TikTok digugat atas tren “Blackout Challenge” yang menewaskan anak kecil
Keluarga dari dua anak yang tewas pada 2021 akibat tren TikTok menggugat perusahaan media sosial itu ke pengadilan Los Angeles, Amerika Serikat. Melansir NY Post, Lalani Erika Walton (8) dan Arriani Jaileen Arroyo (9) dikabarkan tewas usai menonton dan mencoba tantangan tren “Blackout Challenge”.
Tren “Blackout Challenge” yang muncul dari algoritma TikTok itu mengajak audiens mencoba untuk mencekik dirinya demi mengukur ketahanan diri untuk menahan napas. Permainan berbahaya nan mematikan ini sayangnya bukanlah yang pertama dipromosikan konten dalam TikTok.
Pasalnya, Lalani ditemukan menggantung di kamarnya, sedangkan Arriani ditemukan di ruang bawah tanah rumahnya menggantung dengan tali peliharaan (dog leash).
"TikTok telah menginvestasikan miliaran dolar terhadap perkembangan desainnya untuk mengajak dan mendorong anak-anak dan remaja yang jelas-jelas diketahuinya dapat membahayakan dan merusak mental anak di bawah umur," ujar salah satu penggugat kepada NY Post. Bahaya konten TikTok sudah seharusnya menjadi kekhawatiran baik bagi pengguna dewasa, anak-anak, hingga orangtua.
Pasalnya, melansir New York Times, TikTok memiliki pengguna aktif lebih banyak daripada Twitter, diikuti dengan durasi menit penonton video melebihi YouTube, lalu total unduhan melebihi Facebook, dan bahkan jumlah kunjungan yang melebihi mesin pencari Google selama 2021 lalu.
Sedihnya, korban “Blackout Challenge” bukan hanya Lalani dan Arriani. Seorang anak 10 tahun, Nylah Anderson dilaporkan tewas akibat kehabisan oksigen Desember tahun lalu. Melansir Forbes, ibu anak tersebut, Tawainna Anderson telah menggugat TikTok atas cacat dan kelalaian produknya. Selain itu, pada Januari 2021 empat anak lain dilaporkan tewas usai mencoba tren ini. Hal yang sama pun terjadi pada Joshua Haileyesus (12) pada April tahun lalu, setelah mendapat bantuan medis selama 19 hari.
Dari pelaporan lampau hingga yang baru diajukan, TikTok belum memberikan pernyataan yang jelas selain mengatakan bahwa challenge menakutkan ini bukan berasal dari TikTok. Padahal, anak yang jadi korban pertama menemukan tren dari fitur For Your Page (FYP) yang disediakan TikTok. Hal ini bak membuktikan algoritma TikTok dibangun untuk mempromosikan konten yang berbahaya sekalipun.
"Jelas jelas TikTok mengetahui keberadaan “Blackout Challenge” yang mematikan tersebar di aplikasinya dan bahwa algoritma TikTok secara khusus mempromosikan “Blackout Challenge” pada anak-anak, termasuk mereka yang meninggal," tulis keluhan dari para keluarga korban.
Sederet tantangan membahayakan lainnya sudah melayang di TikTok selama bertahun-tahun, seperti '”Milk Crate Challenge”, “Benadryl Challenge” dan “Skull Breaker Challenge” yang terus menuai korban bahkan jiwa. Pihak hukum Social Media Victims Law Center (SMVLC) menyatakan, TikTok membiarkan konten-konten tersebut demi meningkatkan kedekatan (engagement), pengguna dan keuntungan.