Reality show: Eksploitasi menjadi daya pikat utama?

Ditulis oleh Ardela Nabila | Read in English

Siapa yang tidak kenal dengan sosok Kim Kardashian, Harry Styles, atau bahkan Emma Stone? Mereka adalah segelintir seleb dunia yang namanya meroket dari tayangan reality show.

Kim Kardashian, yang saat ini tercatat memiliki kekayaan mencapai $1,2 miliar atau sekitar Rp17,6 triliun, meraih ketenaran internasional lewat reality show ikonik yang menampilkan kehidupan pribadinya, yakni “Keeping Up with the Kardashians” yang tayang pada 2007-2021.

Sementara itu, penyanyi solo asal Inggris Harry Styles yang sebelumnya tergabung dalam grup band pop ternama One Direction bersama Zayn Malik, Niall Horan, Louis Tomlinson, dan Liam Payne meraih popularitas usai mencuri perhatian Simon Cowell di ajang pencarian bakat “The X Factor” pada 2010.

Emma Stone, bintang dalam berbagai film ternama termasuk “The Amazing Spider-Man”, “La La Land”, hingga “Cruella”, pertama kali muncul di reality show sebelum sukses dan membintangi lebih dari 30 film. Ia debut di layar kaca dalam program “The New Partridge Family” pada 2004.

Masih banyak lagi talenta ternama dunia yang mendapatkan sorotan setelah muncul di reality show. Tak lupa talenta lokal seperti Putri Ariani yang baru-baru ini menerima Golden Buzzer dalam ajang “America’s Got Talent”.

Tak bisa dimungkiri, sejak dulu sampai saat ini, reality show masih menjadi salah satu genre acara televisi favorit para penonton. Era digital di mana hampir sebagian besar orang beralih ke platform streaming telah melahirkan lebih banyak lagi program acara realitas dengan segmentasi yang lebih spesifik.

Di platform streaming Netflix, misalnya, reality show dengan konsep kencan seperti “Single’s Inferno”, ”Perfect Match”, dan ”Love Is Blind” menjadi judul program terpopuler. Ada pula ”Physical: 100” yang mengusung konsep kompetisi.

Di Indonesia, acara realitas yang didasarkan pada lisensi dari luar negeri, seperti ”Indonesia’s Next Top Model”, ”MasterChef Indonesia”, dan ”Indonesian Idol”, menjadi program favorit setiap musimnya.

Banyaknya jenis reality show yang hadir dalam berbagai format tentu tak akan pernah habis untuk dibahas. Namun, dari beragam tema yang ada, terdapat satu persamaan yang terus melekat, yakni diramaikan oleh kontestan sebagai daya tarik utamanya.

Peserta sebagai kunci utama kesuksesan reality show

Seperti namanya, reality show merupakan program yang dibuat tanpa naskah dan apa adanya berdasarkan realitas. Namun, pada praktiknya, tim produksi tetap akan memberikan arahan khusus kepada peserta sebelum syuting dimulai.

Di samping itu, karena peserta atau kontestan merupakan elemen terpenting dalam genre ini (selain tentunya tema dan konsep), maka tim produksi pun menjadi lebih selektif dalam memilihnya. Pasalnya, pesertalah yang akan menentukan keseruan acara dan memengaruhi rating.

“Sebenarnya memang (reality show) itu nggak ada naskah, tapi biasanya kita ada briefing dulu untuk menjelaskan, seperti cara bermainnya (apabila reality show game) atau apa yang boleh dan nggak boleh dilakukan. Kita lebih mengikuti alurnya saja seperti yang (ditampilkan) di TV,” ujar Fina (nama samaran), seorang asisten produksi reality show di sebuah stasiun televisi swasta.

Sophie, seorang penggemar reality show, mengatakan bagaimana bintang tamu atau peserta menjadi faktor utama yang paling menarik perhatiannya sebelum menonton acara realitas baru.

“Hal yang paling bikin reality show itu menarik untuk ditonton biasanya dari bintang tamu. Kalau misalnya suka pasti akan ditonton di samping konsepnya bagus atau nggak,” katanya.

Ia juga menyebut pertimbangan lain yang membuatnya terus lanjut menonton acara tersebut, “Tapi kalau ternyata pesertanya suka, terus konsepnya juga bagus, pasti akan terus lanjut nonton setiap ada episode baru tanpa melihat siapa bintang tamunya.”

Ketika memilih peserta, kata Fina, setiap program memiliki sejumlah kriteria yang dijadikan patokan oleh tim produksi. Tak hanya penampilan, kepribadian peserta juga menjadi elemen penting yang dipertimbangkan.

