menyusun dan menguji strategi yang akan memungkinkan pabrik membayar lebih banyak kepada pekerjanya, dimulai dari meningkatkan efisiensi lini produksi dan sistem SDM. Ini adalah pekerjaan rumit yang kami coba selesaikan bersama dengan pemasok kami.”

Dalam pernyataan tersebut, Patagonia membeberkan upaya mengatasi kesenjangan upah melalui hadiah yang terkait dengan program mereka dengan Fair Trade USA

“Salah satu cara Patagonia mencoba mengatasi kesenjangan upah adalah melalui hadiah yang terkait dengan program kami dengan Fair Trade US,” tambahnya.

“Patagonia telah membayar jutaan dolar dalam premi Perdagangan yang Adil di Sri Lanka saja, dan premi tersebut telah diberikan kepada lebih dari 75.000 karyawan di 10 negara di seluruh dunia. Nantinya, premi dapat digunakan sesuai dengan keinginan karyawan,” tutupnya.