Seni rupa modern Indonesia, simak 5 fakta penting dan kisah di baliknya!
Pernah kepikiran nggak sih, sejak kapan seni rupa modern lahir di Indonesia? Jenis kesenian yang menggunakan medium-medium modern seperti lukis, patung, seni pertunjukan, hingga instalasi.
Pasalnya, sebelum memasuki babak yang dikenal dengan istilah ‘seni rupa modern’, negara kita telah memiliki sejarah seni tradisional yang ada sejak zaman pra-sejarah. Alhasil, perkembangan seni rupa modern di Indonesia pun terbilang lebih rumit dibanding kesenian barat, karena terpisah antara seni tradisional dan seni modern.
Sebelum masuk ke pembahasan 5 fakta menarik tentang sejarah seni rupa modern Indonesia, kita bahas yuk awal mula teknik seni modern ini bisa masuk ke Indonesia!
Dipelopori oleh Raden Saleh dan semakin berkembang sejak hadirnya Politik Etis
Karya seni rupa dengan teknik barat mulai masuk ke Indonesia pada masa kolonial Belanda, tepatnya pada abad ke-19. Kala itu, seorang pelukis bernama Raden Saleh belajar melukis di Eropa dan mengembangkan aliran natural dan romantis dari Barat.
Selanjutnya, dipengaruhi kebijakan ‘Politik Etis’ yang dikeluarkan pemerintah Hindia-Belanda pada awal abad ke-20, semangat nasionalisme mulai berkembang di pemuda-pemudi Indonesia. Hal itu, memengaruhi dorongan untuk menemukan citra ke-Indonesia-an dalam kesenian Indonesia.
Lebih lanjut soal perkembangannya, simak 5 fakta penting dan kisah di balik sejarah seni rupa modern Indonesia di bawah ini!
Baca juga: Aliran seni rupa modern, berikut 5 contoh dan senimannya!
1. Naturalisme, aliran lukisan di awal seni rupa modern Indonesia
Setelah Raden Saleh, sempat ada masa kekosongan dalam sejarah seni rupa modern Indonesia. Namun, kekosongan itu berakhir setelah munculnya gaya naturalis pada sekelompok seniman yang kemudian dikenal sebagai pelukis Mooi Indie.
Lahir di awal abad ke-20, lukisan-lukisan mereka mengadopsi aliran seni rupa naturalisme dari barat. Beberapa tokoh babak seni rupa modern Indonesia yang satu ini ialah Mas Pirngadie (Jakarta), Abdullah Suriosubroto (Parahyangan), dan Wakidi (Sumatera Barat).
Lukisan mereka menangkap yang ‘indah-indah’ dari bentang alam Indonesia. Seperti langit yang menawan, gunung yang menjernihkan mata, dan tatanan flora yang menyejukkan. Beberapa menilai bahwa kecenderungan itulah yang menimbulkan gambar dua gunung, matahari dan sawah yang tertanam di benak kebanyakan anak-anak di Indonesia.
Lantaran hanya menangkap keindahan alam dan sekan melihatnya sebagai objek eksotis, kecenderungan ini menuai kritik dari tokoh seni rupa Indonesia generasi selanjutnya. Terutama dari seniman Indonesia bernama S. Sudjojono, yang kemudian memberi sebutan gaya mereka sebagai ‘Mooi Indie’ yang berarti Hindia Molek.
2. Didorong oleh ajaran Taman Siswa pendirian Ki Hajar Dewantara
Masih ingat dengan Taman Siswa pendirian Ki Hajar Dewantara? Sekolah yang menyajikan sistem pendidikan alternatif ini berpengaruh besar bagi perkembangan seni rupa modern Indonesia!
Taman Siswa yang mendorong muridnya untuk memiliki semangat nasionalisme ini berhasil mencetak lulusan dengan pemikiran independen nan kritis. Di luar berpikiran kritis, murid-muridnya diajarkan keterampilan seni yang melahirkan sejumlah pelukis seni rupa modern awal Indonesia.
Mereka pun mewarnai skena seni rupa Indonesia yang sebelumnya didominasi pelukis kolonial Belanda. Hal itu terbukti dengan keaktifan berpartisipasi di Bataviasche Kunstkring, tempat organisasi seni yang dibangun pemerintah Hindia-Belanda di Jakarta.
Alhasil, Taman Siswa menjadi tonggak utama dalam perkembangan seni rupa modern selanjutnya.
3. Diwarnai semangat kelompok-kelompok kesenian
Seperti bentuk kesenian lainnya, seni rupa menjadi ladang aspirasi dan ekspresi para senimannya dalam menuangkan gagasan seputar topik yang diamatinya. Perkembangan pemikiran para pemuda Indonesia selama 1920-an hingga 1940-an silam pun melahirkan sejumlah kelompok dan organisasi kesenian yang bertujuan untuk mencapai citra ke-Indonesia-an dalam seni rupa, yang sebelumnya didominasi oleh pengaruh kolonial Belanda.