“Dalam memilih kontestan juga ada kriteria khususnya, selain dari looks yang sudah pasti akan menjadi pertimbangan. Misalnya, apakah mereka seru atau heboh? Apakah mereka punya cerita yang menarik atau inspiratif yang bisa diangkat?” lanjutnya.

Ketergantungan pada peserta ini menjadi alasan mengapa beberapa produser reality show secara sengaja memilih kontestan atau bintang tamu yang dapat menghadirkan drama hingga kontroversi demi menarik perhatian audiens dan meningkatkan rating acaranya.

Jika banyak menyaksikan acara serupa, mungkin banyak dari penonton atau penggemar genre reality show yang menyadari bagaimana sebagian besar produksi acara ini kerap dibumbui oleh konflik di antara para kontestannya.

Selain peserta, salah satu format yang tak sedikit dipakai dan ditemui di program reality show populer adalah gabungan wawancara para peserta dengan produser, yang kemudian dalam proses penyuntingannya dipotong untuk menciptakan narasi tertentu, seperti seakan-akan terjadi perselisihan di antara para kontestan, meskipun kejadian sebenarnya tidak demikian.

Hal tersebut biasanya dikenal juga dengan istilah evil editing, yakni proses penyuntingan yang secara sengaja dilakukan untuk memberikan kesan buruk bagi pihak tertentu. Istilah ini biasanya banyak digunakan di reality show berbasis kompetisi.

Salah satu contoh format evil editing di reality show yang pada awal tahun ini sempat heboh dan membuat geram adalah program “Boys Planet” di saluran televisi Korea Selatan, Mnet. Acara tersebut dibanjiri kritik dari penonton di seluruh dunia lantaran menampilkan potongan adegan dramatis salah satu kontestannya sehingga menimbulkan narasi negatif.

Di lain sisi, kualitas konten tetap jadi pertimbangan penonton

Tapi, karena spektrum luasnya, konsep eksploitasi drama atau evil editing tadi menjadi kurang relevan bagi sebagian kategori reality show. Menurut Fina, di Indonesia, kebanyakan audiens acara realitas lebih menyukai program yang berpegang pada konsep utamanya.

Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa selain bintang tamu dan konflik yang diselipkan di dalamnya, konsep acara secara keseluruhan masih menjadi faktor yang dipertimbangkan penonton ketika menyaksikan acara televisi tanpa naskah ini.

So far kalau dilihat dari sosial media, berdasarkan acara yang aku pegang, keseluruhan penonton di Indonesia lebih suka reality show yang fokus ke konsep acaranya daripada konflik personal pesertanya,” terang Fina.

Ya, pada akhirnya, tim produksi harus fokus menghadirkan konsep yang segar dan unik agar dapat bersaing serta menggandeng lebih banyak audiens untuk menonton acaranya.

Alih-alih mengeksploitasi peserta, Fina pun menekankan bahwa dalam mengembangkan reality show, formula terpenting yang harus diperhatikan ialah bagaimana acara yang ingin ditayangkan pada akhirnya memiliki konsep yang dapat menarik minat audiens.

“Jadi kita (tim produksi) harus mencari banyak cara biar penonton tertarik. Misalnya, kalau reality show tentang games, kita bisa fokus menawarkan hadiah-hadiah yang beragam dan menarik, serta memilih jenis games yang seru dan disukai penonton,” sambungnya.

Sophie pun mengatakan hal senada, “Sebenarnya tergantung dramanya, karena kalau reality show luar negeri seperti Korea, biasanya justru bikin makin seru karena tetap sesuai konsep. Tapi kalau reality show Indonesia, aku lebih suka yang stick to the concept daripada banyak drama atau konflik.”

Vescha, seorang penggemar reality show Korea “House of Wheels”, menambahkan pandangan lain yang turut memengaruhi ketertarikannya dalam memilih acara realitas untuk ditonton, yaitu apabila program tersebut sesuai dengan minatnya.

“Aku suka dan gampang tertarik untuk menonton reality show yang sesuai dengan interest-ku. Misalnya, reality show tentang makanan, masak-masakan, atau resep-resep. Bintang tamu juga berpengaruh, sih, apalagi kalau artis yang aku suka hadir ke acara itu,” tuturnya.

Pada akhirnya, audiens memang akan kembali pada kesesuaian konsep acara secara keseluruhan dengan minatnya dan kontestan yang dihadirkan, daripada konflik di dalamnya. Terbukti dari banyaknya penonton yang menentang format evil editing pada program Mnet “Boys Planet”.



Artikel terkait


Berita terkini