Seksploitasi sinema 1990-an: Buntut krisis multidimensi di era terkelam film Indonesia

Ditulis oleh Elma Adisya | Read in English

Generasi 80-90-an yang tumbuh besar dengan budaya menonton televisi pasti tak asing dengan film 90an legendaris dari Trio Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro). Pada zamannya, film mereka memiliki ciri khas tersendiri, seperti adegan humor kasar campur vulgar (slapstick) dan karakter perempuan seksi. 

Meskipun beberapa filmnya memiliki alur cerita yang unik, salah satu hal yang bisa menggaet penonton untuk berbondong-bondong datang ke bioskop kala itu adalah judul film super click-baity dan ambigu dengan poster “panas” yang menampilkan aktris-aktris kawakan seperti Nurul Arifin, Sally Marcelina, dan Eva Arnaz dengan pose dan kostum yang menggugah.

Dari beberapa film yang TFR amati, sebagian besar film 90-an dari berbagai genre memang terang-terangan menampilkan judul dan gambar-gambar vulgar yang tentunya dimaksudkan untuk merangsang birahi penonton.

Baca juga: “Bernafas dalam lumpur”: behind Indonesian soft porn movies in the 70s-80s

Film 90an Warkop DKI

Film 90an Warkop DKI

Judulnya lebih vulgar dari filmnya?

Fenomena yang menarik bisa kita lihat film “Kenikmatan Tabu” yang dibintangi aktris legendaris Kiki Fatmala dan film aksi laga “Gairah Membara” yang dibintangi oleh aktor laga legendaris Barry Prima. “Kenikmatan Tabu” bercerita tentang balas dendam seorang anak perempuan bernama Rita (Kiki Fatmala) atas kematian ibunya yang dibunuh oleh mantan suami sang ibu.  

Walaupun berbicara soal balas dendam, sebagian besar plotnya berisi adegan-adegan panas yang tidak terlalu berpengaruh terhadap benang merah konflik. Adegan panasnya  rata-rata berdurasi satu hingga dua menit, yang isinya antara close up wajah si aktris yang sedang “asyik” atau adegan menggerayangi dengan efek slow motion. Sangat berbeda dengan film panas 70-an, yang mengemas adegan-adegan panas tersebut secara simbolik dan didukung plot cerita yang dibangun secara apik. 

Bagaimana dengan cerita laga Barry Prima? Banyak film yang dibintanginya yang merupakan film laga dengan bumbu cerita ala mafia vs aparat keamanan; agaknya saat itu memang cerita serupa tengah populer, apalagi di antara film-film dari Hong Kong. Namun, walau  genrenya laga dan penuh adegan tembak-tembakan, judul yang digunakan tetap semi-vulgar dengan gambar poster yang menjual sensualitas aktrisnya.

Jaringan bioskop eksklusif ubah perilaku menonton film

Melihat dinamika plot-plot film Indonesia era 90-an, kerap muncul pertanyaan mengapa seks menjadi ramuan utama di sebagian besar film Indonesia. Hal ini ternyata berkaitan erat dengan krisis multidimensi dalam industri film Indonesia kala itu.

Berbeda dari kondisi perfilman Indonesia era 70-80-an, film 90-an bisa disebut era krisis terparah perfilman Indonesia. Menurut riset yang dilakukan Eka Nada Shofa Alkhajar, pada 1992 produksi film Indonesia sangat terpukul mundur dalam segi jumlah dan banyaknya gedung bioskop yang mulai roboh secara tragis. Ada dua faktor utama dan beberapa faktor lain yang membuat karut-marut perfilman kala itu. Pertama, dari sisi produksi. Kedua, dari sisi peredaran film ke bioskop di seluruh Indonesia.

Dari sisi peredaran film, pada saat itu ada tantangan lain yang dihadapi oleh pemilik bioskop kelas dua, salah satunya monopoli jaringan bioskop Cineplex 21 Group milik Subentra Group (Sudwikatmono-Benny Suherman Putra). Dalam wawancara TFR dengan Rizki Lazuardi, Program Advisor untuk Berlinale Forum, ia menjelaskan bahwa saat itu, sebelum jaringan bioskop seperti Studio 21 muncul, bioskop di Indonesia hanya fokus pada aktivitas menonton film saja. 

“Saat itu, bioskop cuma untuk menonton film saja, ada yang khusus memutar film-film India,ada yang memutar satu jenis film saja. Lalu, beberapa ada yang dibedakan kelas penontonnya, dari posisi duduk dan jam tayang. Ketika jaringan Cinema 21 (dulu Studio 21) muncul, mereka menghadirkan pengalaman menonton yang baru menjadi one-stop entertainment,” ujar Rizki. 

Konsep one-stop entertainment ini disajikan oleh Studio 21 dengan membangun bioskop bersandingan dengan pusat perbelanjaan, yang di dalamnya juga terdapat pusat permainan dan loket makanan yang memajang mesin-mesin popcorn di depan. Hal ini ditambah lagi dengan film-film blockbuster Amerika yang lebih banyak ditayangkan di jaringan bioskop Studio 21.

