Fesyen mewah: Hierarki, sejarah, dan wajahnya yang selalu berubah

Ditulis oleh Fany | Read in English

Baru-baru ini, seorang remaja bernama Zoe Gabriel dikritik oleh netizen karena video yang ia unggah di TikTok. Video tersebut—yang sudah ditonton lebih dari 21 juta kali—menunjukkan ia membeli sebuah tas baru di Charles & Keith, lalu menyebutnya sebagai tas “mewah” pertamanya. Netizen tampaknya tidak terima bahwa Charles & Keith dianggap sebagai “jenama mewah” dan mereka membombardir Zoe dengan komentar negatif. Jelas, beberapa menganggap jenama asal Singapura itu sebagai jenama mewah, sementara yang lain tidak. Lantas, apa yang sebenarnya dianggap sebagai “'jenama mewah”?

“Menurut saya, jenama-jenama mewah memiliki produk yang dibuat dengan baik dengan harga mahal, dan produknya eksklusif, tidak diproduksi secara massal,” kata Rara, kurator di belakang Curated Deals, pembelanja pribadi barang-barang fesyen mewah sejak 2016.

Seperti yang dikatakan Rara, ada beberapa ciri khas yang membuat jenama menjadi jenama mewah selain harganya yang tinggi dan keanggunan yang menjadi ciri khasnya. Pertama, mereka memiliki keahlian luar biasa yang dipadukan dengan warisan panjang jenama tersebut. Kedua, mereka membanggakan eksklusivitas, di mana kelangkaan adalah kuncinya. Selanjutnya, mereka menggunakan bahan berkualitas tinggi dengan perhatian cermat terhadap detail. Mereka juga menawarkan desain yang unik dan inovatif. Terakhir, mereka menawarkan layanan pelanggan yang sangat baik dengan pengalaman one-on-one yang tidak akan didapatkan dari jenama pasar massal.

Namun, jenama-jenama mewah dapat dilihat dengan cara yang berbeda berdasarkan standar kemewahan yang berlaku masyarakat; Rara percaya bahwa daya beli mungkin salah satunya.

“Mungkin bagi sebagian orang, Chanel dan Hermès tidak dianggap mewah karena mereka bisa membelinya semudah membeli kacang. Tapi untuk yang lain, seperti kasus Charles & Keith, jenama itu bisa dibilang mewah,” katanya.

Kemewahan pada zaman dahulu

Berabad-abad lalu, apa yang dianggap barang mewah berbeda dengan apa yang kita tahu sekarang. Di Cina kuno, sutra dianggap barang mewah dan digunakan untuk menenun pakaian upacara dan hadiah untuk utusan asing. Sutra merupakan barang yang sangat berharga dan siapa pun yang kedapatan menyelundupkan sutra akan dihukum mati. 

Mundur lagi lebih jauh, masyarakat Mesir kuno melakukan aktivitas memburu burung raksasa sebagai olahraga kerajaan semenjak periode pradinasti untuk menunjukkan kekuasaan raja terhadap alam. Hasil buruan, seperti telur dan bulu burung unta, dianggap sebagai barang mewah dan digunakan untuk dekorasi dan makanan mewah. Berbicara mengenai makanan mewah, Yunani kuno memiliki hal yang mirip. Ikan dan daging merupakan barang langka dan dianggap mewah karena hanya orang-orang kaya yang bisa menikmatinya.

Hierarki dalam jenama mewah

Terdapat berbagai tingkatan yang membedakan jenama mewah; suatu hierarki. Sebagai contoh, ada lima level dalam piramida fesyen. Haute couture berada di paling atas dengan mahakarya yang dibuat oleh perancang busana terkemuka dunia; made-to-measure, biasanya buatan tangan dengan keahlian dan kualitas tinggi. Hermès dan Chanel ada dalam segmen ini.

Di tempat kedua ada siap pakai. Siap pakai biasanya hadir di pagelaran busana sebagai ekspresi sang perancang busana dengan berbagai desain yang dibuat berdasarkan suatu kesempatan dan ukuran yang standar. Beberapa jenama yang populer di kategori ini adalah Louis Vuitton dan Fendi.

Difusi berada di posisi ketiga. Difusi terinspirasi oleh siap pakai, namun memiliki volume produksi yang lebih tinggi dan konsumen yang lebih muda. Kita bisa menemukan jenama seperti Ralph lauren dan Stella McCartney di sini. Posisi keempat ditempati “bridge”, yang diciptakan untuk menjembatani celah antara jenama mewah dan fesyen high street, seperti Coach.

Terakhir adalah pasar massal, di mana sang jenama bertujuan untuk mencapai sebanyak mungkin orang. Memadukan high street dan fast fashion, segmen ini memungkinkan konsumen untuk mengikuti tren tanpa mengeluarkan banyak uang, namun kualitasnya bukan yang terbaik. Jenama yang dapat kita temukan dalam segmen ini antara lain H&M dan Zara.