Salah satu kelompok terpenting yang kerap dianggap sebagai pijakan pertama perkembangan gagasan dan metode berkarya seni rupa modern Indonesia ialah PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang didirikan pada 1938 silam. Kelompok ini diketuai oleh Agus Djaja Suminta dengan sekretaris S. Sudjojono.
Pemikiran yang dituangkan PERSAGI, yang disebut oleh S. Sudjojono sebagai “jiwa tampak”, menghasilkan kecenderungan lukisan dengan gaya realisme; menangkap isu dan kondisi sosial masyarakat senyatanya demi melahirkan corak yang bercirikan ke-Indonesia-an.
Selain PERSAGI, ada pula kelompok-kelompok lainnya, yang beberapa diantaranya terpengaruh oleh pemerintahan yang sedang berkuasa seperti POETERA (Poesat Tenaga Rakyat) yang didirikan di 1942, serta Keimin Bunka Shidoso yang berdiri sejak 1943. Sejumlah seniman yang turut berperan di kedua organisasi ini ialah Affandi, Hendra Gunawan, dan Mochtar Apin.
Selain yang telah disebutkan, masih banyak kelompok kesenian lainnya, seperti Pelukis Front (1945), Seniman Indonesia Muda (1946), Gabungan Pelukis Indonesia (1948), dan Pelukis Rakyat (1950).
Baca juga: Seni rupa modern dari barat, simak 5 fakta penting dan sejarahnya!
4. ITB, ASRI, dan IKJ menjadi akademi seni rupa pertama
Setelah lebih kurang setengah abad pelukis dan perupa lain seni rupa modern Indonesia belajar melalui kelompok-kelompok, sekolah, dan lewat pelukis kolonial, pada 1947, akademi seni rupa pertama di Indonesia berdiri.
Akademi itu ialah Universitaire Leergang Voor de Opleiding van Tekenleraren (1947), yang kini menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB).
Sekolah itu lantas berandil besar dalam perkembangan kesenian, termasuk aliran seni rupa modern Indonesia, seperti aliran abstrak geometris yang dipelopori Srihadi Soedarsono, Ahmad Sadali, Mochtar Apin, But Mochtar, hingga Sudjoko.
Di sisi lain, demi menemukan gaya yang ‘sangat Indonesia’, pada 1950 pemerintah kala itu mendirikan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang kini bernama Institut Seni Indonesia (ISI). ASRI dikepalai oleh sejumlah seniman, seperti Hendra Gunawan, R.J. Katamsi, dan Djajengasmoro.
Mayoritas pengajarnya merupakan pelukis otodidak dan dipengaruhi oleh para pelukis yang telah membangun sanggar, seperti Sudjojono, Affandi, dan Hendra Gunawan.
ASRI mementingkan identitas nasional dengan memperhatikan seni tradisional. Gaya figuratif, realis, dan ekspresionis mendominasi dalam karya-karya yang dihasilkan. Karakter ke-Indonesia-an nampak jelas dalam pilihan subjeknya, seperti lukisan pemandangan, masyarakat, dan mitologi lokal.
Lebih lanjut pada 1968, atas mandat Ali Sadikin, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) didirikan dengan metode pengajaran yang berkisar pada lokakarya (workshop) dari para seniman. IKJ menjadi sekolah seni pertama yang membuka mata kuliah kriya yang mengacu ke model pengajaran barat, yang menjadi jembatan antara seni tradisi Indonesia dengan seni modern.
Baca juga: Ekspresi seni rupa modern Indonesia pasca-kemerdekaan hingga reformasi 1998 - Bagian 2
5. Internasionalisasi seni rupa Indonesia terjadi sejak 1990-an
Selanjutnya, selain berkembangnya aliran seni rupa modern Indonesia seperti realisme sosial Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan humanisme-universal dari Manifesto Kebudayaan (Manikebu), hingga lahirnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) sejak 1974, babak penting lainnya dalam seni rupa modern Indonesia ialah internasionalisasi seni rupa Indonesia ke ranah global yang terjadi di dekade 1990-an.
Dalam tulisan “Kurasi Kuasa” Agung Hujatikajennong, disebutkan bahwa era itu didominasi oleh peran negara terutama Jepang dan Australia. Pasalnya, mereka kerap menggelar pameran-pameran berskala besar yang diselenggarakan atas dukungan dana dan infrastruktur pemerintahnya.
Seperti yang nampak pada pameran “Asia-Pacific Triennal” selama 1993 hingga 1999 yang memberi ruang bagi seniman Indonesia untuk dilirik dunia seni global. Beberapa seniman yang turut berpartisipasi di dalamnya adalah, Heri Dono, Dadang Christanto, FX Harsono, Arahmaiani, dan Tisna Sanjaya.
Selain itu, ada pula pameran “AWAS! Recent Art from Indonesia” yang berlangsung pada tahun 1999, yang disebut High O’Neill sebagai gerbang bagi audiens internasional untuk merasakan dan memahami ide-ide segar nan provokatif dari sejumlah seniman muda Indonesia.