“Karena film masih dibuat dengan pita seluloid, makanya jumlahnya sangat terbatas. Otomatis, saat didistribusikan yang utama ke bioskop 21 dulu, sebab distributor pengen filmnya laku dong. Selain itu, bioskop pengennya putar film yang menjamin untuk narik penonton,” lanjutnya.

Biaya produksi menjajah idealisme kreatif

Karenanya, bioskop kelas dua di luar jaringan bioskop 21, terutama yang beroperasi di daerah luar ibukota, kalah telak dalam persaingan mencari keuntungan. Kenapa keuntungan jadi yang utama? Selain untuk kantong sendiri, pengusaha bioskop daerah juga terbebani oleh kebijakan otonomi daerah untuk mengejar target pemasukan daerah (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman). 

Lalu, apakah pembuat film Indonesia terdampak juga? Sangat terdampak. Ketika bioskop kelas satu mengutamakan film blockbuster Barat untuk meraup untung, demi bersaing dengan film-film Barat itu, di Indonesia ada pandangan spekulatif dari para produsen film pada era tersebut yang tidak ingin bertaruh dengan ketidakpastian. Mereka tidak ingin membuat film dengan produksi yang balik modalnya tidak jelas, sehingga memilih formula yang pasti-pasti saja, yaitu film yang kental “seksploitasi”. 

Salah satu contoh kasus juga dipaparkan oleh Rizki. Dikutip dari buku Eric Sasono, saat itu  film “Gadis Metropolis” (1994) yang berhasil menggaet 200 ribu penonton dan “Gairah Malam”  (1993) yang dinikmati 265 ribu  penonton. Ini membuktikan kuatnya daya tarik film-film yang sarat seksploitasi. Sementara, “Plong (Naik Daun)”  (1991), sebuah sinema drama komedi karya Putu Wijaya, hanya mampu menggaet 8.400 penonton, dan “Si Kabayan Mencari Jodoh” (1994) hanya berhasil menarik 35.000 penonton. 

“Ketika si bioskop kelas dua ini tidak mampu menyediakan film blockbuster Barat, mereka cenderung nyari film yang lebih murah. Nah, film panas tadi sudah terbukti mendatangkan penonton. Apakah penontonnya banyak? Sudah pasti. Tapi menurut saya kala itu yang terpenting biaya produksinya murah.”

Wajah baru di dunia perfilman: Televisi swasta

Monopoli bioskop kelas atas dan ketimpangan distribusi film adalah dua dari sekian banyak faktor penyumbang mati surinya perfilman Indonesia era 90-an. Dalam riset yang sama, Eka mengatakan, perkembangan pesat saluran televisi swasta di Indonesia saat itu juga menjadi faktor besar lainnya. 

Sejak kehadiran Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 111 Tahun 1990, industri dan bisnis televisi semakin marak setelah kemunculan TVRI pada 1962. Sebelumnya, pada 1987, RCTI diizinkan siaran untuk pertama kalinya, disusul SCTV (1989), TPI (1991), ANTV (1993), dan Indosiar (1994). 

“Nah, TVRI punya program layar emas yang menayangkan film-film blockbuster, jadi orang-orang daerah yang tidak bisa mengakses bioskop bisa menikmati film-film ini lewat televisi,” kata Rizki. 

Kehadiran stasiun televisi swasta bisa dibilang menambah berwarna - tapi juga menambah runyam - ekosistem perfilman Indonesia. Mereka menghadirkan beragam hiburan bentuk baru, salah satunya sinetron Indonesia. Pada era ini, sinetron atau sinema elektronik hampir ada di setiap stasiun televisi, yang mengakibatkan kebutuhan pasokan program lokal semakin tinggi. 

Menurut riset Eka, hampir sebagian besar perusahaan film kala itu memilih banting setir menjadi rumah produksi. Salah satunya yang kini menjadi salah satu rumah produksi terbesar adalah Tripar Multivision Plus milik Raam Punjabi, yang dulu bernama Parkit Film. Efeknya ke industri film sudah jelas, yaitu makin kecilnya insentif rumah produksi untuk menciptakan film-film berkualitas, karena pada akhirnya, permintaan pasar menentukan produk yang beredar.

Alhasil, selama hampir sepuluh tahun, perfilman Indonesia bagaikan mati suri, sulit berkembang karena beragam hal, hingga akhirnya pada awal 2000-an mulai berhembus angin segar untuk industri ini. Ketika Indonesia masuk ke masa Reformasi, mulailah lahir kreativitas sineas Indonesia. Film-film yang dibuat pun mulai mendobrak formula arus utama era sebelumnya, dan hadirlah film-film seperti “Pasir Berbisik” dari sutradara Nan Achnas, “Ada Apa Dengan Cinta” dari sutradara Rudi Soedjarwo, dan “Ca-bau-kan” dari Sutradara Nia Dinata. Babak baru industri perfilman Indonesia pun hadir, mengganti lembaran kelam dekade pendahulunya. 


Artikel terkait


Berita terkini