Kemudian, ada juga istilah pemasaran yang mengaburkan definisi jenama mewah, yaitu masstige. Istilah ini terdiri atas gabungan kata mass dan prestige (massal dan prestise), biasanya mendefinisikan premium namun mudah didapatkan. Jenama mewah biasanya memiliki lini masstige mereka sendiri. Contohnya, rumah fesyen mewah Armani memiliki lini masstige sendiri dengan nama Armani Exchange dan EA7.

Evolusi konsumen barang mewah

Dulu, barang mewah hanya tersedia bagi aristokrat atau “old money”. Namun kini, konsumen barang mewah semakin muda, terutama milenial dan generasi Z. Hal ini berlaku di pasar internasional dan pasar lokal. Rara mengatakan pada TFR, “Berdasarkan statistik Curated, sebagian besar pembelian datang dari konsumen berumur 25 tahun ke atas. Bagi gen Z, kami sering kali dicapai oleh orangtua mereka.”

Begitu pula dengan Kezia, seorang gen Z pembelanja barang mewah yang mulai berbelanja sendiri pada usia 19 tahun. Dia berkata, “Itu karena dompet YSL.” Kezia tertarik dengan barang-barang mewah karena awet dan desainnya tak lekang oleh waktu.

Bain & Co melaporkan bahwa gen Z dan bahkan yang lebih muda lagi, generasi Alpha, diperkirakan akan mencapai sepertiga dari pasar barang mewah pada 2030. Pertumbuhan pasar barang mewah juga diperkirakan akan tumbuh setiap tahunnya sebesar 3,47%, menurut laporan Statista.

Pertumbuhan itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti meningkatnya kekayaan pada kelompok masyarakat tertentu, dan terutama penggunaan media sosial. Deloitte menyatakan bahwa 85% konsumen barang mewah menggunakan media sosial untuk menemukan tren terkini, rekomendasi produk, dan rilis koleksi baru, terutama di antara konsumen wanita.

“Saya pribadi membeli tas Nylon re-edition Prada karena seringnya produk tersebut muncul di halaman media sosial saya meskipun pada awalnya saya tidak menganggapnya menarik. Begitu pula dengan Balenciaga Cagole dan Bottega Mini Jodie. Ada di media sosial, seperti semua orang memakai tas itu, maka orang lain juga menginginkannya,” kata Rara.

Dia menambahkan, “Influencer juga memainkan peran penting. Misalnya Polène. Banyak orang mengulas tentang seberapa bagus produknya dan mereka menjadi diburu meskipun faktanya jenama tersebut adalah pendatang baru di pasar barang mewah.”

Tren terkini di pasar barang mewah

Jenama-jenama mewah telah berubah dari karya yang dibuat khusus oleh bisnis kecil dengan distribusi eksklusif menjadi produksi massal berbagai barang mewah oleh perusahaan besar yang berfokus pada keuntungan. Setidaknya untuk beberapa jenama. Contohnya, Louis Vuitton Moët Hennessy (LVMH) adalah produsen barang mewah terbesar di dunia yang menaungi 75 jenama, termasuk Louis Vuitton dan Dior.

“Saat ini, kita melihat hadirnya berbagai cara yang digunakan oleh jenama-jenama mewah untuk masa depan, seperti inovasi dalam metaverse dan NFT,” kata Kezia.

Dunia menjadi semakin modern dengan metaverse yang terus berkembang, begitu pula jenama-jenama mewah. Mulai dari peragaan busana metaverse hingga NFT fesyen. Jenama-jenama mewah juga mendigitalkan cara konsumen untuk mencoba produk dengan menggunakan augmented reality dan virtual reality.

Jenama-jenama mewah juga mulai menjadi lebih sadar lingkungan, Kezia bercerita bahwa ada kebutuhan mengeksplorasi cara yang lebih sadar lingkungan untuk berbelanja barang mewah. Lebih dari sebelumnya, konsumen muda menjadi lebih sadar lingkungan saat mempertimbangkan pilihan fesyen mereka. Mereka juga tertarik pada kustomisasi dan pengalaman berbelanja unik yang menciptakan pengalaman yang imersif dan terkurasi, termasuk kolaborasi eksklusif yang mungkin berada di bawah payung kategorisasi jenama mewah, tambah Kezia.

Media sosial diperkirakan masih memiliki pengaruh kuat, meskipun Rara memiliki pandangan berbeda tentang tren pasar barang mewah saat ini, di mana opini publik muncul di media sosial setelah kasus Charles & Keith baru-baru ini.

“Kalau tidak ada media sosial, kita mungkin mengira Charles & Keith adalah jenama mewah. Namun, dengan opini publik, orang bisa mengatakan jenama tersebut dianggap mewah karena standar kemewahan orang berbeda-beda. Namun, menurut saya dalam jangka panjang kategorisasi jenama mewah akan tetap sama,” ujarnya.

Pada akhirnya, beberapa hal diharapkan tetap sama mewahnya, sementara beberapa aspek pasar barang mewah terbuka untuk berubah. Ekonomi, permintaan pasar, dan teknologi akan menentukan arahnya.


Artikel terkait


Berita Terkini